Rabu, 05 November 2014

Susi: Antara Status, Pendidikan, Rokok, dan Tato

Susi: Antara Status, Pendidikan, Rokok, dan Tato

Dedi Mulyadi  ;  Bupati Purwakarta
KORAN SINDO, 03 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Jagat Indonesia diguncang peristiwa penting, yaitu pengumuman dan pelantikan Kabinet Kerja Jokowi-JK. Guncangan terjadi karena banyaknya tokoh yang diramalkan menduduki kursi kabinet dengan segenap analisis yang disampaikan. Namun sayang, seluruh analisis itu tak terbukti. Rupanya ucapan atau komentar menjadi hilang ”kesaktiannya”. Teu saciduh metu saucap nyata (apa yang diucap itu tidak terjadi), ketika dipakai di arena yang sebenarnya. Makanya kalau punya ilmu tinggi jangan diumbar ilmunya, sebaiknya diamalkan di tempat yang sebenarnya agar ilmunya berwujud.

Guncangan yang paling besar dalam jagat politik kita dengan munculnya secara tibatiba tokoh wanita dari pantai selatan, Nyai Ratu Laut Kidul yang memiliki kemampuan mengoperasikan pesawat-pesawat kecil ke berbagai daerah terpencil di Indonesia serta memelihara lobster dan menjualnya memakai pesawat ke berbagai negara.

Nyai Ratu itu bernama Susi Pudjiastuti, tokoh yang tidak asing lagi dalam bisnis penerbangan pesawat perintis. Ingat Aceh, ingat Nias, ingat Papua, maka Susi Air-lah yang pertama mendarat. Guncangan itu terjadi karena Teh Susi, bukan seorang politisi atau pengamat politik, atau akademisi, tapi hanya seorang wanita dari pantai selatan yang tamat SMP dan pernah bersuamikan orang asing, janda, dan single parent tapi mampu mengelola bisnis, terpilih menjadi menteri... Tah ieu nu matak rame teh (Nah , ini yang bikin rame ).

Maka berbagai analisa kembali muncul. Kunaon (kenapa) lulusan SMP bisa jadi menteri? Kunaon atuh nu ditato bisa jadi menteri? Kunaon atuh nu udud (merokok) bisa jadi menteri? Pertanyaan itu bergemuruh menjadi wacana akademis, wacana sosial, sampai wacana warung kopi. Pokona mah heboh lah... (Pokoknya heboh deh ...) Ceuk kuring nu urang lembur, justru kudu tibalik pananyana... kunaon atuh nu S-1, S-2, S-3 jeung profesor sakolana laluhur (Kata saya yang orang kampung, justru jadi terbalik pertanyaannya. Kenapa yang S-1, S-2, S-3, dan profesor yang sekolahnya tinggi) tidak bisa berbisnis sesukses Bu Susi? Kenapa orang yang kencang ngomong kesetiakawanan sosialnya dan sering menyeminarkan kesalehan sosial tidak mampu terjun bebas ke tempattempat yangdilanda bencana, sedangkan mereka membutuhkan sarana komunikasi, bahan pangan, jaringan air bersih, bahkan sampai kabel listrik.

Justru Teh Susi mampu melakukan itu, bahkan Teh Susi mampu mendongkrak sektor perikanan dengan menjual produk dengan pesawat nya sendiri keluar negeri, sehingga ekspor perikanan kita terdongkrak. Lamun kieu urang nu kudu era, ngaku pinter, ngomong pertentang, nulis hebat, ari palebah prak, beut eleh ku Teh Susi nu tamat SMP, ku awewe urang lembur sisi laut Pangandaran ceuk Doel Sumbang mah... (Kalau begini kita yang mesti malu, mengaku pintar, bicara lantang, menulis hebat, tapi begitu praktek, malah kalah oleh Teh Susi yang tamat SMP, oleh wanita perdesaan dari pesisir Laut Pangandaran).

Bangsa kita sudah terlalu terbiasa membangun formal kesalehan, sehingga kesalehan seseorang selalu dinilai dari tata bahasa, tata busana, dan sejenisnya. Formalitas seperti ini hanya akan melahirkan kesalehan semu yang diukur oleh aspek yang bersifat terlihat.

Ceuk urang Sunda mah, urang teh loba kabobodo tenjo kasamaran tingal, nu lain dienya-enya nu enya dilain-lain, ari oray diparaehan ari oorayan diingu, atuh beurit nerekab di mamana tepi ka panen gagal (Kata orang Sunda, kita ini banyak tersamar pandangan, yang salah dianggap benar yang benar dianggap salah, ular yang asli dibunuh sementara ular-ularan dipelihara, jelas saja tikus tersebar di mana-mana hingga panen menjadi gagal). Kalau pakai jubah, dialah seorang santri, dialah beriman.

Kalau pakai dasi dan jas, dialah pengusaha sukses. Kalau ngomongnya bisa berputar-putar, dialah orang pandai, karena salah dalam menilai banyak korban yang berjatuhan. Contoh yang paling menghebohkan adalah ketika muncul eksekutif muda dengan bahasa yang membingungkan, itulah dia Vicky Prasetyo.

Berapa wanita cantik yang terjatuh dalam pelukan cintanya, karena terbuai oleh saudagar kaya yang pandai tiada tanding, hehehe... kacian deh lu ... Teh Susi bertato, tidak usah di permasalahkan, siapa tahu tatonya adalah ekspresi dari jiwa nya yang bebas dan terbuka. Justru dia adalah pribadi yang jujur, yang memperlihatkan dirinya yang sebenarnya, tidak ditutup-tutupi, tidak pura-pura. Pandangan orang terhadap tato yang harus segera diubah.

Zaman dahulu ketika ada petrus atau penembak gelap, banyak penjahat yang bertato terbunuh. Sehingga orang baik pun karena bertato secara psikologis mengalami ketakutan yang luar biasa, sampai badan dan tangannya harus diseterika agar tatonya hilang. Padahal tidak semua orang yang tidak bertato itu baik, kalau hatinya penuh gambar, sehingga ucapannya sering menyakiti orang lain, kebijakannya tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera.

Saatnya tato dalam hati dibersihkan. Tato bukan barang asing, bahkan itu adalah produk asli Indonesia. Orang Dayak terkenal dengan seni tatonya yang sangat tinggi. Tinggal sebagai menteri kelautan, Teh Susi harus membawa tato dari Dayak agar digemari di negara-negara seberang. Sekarang urusan merokok. Memang dalam kebudayaan kita, merokok itu dianggap kebiasaan laki-laki, agak jarang perempuan yang merokok.

Tetapi saat ini batas tugas laki-laki dan perempuan itu hampir tipis, kecuali urusan melahirkan yang tidak bisa dilakukan laki-laki. Banyak pekerjaan laki-laki yang diambil alih oleh wanita, apalagi Teh Susi, sebagai pebisnis tangguh di bidang kelautan dan penerbangan perintis tentunya harus tumbuh menjadi leader yang kuat yang dihadapi adalah kaum laki-laki yang berbadan tegap dengan aneka ragam bahasa dan kebudayaan.

Pemimpin yang mengayomi semua kepentingan dan keinginan akan melahirkan pola hidup yang dinamis dan adaptif terhadap seluruh keadaan dengan satu visi yang kuat bahwa target-target yang ditetapkan harus tercapai sesuai dengan keinginan bahkan harus melampaui keinginan yang digariskan. Rasa jenuh, rasa sendiri, rasa hampa kadang akibat segudang beban dan persoalan dalam hidup, rokok kadang menjadi teman setia untuk melahirkan gagasan-gagasan orisinal dan inovatif.

Kita tahu banyak seniman yang  tidak bisa berkreasi kalau tidak ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi. terpenting, rokok dan kopinya asli buatan Indonesia. Masih urusan merokok, saya justru mendukung Teh Susi karena hari ini para petani tembakau kita mengalami kegelisahan akibat tekanan internasional yang menyudutkan berbagai produk tembakau yang dianggap memberi sumbangsih terhadap penurunan derajat kesehatan masyarakat.

Tetapi saya juga aneh, kenapa di kampung-kampung tukang kayu yang aki-aki merokok dengan tembakau asli, pakai daun kawung atau kertas papir, tentunya kadar nikotinnya tinggi. Mereka umurnya pada panjang-panjang dan produktif di usia 80-90 tahun. Tetapi orang yang sangat bersih badannya, tegap langkahnya, rajin olahraga, banyak yang kena serangan jantung di usia muda atau kena penyakit tekanan darah tinggi atau stroke.

Saya tidak tahu tesis mana yang benar, yang jelas saat ini sentimen negatif terhadap rokok lebih tinggi dibanding sentimen negatif terhadap minuman keras. Coba kita bandingkan, jawab sing jujur, lebih bahaya mana rokok dengan minuman keras? Ayo jawab! dan uang kita habis pakai beli minuman keras impor di klub-klub malam di berbagai tempat dengan harga yang sangat mahal, menggerus devisa. Geus mah ngalieurkeun, rusak deuih rupiah aing.... (sudah bikin pusing kepala dan rupiah kita).

Jadi yang harus dilakukan bukannya ribut menyalahkan Teh Susi, tapi harus sibuk membenahi diri kita dan sistem pendidikan kita. Kenapa tidak bisa melahirkan banyak Susi Pujiastuti di Republik ini? Sehingga kita menjadi bangsa yang berjaya. Sudah saatnya sekolah dirombak berbasis kurikulum produktif, kurikulum pertanian, kurikulum kelautan, kurikulum perikanan, kurikulum pariwisata, kurikulum kehutanan, kurikulum industri, kurikulum sepak bola.

Dibanding kurikulum penuh buku, bikin pusing siswa, bikin pusing orangtua, dan hanya bikin senang percetakan. Heuheuy deudeuh... Pokona mah Wilujeng Sumping (Selamat Datang) Nyi Ratu Laut Kidul. Bralah, geuragawe nurancage... (Tunjukkan kemampuanmu...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar