Minggu, 04 Januari 2015

Meneladani Kesalehan Nabi

                                      Meneladani Kesalehan Nabi

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS,  03 Januari 2015

                                                                                                                       


PERAYAAN Maulid hadir setiap tahun, sebagaimana hari-hari besar keagamaan yang lain. Kekhasannya, peringatan ini merayakan kelahiran Nabi, panutan yang menjadi rujukan tindak tanduk umat Islam. Tradisi tersebut sangat penting bagi umat untuk menoleh ke belakang seraya berusaha meraih pesan apa yang bisa diambil dari masa lalu. Namun, setelah sekian lama berjalan, kadang-kadang umat merayakan hari besar ini dengan tontonan dan riuh rendah seperti sekaten. Tentu, keramaian seperti itu tidak salah. Sebagai pedagang, Nabi sendiri dalam hidupnya juga menjadi bagian dari kehidupan pasar, bahkan merantau hingga jauh ke Syam (sekarang Syria).

Lalu, di mana kehadiran Nabi dalam hiruk pikuk itu? Mungkin sosok fisiknya tenggelam, namun pesonanya masih terbaca jelas dalam banyak kepustakaan berbahasa Arab. Sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemungkinan membaca Sirah Rasul Ibn Ishaq dan As-Sirah An-Nabawiyyah Ibn Hisyam adalah cara paling mudah untuk menelusuri kembali daya tarik Nabi. Pada masa yang sama, ingatan tersebut bisa mendorong kita untuk memeriksa kembali kebiasaan yang berlangsung selama ini. Kadang sudut pandang orang lain perlu dibaca, seperti Muhammad: Biografi Sang Nabi, Karen Armstrong, agar kisah Nabi bisa disampaikan dengan bahasa yang lebih segar. Bahkan, kita tidak perlu khawatir membaca buku Muhammad yang ditulis secara kritis oleh Maxime Rodinson agar tidak mudah melakukan kekerasan jika Nabi dihujat.

Di kampung saya, Sumenep, Rabiulawal adalah bulan penuh berkah. Sebab, banyak orang merayakan kelahiran Nabi dengan menanggap kumpulan hadrah dan menyajikan makanan mewah. Bayangkan, ratusan orang berdiri tanpa bersuara, hanya bunyi rebana dan nyanyian pujian menggema! Begitu syahdu dan khidmat. Sepanjang bulan Maulid, di banyak sudut rumah kita bisa menikmati pujian Burdah, Barzanji, dan Dibaan. Hingga kini, tidak ada peringatan, bahkan Idul Fitri dan Idul Adha, yang membuat umat begitu dekat dengan pembawa syafaat(pertolongan khas Nabi di hari kiamat). Tentu, peringatan kelahiran junjungan tidak hanya berhenti di sini. Ada kisah lain yang perlu diungkap.

Perilaku

Dalam Jejak-Jejak Rasulullah, Tariq Ramadhan mengungkap kesaksian para sahabat dan istri baginda terhadap kebiasaan Rasul yang bersalat berjam-jam sepanjang malam. A’isyah pernah bertanya tentang keteguhan Nabi bermunajat kepada Tuhan meskipun Allah telah mengampuni seluruh dosa yang telah lalu dan yang akan datang. Nabi pun menukasnya, ’’Apakah aku patut menjadi hamba yang tidak bersyukur?’’ Menarik, Muhammad mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan meskipun keluarganya tidak berlimpah harta benda. Sebuah pelajaran moral bahwa hakikat kesyukuran itu lebih bersifat spiritual, berbanding material.

Meskipun Nabi begitu kuat beribadah, ayahanda Fatimah itu tidak meminta pengikutnya melakukan hal serupa. Ketika sahabatnya, seperti Utsman bin Mazun, ingin meninggalkan kehidupan seksualnya, bersembahyang sepanjang malam, atau berpuasa terus-menerus, Nabi mencegah dan berpesan agar menjauhi ibadah berlebihan. Lebih jauh, Nabi menegaskan bahwa mereka perlu menjaga keseimbangan antara ibadah, tidur, keluarga, malah tamu (kehidupan sosial). Jelas, Nabi mengajak mereka untuk tidak menolak sisi manusiawi dan mengajarkan satu perilaku penting, yaitu pengendalian diri.

Sementara itu, dalam kehidupan material, Nabi hidup begitu sederhana. Rumahnya tidak berisi perabot. Tidak jarang, baginda tidak memiliki apa-apa selain beberapa butir kurma. Namun, keadaan itu tidak menyurutkan kecintaan Nabi kepada orang miskin di sekelilingnya. Ketika menerima hadiah, anak Abdullah tersebut segera berbagi dengan orang yang berhak menerima. Seperti dalam ibadah, Nabi tentu tidak akan membebani sahabat, termasuk kita, untuk meniru sepenuhnya perilaku sosial tersebut. Sahabat Nabi yang kaya, seperti Utsman bin Affan, menjadikan hartanya untuk menyempurnakan kegiatan dakwah.

Selain hubungan Tuhan dengan manusia, Nabi juga menunjukkan keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan. Itu ditunjukkan oleh Muhammad bahkan dalam peperangan. Selain tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, dan penghuni biara (ashab al-samawi), orang Islam pada waktu itu dilarang menebang pohon, membakar ladang, memotong tanaman yang sedang berbuah, dan membunuh binatang ternak. Bahkan, baginda pernah menegur seorang sahabat, Sa’ad bin Waqqas, yang memubazirkan air ketika berwudu. Kesadaran kosmologis beriringan dengan keteguhan teologis. Pemisahan di antara keduanya membuat kesalehan oleng.

Pesan

Dari catatan ringkas di atas, cetak biru menjadi muslim sejati itu begitu jelas. Sebagai pemimpin, Nabi menjalani hidup seperti sebagian besar umatnya yang miskin, tetapi suka bederma. Namun, sahabatnya tidak dihalang-halangi untuk kaya. Justru, dengan teladan yang ditunjukkan secara nyata, banyak sahabat yang rela mengeluarkan harta untuk kebajikan. Lebih jauh, Nabi tetap membawakan diri sebagai manusia biasa dengan berpenampilan bersih, tapi dengan baju yang sederhana dan tentu saja memiliki rumah tidak mewah. Dalam teori keutamaan (virtue) Aristoteles, Nabi mengambil jalan tengah (mean) dari gaya hidup saudagar yang megah dan ahli shuffah, para sahabat yang luntang-lantung dan hanya menumpukan hidupnya kepada ibadah.

Mungkin, perilaku poligami agak riskan untuk ditiru. Persekutuan politik yang dibangun oleh Nabi melalui perkawinan begitu nyata terkait dengan situasi kultural kesukuan Arab. Selain itu, menurut Karen Armstrong dalam Muhammad: Biografi Sang Nabi, apa yang dilakukan Muhammad terhadap perempuan terkait dengan aturan perkawinan, waris bagi perempuan, dan sikap keseharian Nabi kepada perempuan adalah revolusioner pada abad ke-7 ketika masa itu tradisi patriarki Arab sangat merendahkan perempuan.

Akhirnya, umat mesti bersyukur bahwa Nabi tidak meminta untuk beribadah sepanjang malam. Sebagai ayah misalnya, seseorang mesti memperhatikan keperluan istri dan anaknya. Demikian pula, ibadah wudu bukan saja menghilangkan hadats kecil, tetapi juga menghemat air. Keselarasan antara pemenuhan kehendak Tuhan dan kehendak alam (sunnatullah) senantiasa menjadi titik pijak untuk menentukan nilai-nilai religius dan etik dalam dunia masa kini. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar