TNI
dari Masa ke Masa
Sjafrie Sjamsoeddin ; NATO School 2015 & 2017
|
KOMPAS, 04 April 2017
Saat unjuk rasa 4 November 2016 di Jakarta, Presiden Joko
Widodo mengapresiasi aparat dalam menjaga keamanan di Tanah Air sekaligus
menginstruksikan kepada TNI di Mabes Angkatan Darat, 7 November 2016, jangan
ragu bertindak demi keutuhan NKRI dengan memegang teguh Sapta Marga dan
Sumpah Prajurit.
Pada momen lain, Presiden sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi AD-AL-AU memberikan perintah kepada TNI untuk tidak menoleransi
gerakan yang memecah belah bangsa. Setiap terjadi peristiwa yang mengganggu
persatuan dan kesatuan bangsa, TNI sebagai tentara nasional harus menjadi
kekuatan perekat bangsa sekaligus menjaga keutuhan NKRI. Inilah tantangan
tugas TNI dari masa ke masa.
Menengok perjalanan sejarah, Indonesia adalah salah satu
dari negara yang membangun militer berbasis rakyat: bersama berjuang merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah spesifikasi militer Indonesia yang
dikenal. Mereka adalah tentara rakyat, tentara pejuang, dan sekaligus tentara
nasional, jauh sebelum membangun diri sebagai tentara profesional.
Sejarah militer Indonesia
Empiris perjalanan TNI menggambarkan betapa jauh perbedaan
militer negara lain dengan militer Indonesia. Militer Indonesia lahir dengan
semangat tidak kenal menyerah meski belum memiliki sistem dan organisasi
militer layaknya di negara lain. TNI nyaris tidak memiliki kemampuan tempur
konvensional (combat) apalagi memiliki bantuan tempur (combat support) dan
bantuan administrasi (combat service support) yang berperan menopang dan
mendukung sistem operasi.
Perjuangan melawan penjajah telah melahirkan komandan
pertempuran (combat leaders) yang mencair bersama rakyat. Dengan taktik hit
and run, mereka berhasil memukul mundur kekuatan militer konvensional musuh
yang lebih kuat. Padahal, para komandan lapangan saat itu belum tersentuh
pendidikan militer profesional walaupun ada masa yang singkat dalam perang
kemerdekaan, Jepang memberikan latihan militer dasar bagi para pemuda yang
tergabung dalam Pembela Tanah Air (Peta).
Ada perbedaan antara generasi penerus dan generasi '45
yang terlebih dahulu mengaplikasikan taktik dan strategi, setelah itu baru mempelajari teori di
sekolah. Generasi penerus uji teori lebih dahulu sebelum mengaplikasikan di
lapangan. Mengapa demikian? Ada "semangat patriotisme dan
nasionalisme" disertai "kepekaan taktis" yang melekat tanpa
kepentingan lain kecuali "demi martabat bangsa dan negara".
Saya teringat saat mengawali tugas operasi militer di
Timor Timur awal tahun 1976. Seorang perwira generasi '45 mengingatkan,
"Jika generasi kami berbuat kesalahan akan berakibat biasa karena kami
belajar di bawah pohon bambu. Sebaliknya, kesalahan generasi penerus bisa
menimbulkan kerusakan besar karena ilmunya lebih tinggi."
Memang beralasan argumentasi senior tersebut. Pada kondisi
perang dengan pengawasan yang lemah, sering terjadi penyalahgunaan wewenang
oleh para pejabat logistik. Para perwira yang baru lulus pendidikan, pemegang
tingkat komando operasi, menimbun logistik prajurit yang didatangkan dari
Singapura dengan harga murah dan bebas pajak, menjualnya di pasar gelap
Surabaya. Mereka mengambil hak prajurit yang berkeringat di garis depan, yang
berhadapan langsung dengan taruhan nyawa.
Militer Indonesia kini
Dewasa ini jati diri TNI telah mengantarkan TNI ke posisi
bermartabat. TNI memiliki pegangan kuat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk
menjaga kehormatan dan semangat juang TNI. Maka, tantangan utama selama dinas
aktif keprajuritan adalah senantiasa menjaga agar Sapta Marga dan Sumpah
Prajurit tidak tergerus kepentingan golongan atau siapa pun, seperti pesan
Panglima Besar Soedirman, 5 Oktober 1949.
Pesan itu beralasan karena perjalanan TNI berada di
pusaran politik. Inilah faktor kesulitan yang perlu diatasi dalam
menerjemahkan makna jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang,
tentara nasional, dan tentara profesional. Sebab, tanpa disadari, hawa
politik selalu bertiup di halaman TNI, baik era otoritarian maupun era
demokrasi.
Di sisi lain, membangun profesional TNI agar semakin
tangguh memang tuntutan universal dunia. Bagi NKRI, salah satu dimensi
kekuatannya TNI modern yang memiliki daya pukul dahsyat dengan dukungan
teknologi informasi dan mobilitas jelajah yang menjangkau seluruh wilayah
nasional. Mulai dari misi periferi di perbatasan negara sampai ke pusat
gravitasi politik-ekonomi untuk menyukseskan misi pembangunan nasional.
Keberadaan Revolutionary in Military Affair bisa menjadi
rujukan mengembangkan militer profesional sesuai dengan kondisi negara dan
misi TNI. Tentunya dengan dukungan "kemauan politik" yang ditopang
"kemampuan anggaran negara".
Saatnya militer Indonesia membuka pikiran terhadap
berbagai pandangan profesional yang memiliki kompetensi meski terkesan berbeda.
Semua ini jika dikaji lebih jauh akan memberi manfaat bagi pengembangan
organisasi dan manajemen secara menyeluruh.
Membangun kerja sama militer profesional antarnegara juga
akan efektif sebagai netralisator jika terjadi ketegangan hubungan bilateral
dan multilateral. Pada konteks ini peran diplomasi militer menjadi mengemuka.
Di sinilah negara merealisasikan amanat Pembukaan UUD '45
untuk menciptakan perdamaian dunia. Dalam hal ini TNI tidak hanya berperan
pada misi pemelihara perdamaian, tetapi juga lebih dari itu menjalankan peran
diplomasi militer menjembatani terciptanya perdamaian.
Militer Indonesia hendaknya tidak bergeser posisi sebagai
kekuatan nasional dan kekuatan regional. TNI tidak mengenal fatamorgana dalam
menjalankan misi negara. TNI adalah komponen utama pengawal kedaulatan
negara. TNI berperan sebagai ultima rasio: mengingatkan dan mengatasi apa
yang menjadi tantangan dan gangguan terhadap keselamatan bangsa.
Ruang gerak pengembangan profesi militer selayaknya
diperluas dengan berbagai kesempatan untuk kesetaraan sesama militer. Di sisi
lain, militer Indonesia memerlukan peningkatan kemampuan heterogen
nonmiliter, selain memelihara dan meningkatkan kemampuan homogen profesi
militer karena misi militer dalam era globalisasi yang multidimensi akan
berdampingan dengan misi sipil nonmiliter.
Akan tidak bisa dihindari penyelesaian permasalahan dengan
menggunakan formulasi sinergi kerja sama sipil-militer. Beberapa negara mulai
merintis jalan membentuk badan kerja sama sipil-militer untuk menyelesaikan
permasalahan negara. Tentunya bangsa dan negara kita akan terus mengelola
satu satunya milik nasional yang tidak pernah berubah, yaitu militer
Indonesia (TNI) yang profesional dan memiliki semangat patriotisme dan
nasionalisme. Selain itu, kualitas daya saing bermanfaat sebagai kekuatan
nasional dan kekuatan regional dari masa ke masa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar