Selasa, 04 November 2014

Mencegat Penerbangan Gelap

Mencegat Penerbangan Gelap

Ardi Winangun  ;  Peminat Kajian Militer; Tinggal di Matraman, Jakarta Timur
DETIKNEWS, 02 Desember 2014
                                                
                                                                                                                       


Untuk kesekian kalinya TNI AU berhasil mencegat pesawat asing yang masuk wilayah udara Indonesia tanpa izin. Kejadian terakhir ketika pesawat latih sipil Beechcraft 9L bernomor registrasi Singapura menerobos wilayah udara di atas perairan Laut China Selatan, Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (28 Oktober 2014).

Intercept atau pencegatan yang dilakukan oleh pesawat milik TNI AU, Sukhoi Su-27/30MKI Flankers dari Skuadron 11, itu merupakan pengejaran kedua kalinya. Sebelumnya pesawat sipil itu sudah melintas dari Singapura menuju Sibu Kinabalu, Malaysia; namun saat dikejar, ia telah memasuki wilayah udara Malaysia.

Rupanya pilot tidak sadar kalau kehadirannya terdeteksi oleh radar milik TNI AU. Sehingga saat ia melakukan rute penerbangan balik, dari Malaysia ke Singapura, dengan lintasan yang sama, maka kehadirannya kembali terdeteksi dan akhirnya berhasil dipaksa mendarat (force down) oleh pesawat milik TNI AU.

Dengan berhasilnya TNI AU mencegat dan melakukan pendaratan paksa kepada pesawat tanpa izin, menunjukan TNIAU selalu siaga meski di masa yang disebut tidak perang. Di sini terlihat perpaduan kecepatan antara radar, pilot, dan pesawat yang digunakan. Bayangkan meski memiliki radar yang bagus namun kalau tidak ditunjang oleh keprofesionalan pilot dan pesawat yang mutakhir, bagaimana jadinya. Demikian juga sebaliknya.

Banyaknya pesawat asing yang melintasi wilayah Indonesia tanpa izin bisa jadi mereka menganggap remeh sistem radar atau penjagaan wilayah udara Indonesia. Di dunia penerbangan internasional bisa jadi mendengar ada bocoran yang menyebutkan bahwa sistem pertahanan udara dan pengaturan lalu lintas penerbangan di Indonesia lemah sehingga bila melintasi tanpa izin pun bisa aman dan lolos.

Adanya anggapan dari dunia penerbangan internasional bahwa sistem penjagaan udara dan pengaturan lalu lintas penerbangan di Indonesia lemah, ada betulnya. Lihat saja pada tahun 2011 pesawat milik Pakistan International Airlines, jenis Boeing 737, yang terbang dari Timor Leste menuju Malaysia melintas tanpa izin. Pun demikian di tahun yang sama, pesawat jet P2-ANW Dassault Falcon 900EX, yang ditumpangi Perdana Menteri Papua Nugini dengan Rute Malaysia-Papua Nugini tanpa izin.

Pada tahun sebelumnya, 2010, pesawat milik Malaysia berjenis BAE 146-200 yang ditumpangi oleh para petinggi Malaysia dan puluhan penumpang lainnya, melakukan hal yang sama, melintas tanpa izin dengan rute penerbangan Timor Leste-Kuala Lumpur Malaysia. Bila pesawat-pesawat resmi dan dikelola oleh maskapai yang terdaftar saja berani melintas tanpa izin, apalagi pesawat-pesawat pribadi.
Nah menjadi pertanyaan, seberapa banyak pesawat asing tanpa izin yang bisa lolos dari sergapan radar dan pesawat tempur TNI AU? Selama ini kalau kita lihat dan amati, pesawat-pesawat asing yang melintas tanpa izin dan berhasil didaratpaksakan adalah pesawat-pesawat ringan yang digunakan untuk wisata atau latihan, seperti pesawat cessna; dan pesawat sipil. Bagaimana bila pesawat yang melintas itu adalah pesawat tempur super canggih bahkan pesawat siluman?

Indonesia memiliki wilayah yang luas, bila dihitung-hitung antara darat, laut, dan udara, wilayah udara paling luas. Luas daratnya sepertiga, laut dua pertiga, dan udara adalah satu, jumlah antara laut dan udara. Tentu tugas ini bila diserahkan kepada TNI AU dan dengan dukungan alutsista yang minim, pasti merupakan tugas yang berat dan tidak ter-cover.

Sebagai negara yang letaknya strategis, Indonesia menjadi lintasan internasional tidak hanya kapal laut namun juga pesawat terbang. Meski di udara tanpa rintangan, penerbangan internasional juga harus melalui lintasan yang telah ditentukan oleh badan penerbangan internasional. Nah di sinilah pentingnya TNI AU untuk lebih memodernkan alutsistanya dan untuk lebih berani bersikap tegas kepada pesawat-pesawat yang kemampuannya lebih tinggi.

Bagaimana sikap kita saat kejadian di langit Bawean, Jawa Timur, pada tahun 2003, di mana 3 pesawat F-16 TNI AU harus berhadapan dengan 5 pesawat F-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy)? Tentu perasaan pilot F-16 saat itu lain rasanya, sebab yang dihadapi pesawat tempur yang sejenis atau bahkan lebih unggul. Bila di antara mereka tidak terjadi komunikasi dengan baik, bisa-bisa terjadi dog fight. Di sini kita patut memuji para pilot F-16 yang gagah berani berhadap-hadapan dengan para pilot Amerika Serikat yang bisa jadi memiliki pengalaman tempur yang lebih.

Tak hanya TNI AU, pihak yang terkait dengan pengaturan lalu lintas penerbangan sipil pun juga didorong untuk lebih meningkatkan kemampuannya, baik sumber daya manusia maupun teknologinya. Bila pesawat terbang tanpa izin itu melintas pada jalur yang sudah ditentukan, bisa-bisa terjadi kecelakaan di antara pesawat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar