Sabtu, 03 Januari 2015

Jurnalisme Kemasan Tanpa Perasaan

Jurnalisme Kemasan Tanpa Perasaan

Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta;
 Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
KORAN SINDO, 01 Januari 2015
                                                
                                                                                                                       


Tabir gelap hilangnya Pesawat Air Asia QZ8501 mulai terungkap dengan ditemukannya serpihan pesawat dan jasad yang diduga penumpang oleh Tim Basarnas di sekitar Selat Karimata, Selasa (30/ 12).

Seluruh kanal informasi mulai media arus utama hingga media sosial dibanjiri berita seputar musibah ini. Yang mengejutkan sekaligus membuat geram adalah tayangan sebuah stasiun televisi berita nasional yang secara berulang-ulang menyiarkan jasad yang diduga penumpang tersebut secara dramatis tanpa diblur!

Atas nama eksklusivitas dan kebaruan berita, stasiun televisi tersebut seolah tanpa bersalah menerabas etika serta standar perilaku siaran sekaligus menyakiti perasaan keluarga korban dan membuat resah masyarakat yang menyimak produk jurnalisme kemasan mereka.

Resonansi Dramatis?

Tentu masyarakat butuh informasi yang cepat dan akurat untuk mengetahui setiap perkembangan terkait dengan musibah pesawat Air Asia tersebut. Hal ini, juga menjadi tugas media massa untuk mengabarkan setiap kejadian yang menjadi perhatian publik. Tetapi mengabarkan suatu kejadian, terlebih yang bersifat musibah dan bisa menimbulkan trauma psikologis dan kesedihan mendalam pada banyak orang, butuh empati dan kehati-hatian dalam memproduksi dan menyebarkannya.

Media audio-visual seperti televisi memiliki resonansi melebihi kanal saluran informasi lainnya. Eksploitasi gambar dan narasi kesedihan secara berlebihan akan menghadirkan dramatisasi fakta. Fenomena seperti ini secara sadar menjerumuskan jurnalisme kemasan pada salah satu pelanggaran yang sering diingatkan Paul Jhonson dalam artikelnya, The Media and Truth: Is There a Moral Duty? (1997), tentang Seven Deadly Sins sebagai dramatisasi fakta.

Meskipun bukan fakta palsu, eksploitasi visual jasad mengambang tanpa diblur menurut penulis sederajat dengan kesalahan saat media mengumbar fakta palsu! Ada beberapa kritik terkait dengan resonansi dramatis yang dikemasbeberapamediadalammusibah Air Asia QZ8501. Pertama, beberapa media mengejar banyak keluarga korban untuk diwawancarai.

Kalau kita perhatikan secara seksama, di banyak tayangan yang disiarkan live beberapa stasiun televisi, banyak keluarga korban yang merasa terintimidasi oleh kerja jurnalis televisi. Bidikan kamera, berondongan pertanyaan yang tentu secara sadar ditonton jutaan pemirsa, menjadi potongan cerita yang diramu secara melodramatik.

Yang menyebalkan, saat keluarga korban tampak tak sanggup menahan kesedihan dan takkuasa menahan nestapa yang harus mereka tanggung, tanpa canggung jurnalis televisi tersebut justru mencoba mengambil sudut gambar yang menjadi pesan ketidak berdayaan keluarga korban sebagai komoditi ekslusivitas.

Tak disangkal, bahwa nilai humanistis menjadi salah unsur kuat dalam nilai berita, tetapi tayangan tersebut secara sadar telah mengintimidasi dan mengeksploitasi korban secara berlebihan. Di beberapa tayangan, keluarga korban yang sudah berupaya menyetop wawancara, terus dipancing dan dijerat untuk menjawab dengan pertanyaanpertanyaan yang sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk publik dan juga keluarga yang ditimpa musibah.

Kedua, banyak tayangan sejumlah televisi yang mencampuradukkan kebutuhan informasi terkait dengan musibah hilangnya Air Asia QZ8501 dengan spekulasi, isu, dan gosip jalanan. Sejumlah grafik dan visual lainnya menjadi pengabsah paket kemasan untuk meyakinkan khalayak. Celakanya, di beberapa stasiun televisi spekulasi diwadahi tanpa diperkuat datadata mendalam dan analisis ahli secara verifikatif sehingga ulasan tampak di kulit permukaan.

Bercampurnya fakta dan asumsi mengenai penyebab musibah, spekulasi keberadaan pesawat, dan bumbu-bumbu cerita menyedihkan seputar korban dan keluarga korban lebih banyak memosisikan musibah ini sebagi komoditi siaran. Fenomena semacam ini semakin meneguhkan tesis Douglas Kellner dalam bukunya, Television and the Crisis of Democracy (1990) yang menyatakan tingkah laku industri penyiaran akan semakin ditentukan oleh the logic of accumulation and exclusion.

Memang benar, bahwa musibah semacam ini mengundang rasa ingin tahu, tetapi media massa terlebih banyak ditonton orang bukanlah saluran gosip, isu, dan haru biru para korban dalam perspektif jualan “paket kesedihan”. Salah satu bentuk logika komodifikasi musibah ini adalah tayangan kasatmata jasad yang diduga penumpang tadi.

Mengacu pada tulisan Vincent Mosco dalam The Political Economi of Communication (1996), komodifikasi itu merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditi yang dapat dipasarkan. Sangat bisa dimaklumi, saat salah satu televisi berita menayangkan berulang-ulang jasad penumpang tanpa diblur, sontak protes dan sumpah serapah berhamburan dari keluarga korban yang sedang berkumpul di Crisis Center Terminal 2 Juanda dan juga masyarakat beperhatian (attentive public) yang melek bahwa tayangan tersebut melanggar kepatutan dan standar siaran!

Retrogresi Media

Kegelisahan soal tayangan musibah di televisi, sesungguhnya bukan semata saat hilangnya pesawat Air Asia QZ8501 saja. Di banyak musibah lain yang terjadi sebelumnya, kerap siaran berita juga kurang mengembangkan “jurnalisme empati”. Secara substantif, hal ini juga berpotensi menyebabkan retrogresi media atau pemburukan dan penurunan kualitas isi media karena lemahnya standar kerja jurnalistik yang diterapkan.

 Muncul sejumlah paradoks peranmediadalammenjaga eksistensinya sebagai ruang publik. Ilmuwan John Hartley dalam Politics of Picture : The Creation of the Public in the Age of Popular Media (1992), menegaskan televisi, koran, majalah, dan media lainnya merupakan domain publik, tempat di mana publik sering diciptakan, oleh karenanya mengandung pemahaman public sphere.

Saat media lebih mengedepankan kepentingan kumulasi ekonomi atau kepentingan politik pemilik maka faktanya urusan dan harapan publik terpinggirkan dengan sendirinya. Prinsip bonum commune atau media mengedepankan kepentingan umum dianggap utopia oleh para pengelolanya. Media sebagai ruang publik terlebih yang menggunakan frekuensi milik publik wajib menghormati nalar, etika dan regulasi yang berlaku guna menjaga keadaban publik. Media dibutuhkan sebagai pemberi kabar, bukan semata-mata penjual “paket kesedihan”!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar