Rabu, 05 November 2014

MPR RI dan Gerakan Empat Pilar Negara

MPR RI dan Gerakan Empat Pilar Negara

Hajriyanto Y Thohari  ;  Mantan Wakil Ketua MPR Periode 20019-2014
KORAN SINDO, 04 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Sejak reformasi, kecuali periode 1999-2004, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) memang menjadi lembaga negara yang sunyi sepi. MPR hanya menjadi berita media dua kali saja dalam sepanjang lima tahun masa baktinya: pertama, pada saat bersidang untuk pemilihan pimpinan (1-6 Oktober): kedua, pada saat sidang paripurna pelantikan presiden dan wakil presiden tanggal 20 Oktober.

Setelah itu, MPR tidak akan pernah bersidang paripurna lagi sekalipun kecuali ada agenda berikut ini: Sidang Tahunan untuk mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus (kalau jadi), Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, pelantikan dan atau pemilihan presiden dan/atau wakil presiden jika salah satu atau keduanya, sendirian atau bersama-sama berhalangan tetap atau berhenti sebagai presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya.

Dalam konteks seperti itu, lantas apa yang bisa diharapkan pada MPR? Atau dengan kata lain apa yang bisa dilakukan oleh pimpinan MPR dan pimpinan fraksi-fraksi serta kelompok anggota yang kosong pasca sidang pelantikan presiden itu? Pertanyaan ini terutama bagi pimpinan MPR yang notabene merupakan badan permanen (permanent body), bukan diarahkan kepada anggota MPR. Pasalnya, bagi anggota MPR oleh karena mereka adalah juga merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentu tidak menjadi persoalan: mereka mengikuti sidang-sidang atau rapat-rapat di DPR dan DPD.

Terobosan Konstitusional

Maka itu, jawaban terhadap pertanyaan kepada pimpinan MPR tersebut di atas sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi pimpinan MPR itu sendiri. Pasalnya, MPR tidak akan pernah melaksanakan sidang paripurna kecuali ada tiga agenda besar tersebut di atas. Alhasil, tidak akan ada berita apa pun dari MPR kecuali pimpinan MPR bisa melakukan terobosan selama masih dalam koridor konstitusi. Ini bukan proposal yang sulit, namun juga tidak mudah dan ringan. Diperlukan kejelian dan kecerdasan politik untuk melakukan terobosan ini.

Pimpinan MPR periode 2009-2014 membuat terobosan dengan melakukan: pertama, Gerakan Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (dulu disebut Empat Pilar Negara); dan kedua, memprakarsai Rapat Konsultasi Pimpinan Lembaga Tinggi Negara yang diikuti oleh presiden, wakil presiden, pimpinan MPR, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK), pimpinan Mahkamah Agung (MA), pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Yudisial (KY) setiap dua bulan sekali. Berkat Gerakan Sosialisasi Empat Pilar dan Rapat Konsultasi ini, muncullah berita-berita tentang MPR.

Selebihnya adalah dan hanyalah pernyataan-pernyataan individual pimpinan MPR tentang isu-isu aktual di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam perspektif Empat Pilar Negara.

Kini pimpinan MPR, termasuk di dalamnya pimpinan fraksi dan kelompok anggota, harus memikirkan dengan sungguhsungguh apa yang akan dilakukan oleh MPR periode ini setelah pelantikan presiden dan wakil presiden tanggal 20 Oktober 2014 ini. Tentu bukan berpikir mengada-adakan agenda agar MPR bisa mengadakan sidang, melainkan memikirkan apaapa yang akan dilakukan untuk bangsa dan negara yang sifatnya strategis dan mendasar. Pasalnya, apa pun yang dilakukan MPR haruslah bersifat mendasar, fundamental, dan strategis seperti misalnya menyangkut implementasi dasar negara, tujuan negara, dan arah negara sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945. Atau dengan kata lain menyangkut aksi dan implementasi dasar dan ideologi negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara).

Pasalnya, mereka bisa melanjutkan atau tidak melanjutkan program dan gerakan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara). UU tentang MD3 hanya memerintahkan dilakukannya sosialisasi Putusan MPR. Tidak ada yang lain. Dari ketentuan ini, MPR periode 2009-2014 membuat terobosan gerakan sosialisasi Empat Pilar itu. Kini pertanyaannya adalah terobosan apakah yang akan dilakukan oleh pimpinan MPR periode ini untuk mengisi hari-harinya yang sepi dan panjang dengan programprogram dan gerakan-gerakan yang secara cerdas dielaborasi dari frase ”melakukan sosialisasi Putusan MPR” tersebut di atas. Apa yang disebut dengan ”putusan MPR” adalah tidak banyak: UUD 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR, dan Keputusan-Keputusan MPR.

Gerakan Sosialisasi Pancasila

Dalam konteks dan perspektif ini, tentu saja saya berharap pimpinan MPR melanjutkan dan menyempurnakan program atau gerakan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (yang dulu disebut Empat Pilar) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik. Sebagai sebuah gerakan maka sosialisasi empat pilar negara haruslah dilakukan secara sistematis dan masif. Di mana pun dan kapan pun sebuah gerakan haruslah selalu dilakukan secara metodologis, dinamis dan sistematis. Alhasil harus merupakan sistematisasi yang dinamis sekaligus dinamisasi yang sistematis. Itulah kata kunci dari sebuah gerakan itu. Untuk menopang sosialisasi Empat Pilar menjadi sebuah gerakan atau movement, MPR periode sebelumnya membentuk tiga buah Tim Kerja, yaitu Tim Kerja Sosialisasi, Tim Kerja Pengkajian, dan Tim Kerja Anggaran, untuk menopangnya.

Pimpinan MPR memang seyogianya orang-orang yang banyak melakukan pemikiran yang reflektif dan refleksi yang visioner mengenai dasar negara, tujuan negara, arah atau kiblat negara, persoalan integrasi nasional, dan lain-lainnya. Atau dengan kata lain, pimpinan MPR, sekali lagi termasuk di dalamnya pimpinan fraksi dan kelompok anggota, haruslah siap menjadi manusia refleksi (man of reflection) atau manusia pemikir (man of thinking), bukan kaum pekerja (man of action) atau manusia praktisi (man of practition).

Pimpinan MPR tidaklah sama dengan pimpinan DPR. Demikian juga halnya pimpinan fraksi atau kelompok anggota MPR bukanlah pimpinan fraksi DPR yang mengurus politik sehari-hari (day to day politics). Pimpinan MPR lebih tinggi dari pada itu dan karenanya juga harus berpikir lebih tinggi daripada pimpinan DPR berpikir. Pimpinan MPR harus berpikir dalam level abstraksi yang sangat tinggi, yaitu menyangkut dasar negara, tujuan negara, dan aturan-aturan dasar negara,Tentu pekerjaan dan bidang seperti terurai di atas itu akan tidak menarik bagi mereka yang tidak menaruh kepedulian (concern) pada hal-hal yang sifatnya mendasar. Apalagi bagi orangorang yang tidak terbiasa bergiat dalam aktivisme intelektual yang biasa berpikir secara filosofis. Tetapi bagaimanapun, hal itu harus dimulai. Percayalah banyak hal yang bisa dikerjakan sebagai pimpinan MPR. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar