Rabu, 05 November 2014

Mafia Tanah Mengancam BUMN

Mafia Tanah Mengancam BUMN

Albab Setiawan  ;  Praktisi Hukum
KOMPAS, 05 November 2014
                                                
                                                                                                                       


NEGARA tidak boleh kalah dari mafia tanah dan peradilan”. Pernyataan ini muncul di situs resmi PT Kereta Api Indonesia sebagai buntut kekalahannya di pengadilan secara  berturut-turut dalam mempertahankan tanah Stasiun Medan.
PT KAI adalah badan usaha milik negara (BUMN) pemilik Stasiun Medan yang dulu bernama Deli Spoorweg Matschappij. Di atas tanah tersebut bahkan sekarang berdiri bangunan mal dan apartemen megah yang konon tanpa izin mendirikan bangunan (IMB). Perkara ini bukanlah satu-satunya di pengadilan Medan, Sumatera Utara. BUMN lain, PT Pelindo I (Persero), mengalami nasib yang sama, kehilangan Pantai Anjing yang merupakan bagian dari kawasan Pelabuhan Belawan yang sudah dimilikinya sejak zaman kolonial.

Ancaman kehilangan tanah melalui pengadilan ini sebenarnya juga mengancam BUMN lain. Terutama BUMN yang bisnisnya berkaitan dengan tanah dan BUMN yang memiliki warisan dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Hindia Belanda berupa tanah di lokasi-lokasi strategis dan potensial.

BUMN hasil nasionalisasi seharusnya memiliki bukti-bukti formal material dan runtutan historis sebagai pemilik sah. Namun, pada kenyataannya mereka hampir selalu kalah di pengadilan. Dengan demikian, ungkapan PT KAI di atas lebih sebagai ungkapan kecewa terhadap penegakan hukum yang tak masuk akal, njelimet, dan multitafsir.

Langkah penyelamatan

Lepasnya tanah-tanah BUMN melalui pengadilan sungguh merupakan hal tragis yang memprihatinkan. Pemerintah harus segera mengambil langkah penyelamatan. Setidaknya mengingat, pertama posisi BUMN sebagai bisnis negara untuk kesejahteraan rakyat (welfare state). Kedua, kuat dan ganasnya mafia tanah. Ketiga, belum dilakukannya langkah penanganan yang strategis dan terintegrasi oleh pemerintah.

Kepentingan BUMN adalah kepentingan negara dan aset BUMN adalah aset negara. BUMN adalah alat negara untuk mengejar pendapatan guna mengupayakan kesejahteraan rakyat. Indonesia memiliki 142 BUMN dengan nilai aset mencapai Rp 4.500 triliun. Pembiayaan negara cukup terbantu oleh keberadaan BUMN. BUMN mengambil peran strategis dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan dan kepentingan umum (public service dan public utilities).

Di Indonesia, keberadaan BUMN memudahkan rakyat dalam memperoleh barang atau jasa sesuai kebutuhan, membuka dan memperluas lapangan kerja, serta mencegah monopoli pasar atas barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak oleh sekelompok pengusaha swasta bermodal kuat. BUMN juga berperan meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi komoditas ekspor sebagai sumber devisa. Maka, gangguan terhadap aset BUMN adalah gangguan atas kepentingan negara.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan kolonial yang memiliki fungsi strategis. Di antaranya Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton (GMB) untuk timah, s’ Lands Waterkracht Bedrijven (LB) untuk listrik, IJN Eindhoven & Co untuk gas, Staats Spoorwagen (SS) untuk kereta api, dan NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij (NV NIPCM) untuk pabrik semen.

Karena itu, sangat berdasar jika BUMN nasionalisasi mewarisi tanah-tanah di lokasi strategis, di pusat-pusat perdagangan dan bisnis dengan nilai ekonomis yang tinggi. Kecuali terjadi salah urus atau permainan mafia, maka tidaklah masuk akal jika BUMN kalah dalam mempertahankan asetnya di depan hukum.

Siapa mafia tanah ini? Di mata awam, keberadaan mereka dan cara kerjanya terlihat wajar dan tidak ada yang menyimpang. Namun, di balik itu tersimpan rencana (modus) penyerobotan tanah negara ”secara sah”.

Melibatkan oknum aparat

Mereka ditengarai memiliki modal yang kuat dan mampu membeli apa pun, termasuk membeli kehormatan oknum- oknum birokrat dan aparat. Mafia tanah ini juga bekerja secara sistematis, memiliki jaringan yang luas yang mampu menembus birokrasi pusat dan daerah dan tak kasatmata oleh awam.

Seperti layaknya mafia di film-film, mereka sangat tahu cara memanfaatkan oknum-oknum pejabat, aparat, dan birokrat berikut kelemahannya. Selanjutnya menyandera mereka menjadi bagian resmi dan tidak resmi. Mereka bisa saja terdiri dari oknum aparat penegak hukum, oknum pegawai negeri, oknum politisi dan pegawai BUMN, pensiunan, organisasi-organisasi berkedok LSM, dan lain-lain yang pada prinsipnya berperan sesuai kompetensi masing-masing dalam memuluskan tujuan mafia.

Mafia juga memiliki mata-mata dari luar dan dalam BUMN yang bertugas mencari peluang dan kelemahan. Mereka juga memelihara pasukan lapangan sebagai martir yang bertugas menduduki tanah sembari menempuh seolah-olah jalur hukum. Mereka sangat tahu cara memanfatkan hukum dan menaklukkan oknum aparat hukum. Mereka membeli ijon dan memodali perkara-perkara tanah melawan BUMN atau bahkan menciptakan sengketa-sengketa semu. Dengan jaringan kalangan profesional, mereka juga lihai memanfaatkan peluang hukum sekecil apa pun dan menjadikannya sebagai alat masuk (entry point) menjadi perkara hukum.

Mereka tahu kelemahan BUMN dalam permodalan dan mentalitas sehingga banyak tanah BUMN yang terbengkalai, tidak terurus dan telantar, tanah yang fisiknya dikuasai pihak ketiga, tanah yang statusnya bersinggungan dengan hak adat, hak kerajaan lama, dan tanah yang sedang dalam sengketa. Tanah-tanah semacam itulah yang menjadi incaran mafia tanah.

Selain itu, rasa memiliki (sense of belonging) di kalangan pengurus BUMN tergolong rendah. Hal ini akibat pemahaman bahwa milik negara bukan milik pribadi sehingga daya juang (fighting spirit) pengurus dalam mempertahankan aset tidaklah sekuat milik pribadi. Kelemahan itu jadi sempurna jika ditambah intervensi politik, lemahnya administrasi, dokumentasi, koordinasi, serta lemahnya pendanaan dan anjuran privatisasi dan restrukturisasi BUMN yang salah kaprah.

Mereka masih berpikir bahwa kebenaran hukum adalah tunggal, hitam putih dan linear. Karena aparat hukum adalah alat negara, diasumsikan pasti berpihak kepada BUMN. Ternyata asumsi itu salah besar.

Ancaman mafia tanah dan peradilan ini sudah sangat serius dan perlu segera diambil langkah penyelamatan. Kementerian BUMN harus segera membentuk satuan tugas khusus penyelamat tanah bersifat sementara. Satgas ini sebaiknya bertanggung jawab kepada presiden, tetapi terhubung langsung ke DPR dan MA.

Satgas lintas terpadu ini memiliki akses ke semua BUMN. Beranggotakan pejabat Kementerian BUMN, BPN, kepolisian, kejaksaan, KPK, serta Komisi Kejaksaan, Kepolisian, dan Yudisial. Satgas harus diberi wewenang meneliti tanah-tanah BUMN yang berpotensi masalah dan bermasalah, melakukan kajian yang melibatkan perguruan tinggi, dan selanjutnya mencari jalan penyelamatan.

Tim ini bertugas memastikan kebenaran hukum dan status hukum, selanjutnya membuat rekomendasi dan tindakan untuk memastikan bahwa kebenaran hukum itu tunggal dan tidak multitafsir sehingga kelemahan pendanaan tidaklah identik dengan kelemahan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar