Never
Change the Winning Team
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 30
Maret 2017
Dalam dunia olahraga, mungkin Anda pernah mendengar
ungkapan never change the winning team.
Ini terutama untuk olahraga beregu seperti sepak bola, voli, bulu tangkis,
dan berbagai cabang olahraga lain.
Itulah yang dilakukan tim sepak bola asal Prancis, Paris
St Germain, ketika menghadapi Barcelona dalam babak 16 besar putaran kedua
Liga Champions. Pada putaran pertama yang berlangsung di Paris, Prancis,
Paris St Germain mampu mencukur Barcelona dengan skor telak 4-0. Maka untuk
bisa lolos ke babak berikutnya, Barcelona mesti menang dengan skor minimal
5-0 pada putaran kedua. Atau kalau Paris St Germain mampu mencetak gol,
Barcelona mesti membalasnya dengan jumlah gol yang lebih banyak lagi.
Sekurang-kurangnya harus lebih dengan selisih 5 gol. Pada
putaran pertama, Barcelona memakai skema 4-3-3. Sementara lawannya, Paris St
Germain, memainkan pola 4-3-2-1. Hasilnya? Saya sudah sebutkan tadi, Paris St
Germain mencukur Barcelona dengan skor 4-0. Lalu bagaimana dengan putaran
kedua? Saya sangat tegang menyaksikannya. Secara dramatis, Barcelona ternyata
mengubah skema permainannya dengan pola 3-4-3. Sementara Paris St Germain
masih dengan pola sama. Hasilnya Anda tentu tahu.
Barcelona mengandaskan Paris St Germain 6-1. Barcelona
bukan hanya maju ke babak selanjutnya, tetapi juga menjadi tim pertama di
dunia yang mampu lolos setelah tertinggal 4-0. Fenomena yang sama juga
terjadi pada tim sepak bola Spanyol. Pada 2008, tim Spanyol untuk pertama
kalinya berhasil menjadi juara Piala Eropa. Lalu dua tahun kemudian, tim
Spanyol bahkan berhasil menjadi juara Piala Dunia. Empat tahun kemudian, pada
Piala Dunia 2014 di Rio de Janeiro, Brasil, tim Spanyol tidak mengubah skuad,
strategi, dan komposisi pemainnya. Mereka masih memakai pelatih, skuad, dan
strategi yang lama. Hasilnya? Gagal total.
Spanyol bahkan tak lolos ke putaran kedua. Begitu pula di
Piala Eropa 2016. Tim Spanyol hanya mampu melaju sampai babak 16 besar.
Mereka disingkirkan Italia dengan skor 2-0. Dua ilustrasi tadi dan saya
percaya masih banyak lainnya, mungkin membuat kita perlu merenungkan kembali
ungkapan never change the winning team. Kalau strategi sudah terbaca oleh
lawan, untuk apa dipertahankan? Harus diubah!
Faktor Demografi
Fenomena yang terjadi di cabang olahraga itu ternyata
berlaku pula di dunia bisnis. Anda bisa menyaksikannya. Perubahan dan
disrupsi (disruption) terjadi di mana-mana. Bisnis-bisnis baru bermunculan
untuk menggantikan bisnisbisnis lama yang telah usang dan tidak efisien. Lalu
inovasi dan teknologi mengalir deras karena inventor dan pengusaha saling
berjejaring. Itu semua membuat perubahan berlangsung semakin cepat dan dalam
waktu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Bagaimana itu semua bisa terjadi? Saya ajak Anda untuk
melihat dalam perspektif yang lebih besar. Dunia usaha sudah bukan lagi
menjadi hunian yang ramah. Sebaliknya malah ia menjadi dunia yang semakin
keras. Anda tentu bisa merasakannya. Persaingan menjadi tidak semakin mudah,
malah menjadi semakin keras. Seorang penguasa taksi konvensional, yang dulu
sering dijadikan contoh, marah besar terhadap pemerintah. ”Apa saya harus
tutup saja dan mengalihkan investasi saya ke negara lain,” ujarnya sengit.
Dan pemicu dari itu antara lain adalah demografi. Jumlah
penduduk kita, dan dunia, masih saja terus bertambah. Pada 1 Januari 2015,
jumlah penduduk dunia sudah menjadi 7,3 miliar jiwa. Sekarang jumlahnya tentu
sudah bertambah lagi. Nanti tahun 2050 sudah akan menjadi 9 miliar.
Ngeri,bukan? Semua itu tentu ada konsekuensinya. Pertama,kita semua dituntut
untuk berproduksi lebih banyak lagi. Produksi pangan harus meningkat. Begitu
juga produksi sandang dan papan, energi, air bersih, layanan transportasi,
telekomunikasi, akses jalan, dan sebagainya.
Pokoknya semuanya harus meningkat. Sementara tanahnya
makin sempit. Kedua, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk,
muncul tekanan terhadap imbalan. Bukan naik, malah sebaliknya semakin
menurun. Anda merasakan fenomenanya bukan? Harga-harga bergerak semakin
murah. Apalagi kalau produk atau jasanya sudah mengadopsi atau mendapat
sentuhan teknologi dan persaingan dengan bisnis model baru. Harga minyak
mentah, gas, dan energi alternatif lain misalnya bergerak turun akibat
teknologi hydraulic fracturing alias fracking di Amerika Serikat. Harga-harga
produk telekomunikasi kita juga begitu.
Menjadi semakin murah. Untuk produk hiburan seperti musik atau
film juga begitu. Anak-anak kita semakin mudah mendapatkan lagu-lagu atau
film baru dengan mengunduhnya lewat berbagai situs internet. Di bisnis transportasi
Anda semua jelas merasakannya. Sejak beberapa tahun lalu, misalnya, tarif
penerbangan menjadi kian terjangkau–terutama dengan hadirnya maskapai
penerbangan yang mengusung konsep low cost carrier. Begitu juga dengan tarif
untuk transportasi darat seperti ojek atau taksi. Harga mobil juga begitu,
sebentar lagi beredar mobil China yang harganya murah-meriah. Lalu di bisnis
perhotelan.
Buat Anda yang suka bepergian pasti merasakan betapa tarif
hotel atau berbagai penginapan lain kian lama menjadi kian terjangkau. Itu
semua berkat hadirnya berbagai aplikasi seperti Pegipegi, Traveloka, Agoda
atau Airbnb. Memang tak semua produk harganya bergerak turun. Cabai atau
daging sapi, misalnya, masih menggila. Mungkin perlu sentuhan teknologi dalam
budi daya cabai atau peternakan sapi. Dan mungkin itu tak lama lagi.
Benih-benihnya sudah ada. Misalnya ada anak-anak muda yang mendirikan startup
untuk melayani pemesanan produkproduk hortikultura dari masyarakat langsung
ke petaninya.
Di negara-negara maju juga kian banyak anak muda yang
mengembangkan konsep vertical farming.Mereka memanfaatkan ruang-ruang kosong di
gedung-gedung tinggi untuk menanam sayur-sayuran. Hasilnya dijual ke
masyarakat sekitar. Dengan mata rantai yang kian pendek, harga bisa lebih
murah.
Berani Mendisrupsi
Begitulah, teknologi terus berkembang dan inovasi tak
pernah berhenti mengalir. Ia hadir dan bakal mendisrupsi bisnis yang sudah
usang, tidak efisien sehingga mahal biayanya. Sayangnya memang tak semua
jajaran manajemen perusahaan siap menghadapinya. Masih banyak di antara
mereka yang masih meresponsnya dengan cara-cara lama–cara yang pernah
mengantarkan mereka ke era kejayaan. Misalnya dengan mengadu dan meminta
perlindungan ke regulator, menuding ada predatory pricing atau harga dumping.
Sampai berapa lama perusahaan-perusahaan akan mampu
bertahan kalau jajaran manajemennya menyikapinya dengan cara-cara seperti
itu? Mungkin mereka perlu menggali inspirasi kisah dari beberapa perusahaan
lain yang mampu bertahan menghadapi tekanan disrupsi. Betul, sebagian dari
mereka belum sepenuhnya keluar dari kesulitan, tetapi saya menghargai upaya-upayanya
untuk bangkit. Misalnya PT Kereta Api Indonesia yang kini berhasil keluar
dari tekanan akibat hadirnya maskapai penerbangan bertarif murah.
Atau PT Pos Indonesia yang berjuang habishabisan untuk
mengubah core business -nya dari jasa pos ke bisnis logistik dan jasa kurir.
Di Jepang, Anda mungkin mengenal merek Sony. Mereka dulu berjaya dengan
bisnis TV, walkman dan ponsel (ingat bukan dengan merek Sony Ericsson). Kini
Sony fokus mengembangkan bisnis PlayStation (PS)- nya. Mereka bukan mengembangkan
alatnya, tetapi investasi habis-habisan di industri kreatif. Mereka mendorong
anakanak muda untuk mengembangkan berbagai game yang dapat dimainkan di PS.
Kini bersama dengan Microsoft yang mengembangkan XBox,
jadilah Sony (dengan PSnya) mendominasi pasar game dunia. Microsoft menguasai
pasar di belahan utara, Sony di selatan. Apa benang merah yang bisa kita
tarik dari pengalaman beberapa korporasi tadi? Simpel. Mereka berani merombak
jajaran manajemennya. Mereka berani menghadirkan ”orang luar”, bahkan dari
industri yang berbeda.
Orang-orang seperti ini akan menjadi ”darah baru” yang
akan membawa perusahaan keluar dari zona nyaman. Maka jangan terlalu yakin
dengan ungkapan never change the winning team. Rombak saja tim kalau mereka
tidak berani mendisrupsi diri sendiri! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar