Rabu, 05 November 2014

Pikiran Besar

Pikiran Besar

Herry Tjahjono  ;  Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS, 05 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SEORANG sahabat mengirimkan sebuah ilustrasi tentang tiga ”jenis” pikiran manusia (pikiran kecil, pikiran sedang, dan pikiran besar) dalam otak manusia.
Sesuai konteks tulisan ini, saya mengadaptasinya jadi dua: pikiran kecil dan pikiran besar. Pikiran kecil lebih suka membicarakan tentang ”orang”, pikiran besar fokus pada ”gagasan”. Konsekuensinya, pikiran kecil menghasilkan gosip dan pikiran besar menghasilkan solusi.

Kedua jenis pikiran itu menentukan output kerja dan kehidupan manusia. Jika otak kita dipenuhi pikiran kecil, kita akan sibuk dengan urusan orang lain, tak menghasilkan apa pun yang bermanfaat kecuali perseteruan dan konflik. Namun, apabila pikiran besar yang mendominasi, ia akan aktif menemukan terobosan baru yang bermanfaat. Bagi saya, ilustrasi ”ringan” ini sangat relevan dijadikan pisau analisis yang tajam untuk membedah dinamika kepemimpinan nasional belakangan ini, khususnya sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla resmi memerintah.

Untuk sebuah peristiwa yang sama, misal jatuhnya buah apel dari pohonnya, akan disikapi dan ditanggapi secara berbeda oleh kedua jenis pikiran itu. Pikiran kecil akan tertarik dengan pertanyaan: ”Siapa sih yang kemarin kejatuhan buah apel?” Sementara pikiran besar akan bertanya: ”Kenapa buah apel itu jatuh ke bawah, bukannya ke atas?”

Itu sebabnya dengan tegas saya sampaikan bahwa pikiran besar itu ada pada seorang Newton yang akhirnya melahirkan teori gravitasi. Sementara pikiran kecil melekat pada para wakil rakyat yang menghasilkan keterbelahan DPR. Terkait tema tulisan ini, stimulus yang hadir sama: (fungsi) kekuasaan pada era kepemimpinan nasional 2014-2019.

Pertama, sekali lagi ditegaskan, pikiran kecil sibuk dengan ”orang” (siapa) dan pikiran besar fokus pada ”gagasan” (kenapa). ”Siapa”—tecermin pada sebagian orang  yang sibuk dengan Susi Pudjiastuti (kok diangkat jadi Menteri Kelautan dan Perikanan?) yang hanya lulusan SMP dengan tato di kaki. Sementara pikiran besar sibuk dengan ”kenapa”  sehingga dengan percaya diri Jokowi mencium berbagai solusi di balik:  gagasan untuk membereskan masalah kelautan dan perikanan nasional melalui  pengangkatan Susi yang lulusan SMP, tetapi seorang praktisi hebat kelautan dan perikanan; gagasan untuk tak memprioritaskan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang justru menurunkan nilai competitive advantage negeri yang terwakili  dalam moto TNI Angkatan Udara, Jalesveva Jayamahe.

Kedua, turunan dari elemen pertama di atas membuat pikiran kecil gemar dengan ”sensasi”, sedangkan pikiran besar mendahulukan ”esensi”. Segala sesuatu yang sensasional seperti kegemparan memalukan di DPR justru digemari oleh mereka yang terjebak pada pikiran kecil (sadar atau tidak), tanpa malu dan peduli perasaan rakyat. Sementara JKW-JK lebih tertarik pada yang esensial. Itulah sebabnya Jokowi tanpa muluk-muluk menamakan kabinetnya sebagai Kabinet Kerja. Sederhana, tetapi esensial.

Ketiga, pikiran kecil sibuk dengan diri sendiri, kelompok, partai, egois, sedangkan pikiran besar lebih mendahulukan kepentingan lebih besar (selfless). Itu sebabnya manusia dengan pikiran kecil tega mengorbankan kepentingan lebih besar (rakyat misalnya), minta dilayani, tak dewasa, arogan, dan haus akan hormat dari orang lain. Berbagai perilaku wakil rakyat yang terbagi dalam dua kubu koalisi sangat mencerminkan hal itu.

Sementara pikiran besar biasanya lebih siap untuk berkorban (altruis), cenderung melayani, matang, rendah hati, dan tidak haus akan hormat dari sekelilingnya. Itu sebabnya Jokowi sejak sebelum dilantik bahkan  bersedia ”sowan” ke seorang Prabowo Subianto. Itu bukan sekadar pencitraan politik, melainkan juga karena otaknya dikuasai oleh pikiran besar, yang lebih mendahulukan  kepentingan lebih besar.

Ketiga elemen penting itu membedakan pikiran kecil dan pikiran besar dalam aras kepemimpinan nasional, khususnya di dimensi legislatif dan eksekutif. Lalu, jika fakta kepemimpinan nasional dihiasi oleh pikiran kecil dan besar yang berseberangan antara legislatif dan eksekutif seperti itu, apakah personifikasi seorang Jokowi sebagai presiden mampu memimpin bangsa ini secara efektif untuk lima tahun ke depan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar