Realokasi
Anggaran Subsidi BBM
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen
FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS,
12 November 2014
BAGI Indonesia, hal paling mendasar yang mestinya dituju dari
kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak adalah realokasi anggaran
subsidi BBM agar lebih tepat sasaran dan hal lain yang lebih produktif. Ini
sesungguhnya lebih terkait politik anggaran, tak harus selalu terkait tekanan
fiskal atau jebol-tidaknya anggaran, ataupun terkait fenomena fluktuasi harga
minyak. Artinya, jika politik anggarannya adalah realokasi anggaran dan
reformasi sistem subsidi, dari sistem subsidi harga menjadi subsidi langsung,
kenaikan harga BBM bisa saja dilakukan ketika sedang tidak ada tekanan fiskal
atau ketika harga minyak dunia sedang turun. Dalam sejarah Indonesia, hal ini
belum pernah dilakukan.
Sebaliknya, jika politik anggarannya adalah berapa pun subsidi
BBM akan ditanggung, kenaikan harga tak akan dipilih meskipun saat itu
anggaran sedang tertekan, terancam jebol, dan harga minyak tinggi. Ini yang
kurang lebih dilakukan pada tahun anggaran 2014 sehingga alokasi anggaran
subsidi BBM ditambah dari Rp 210,73 triliun menjadi Rp 246,49 triliun dalam
APBNP 2014. Jumlah ini belum termasuk carry
over subsidi BBM sebesar Rp 46,26 triliun yang tidak bisa dibebankan pada
tahun anggaran 2014 (karena jika dibebankan, defisit anggaran akan melebihi 3
persen dan berarti melanggar UU).
Di tengah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berencana
menaikkan harga BBM, harga minyak turun hingga ke level 80 dollar AS per
barrel. Masih relevan dan perlukah kenaikan harga BBM itu? Jawabnya, kembali
pada politik anggaran mana yang akan dipilih.
Jika bangsa ini rela dana ratusan triliun rupiah setiap tahun
dikonsumsi beramai-ramai, termasuk disalahgunakan dan tidak tepat sasaran,
tak usah kita bicara kenaikan harga. Kita cari saja segala macam cara dan
sumber dana yang bisa dipakai untuk menutup subsidi BBM itu. Namun, jika
politik anggarannya untuk realokasi anggaran dan mereformasi sistem subsidi,
saat inilah momentum bagi bangsa ini untuk bisa mulai lepas dari belenggu
subsidi (harga) BBM.
Jika pun kondisi saat ini dikaitkan dengan tekanan fiskal,
penurunan harga minyak saat ini sesungguhnya juga belum menyebabkan
berkurangnya subsidi BBM itu sendiri. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia
(Indonesian vrude price, ICP) pada bulan Oktober memang hanya 83,72 dollar AS per
barrel, tetapi rata-rata ICP Januari-Oktober 2014 masih pada kisaran 102,32
dollar AS per barrel, atau hanya sekitar 2 dollar di bawah asumsi APBNP 2014
sebesar 105 dollar AS per barrel.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah saat ini pada kisaran Rp 12.000
per dollar AS, atau melemah dari asumsi Rp 11.500 di APBNP 2014. Artinya,
secara keseluruhan subsidi BBM masih tetap berpotensi membengkak sekitar Rp
15 triliun dari yang dianggarkan dalam APBNP 2014. Jika pun rata-rata harga
minyak pada November-Desember ini bertahan di 80 dollar AS per barrel,
besaran subsidi BBM kemungkinan hanya akan tetap sama seperti yang
dianggarkan.
Pada ICP 80 dollar AS per barrel dan kurs Rp 12.000 per dollar
AS, harga keekonomian (tanpa subsidi) bensin premium di SPBU lebih kurang Rp
8.500 per liter. Artinya, jika harga saat ini dinaikkan Rp 2.000 per liter,
sudah tidak ada lagi subsidi pada harga BBM yang dibeli masyarakat.
Pemerintah dapat menggantinya dengan sistem subsidi langsung
yang lebih tepat sasaran, komprehensif, dan produktif. Manakala harga minyak
kembali naik, pemerintah dapat menetapkan harga keekonomian baru BBM secara
periodik atau menetapkan harga batas atas tertentu untuk BBM, tetapi tetap
memberikan subsidi langsung melalui sistem subsidi yang telah direformasi dan
dibangunnya.
Namun, semua berpulang pada kemauan politik para penyelenggara
negara yang terhormat. Hendak dibawa ke
mana Merah Putih yang Hebat ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar