Pertarungan
Karakter dalam Ujian Nasional
Taufiqurrahman ; Guru SDN Kapedi II Sumenep; Penulis buku Terima Kasih Guru
|
JAWA
POS, 03
April 2017
ISU bocornya soal ujian sekolah berstandar nasional (USBN)
menambah panjang daftar masalah sistem pendidikan kita yang menuntut segera
dibenahi. Tidak hanya terjadi kali ini, setiap pelaksanaan ujian nasional
(UN) pada tahun-tahun sebelumnya juga tidak pernah sepi dari berita
kecurangan.
Sekolah tidak bisa cuci tangan dalam kasus ini. Sekolah dituding
punya andil terhadap skandal kecurangan ujian, baik bocornya soal maupun
jawaban. Realita di lapangan menunjukkan bahwa sebagian sekolah tidak siap
menerima hasil ujian nasional (unas). Pihak sekolah tidak rela bila
sekolahnya dianggap tidak berkualitas dengan banyaknya siswa yang tidak
lulus. Karena itu, mereka menggadaikan integritasnya dengan ’’membantu’’
siswa agar memperoleh nilai baik dengan cara hitam.
Terlibatnya sekolah dalam praktik hitam USBN/unas
meruntuhkan sendi-sendi karakter bangsa yang dibangun selama ini. Salah satu
di antaranya, kejujuran. Nilai karakter kejujuran yang ditanamkan kepada
siswa selama bertahun-tahun dimatikan sekolah sendiri. Padahal, sekolah
merupakan institusi utama yang dipercaya bisa menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan,
dan memelihara karakter bangsa.
Karakter bangsa merupakan kondisi watak yang merupakan
identitas bangsa (Simon Philis, 2008). Identitas tersebut menjadi ciri khas
suatu bangsa, yang membedakan dengan bangsa lainnya.
Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis identitas
sebagai akibat krisis multidimensi yang menerpa sejak roh reformasi
diembuskan pada 1998. Akibatnya, berbagai tindak kriminal dengan beragam
modus terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, telah terjadi
kenaikan tindak kejahatan dari 325.357 kasus pada 2014 menjadi 352.936 kasus
pada 2015. Eskalasi tertinggi terjadi pada kejahatan narkotika yang mencapai
90 persen. Pada 2014, tercatat 19.280 kasus. Sedangkan pada 2015, kasus
meningkat menjadi 36.874 dengan pengguna mencapai 5,9 juta orang.
Perilaku curang dalam kegiatan unas serta meningkatnya
tindak kriminal, terlebih kasus narkotika, merupakan indikator pudarnya jati
diri bangsa Indonesia. Situasi ini menjadi sinyal buruk bagi masa depan
bangsa, terlebih dalam menghadapi tantangan global.
Radar pemerintah telah menangkap sinyal buruk tersebut.
Untuk menangkal itu pemerintah sejak 2010 secara intensif melaksanakan
Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa. Pada 2016, Kementerian
Pendidikan Nasional menyempurnakannya dengan mencanangkan program penguatan
karakter (PPK). Dalam program itu, nilai-nilai karakter bangsa
terkristalisasi menjadi lima nilai utama; religius, integritas, nasionalis,
gotong royong, dan kemandirian.
PPK mendesak untuk dilaksanakan, dimonitor, serta
dievaluasi agar benar-benar terlaksana. Bila tidak, bonus demografi yang akan
kita dapat pada 2020-2040 bukan menjadi kekuatan, melainkan beban.
Melimpahnya angkatan kerja yang tidak didukung karakter
positif hanya melahirkan masalah sosial.
Bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara memandang
bahwa terdapat tiga pusat pendidikan yang berperan besar dalam membentuk
karakter anak. Yaitu, keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Tiga
lembaga pendidikan itu disebut ’’tri pusat pendidikan’’.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan kedua setelah
keluarga. Namun, sekolah dibangun hanya bertujuan untuk memberikan
pendidikan. Dengan begitu, andil sekolah tidak lebih kecil daripada keluarga
dalam membentuk karakter anak. Terlebih jika kebijakan full day school
diterapkan.
Penerapan full day school menjadikan anak berada di
sekolah selama delapan jam. Hal itu menunjukkan bahwa waktu aktif anak lebih
banyak berada di lingkungan yang dirancang untuk memberikan pesan pendidikan.
Selebihnya, lima jam bersama keluarga, tujuh jam istirahat, dan dua jam dalam
perjalanan.
Dengan demikian, sekolah punya kans lebih besar untuk
membentuk karakter anak. Upaya pembentukan karakter anak di sekolah bisa
dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran ataupun
melalui budaya sekolah.
Pendidikan karakter yang baik tidak hanya melibatkan aspek
moral knowing (pengetahuan yang baik), tetapi juga moral feeling (merasakan
dengan baik), dan juga moral action (perilaku baik) (Lickona, 1992).
Karena itu, pendidikan karakter erat berkaitan dengan
pembiasaan yang terus-menerus dilakukan dan dipraktikkan. Sekolah bisa
memilih salah satu nilai karakter yang akan dijadikan budaya sekolah sehingga
menjadi branding sekolah. Nilai karakter yang dipilih menjadi perilaku
seluruh warga sekolah sehari-hari.
Keteladanan perilaku seorang guru mutlak diperlukan. Tanpa
keteladanan, sia-sialah segala anjuran kebaikan. Lisanul hal afsahu min lisanil maqol (Bahasa perilaku lebih fasih
daripada bahasa lisan). Guru yang menasihati siswa agar berperilaku jujur,
namun kemudian tindakan guru justru menggambarkan kecurangan, siswa akan
berpersepsi bahwa berlaku curang itu boleh.
Momen unas merupakan pertarungan karakter bagi warga
sekolah. Apakah nilai kejujuran menjadi karakter dari seluruh warga atau
justru sekolah melabeli halal pada praktik kecurangan? Semoga guru bisa
menjadi panutan dalam pembentukan karakter kejujuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar