Sabtu, 08 November 2014

“Kini Sudah Ada Ekstraknya”

“Kini Sudah Ada Ekstraknya”

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


TENGAH hari bolong pekan lalu, kami cuma belasan orang, menunggu kedatangan jenazah Soegeng Sarjadi di sebuah masjid di bilangan Depok, Jawa Barat, yang jauh dari hiruk-pikuk Ibu Kota. Seorang polisi tiba-tiba terlihat repot dan panik mengatur lalu lintas di jalan di depan masjid, membuat kami agak heran.

Oh, rupanya sang polisi pontang-panting karena baru diberi tahu bahwa Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla melayat ke masjid. Tak ada persiapan mencukupi untuk mengamankan kedatangan mereka.

Belakangan segelintir polisi, aparat kelurahan, dan aparat militer nongol juga di masjid. Tapi, tidak ada pemandangan khas yang biasa kita saksikan di masa lalu jika presiden atau wapres berkunjung ke sebuah tempat.

Dulu, biasanya kunjungan mereka menimbulkan heboh dengan kerumunan orang di mana-mana. Kadang kita sebal dengan sikap sok genting aparat/ birokrat di sekeliling mereka.

Tak lama kemudian tibalah rombongan RI-1 dan RI-2 dikawal tiga-empat mobil dan sebuah motor polisi, plus segelintir personel Paspampres/protokol, serta sedikit wartawan. Presiden dan Wapres berada di satu mobil saja.

Mereka tiba lebih dulu daripada jenazah Soegeng. Setelah disambut menantu almarhum Soegeng, Silmy Karim, kami bersama-sama wudu tanpa pengawalan ketat Paspampres.

Saat keluar dari tempat wudu, masih dalam keadaan agak basah kuyup karena tak ada handuk, anak-anak mengerubungi Presiden dan Wapres. Kegembiraan dan gurauan polos mereka diladeni satu per satu Pak Jokowi dan Pak JK.

Waktu dzuhur telah tiba mendahului kedatangan jenazah Soegeng, yang belakangan kami shalatkan bersama pula. Alhamdulillah kehormatan bagi kami mengikuti shalat Dzuhur dengan Pak Jokowi sebagai imam.

Untuk pertama kalinya sebagai wartawan, saya merasakan sebuah kewajaran. Kita tahu Pak Jokowi kurang terbiasa dengan protokol sejak jadi Wali Kota Solo, dan Pak JK juga kurang suka hal-hal yang bersifat seremonial ketika jadi Wapres 2004-2009. Sebagian dari Anda pasti pernah ikut menyaksikan dan merasakan sendiri dari dekat kunjungan Pak Jokowi dan Pak JK. Wajar ada yang setuju dan juga yang kontra.

Masuk akal yang tak setuju karena betapa pun mereka harus dikawal ketat untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Juga masuk akal yang setuju menganggap pengawalan berlebihan sudah tidak zamannya lagi.

Tetapi, tampaknya semua setuju gaya bersahaja ini bertujuan baik dalam rangka penghematan. Sudah 10 tahun terjadi pemborosan dalam setiap acara kepresidenan yang mungkin ditiru sampai oleh birokrasi paling bawah.

Kita bangsa penggemar seremoni/upacara karena tradisi kultural yang rumit, bertele-tele, dan mengada-ada. Pembukaan dan penutupan pidato saja kadang amat panjang, peresmian monumen atau acara mutlak diawali pemukulan gong atau pengguntingan pita.

Padahal, setiap acara di republik ini pasti ngaret, kadang berjam-jam. Seminar, lokakarya focus group discussion (FGD), dan lain-lain yang diadakan kementerian berlangsung di hotel yang tak murah—sementara ruangan kantor mereka sering kosong.

Dalam rangka penghematan itulah, kita tunggu kunjungan perdana ke luar negeri Presiden dalam rangkaian KTT APEC, ASEAN, dan G-20 dalam waktu dekat. Apakah kunjungan menyertakan rombongan lebih dari 100 orang seperti yang sering dilakukan presiden sebelumnya?

Meski tak mudah mengubah kebiasaan boros yang sudah berlangsung lama, kita punya kekuatan sebagai bangsa penganut kultur patron-client (bapak-anak buah). Jika pemimpin menunjukkan suri teladan sehari-hari, para pejabat di bawah akan mengikutinya.

Untuk pertama kalinya kita punya presiden dan wakil presiden yang berlatar belakang pengusaha. Mereka bukan birokrat seperti SBY-Boediono.

Keduanya pengusaha sukses, masing-masing dengan kekayaan mencapai puluhan miliar (Pak Jokowi) dan ratusan miliar (Pak JK). Mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah juga kita memiliki presiden/wapres yang ”orang tajir”.

Kita berharap mereka tidak berambisi lagi untuk memperkaya diri. Dan, sebagai pengusaha, mereka berorientasi pada kerja, kerja, dan kerja—seperti sering dislogankan Pak Jokowi belakangan ini.

Jika diandaikan nilai rata-rata rapor, pilihan kabinet juga mencapai angka 7 (cukup baik). Nilai itu bisa mencapai angka 8 (baik) dan jangan sampai turun ke 6 (cukup). Tentu ada kalangan yang mengkritisi sebagian menteri bukanlah pilihan yang terbaik. Inilah yang namanya ”kompromi politik” yang terjadi di semua kabinet di dunia ini.

Alhasil, kita optimistis dengan pemerintahan yang dipimpin orang yang gemar blusukan, merakyat, bertekad menghemat, dan berorientasi kerja. Juga cukup menggembirakan perilaku out of the box yang ditunjukkan Jokowi-JK telah menular. Lihat, misalnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan kepemimpinan yang berani menggebrak ke sana-sini atau Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri yang memanjat pagar. Kita tunggu aksi-aksi ”tidak biasa” para menteri lainnya.

Betapa pun, itu semua masih belum mencukupi. Tipologi kepemimpinan baru yang menempel pada Jokowi-JK perlu penopang lain yang kuat untuk menjalankan pemerintahan tegas, kuat, efisien, dan efektif.

Pada bulan-bulan ke depan, pandangan tentang kepemimpinan baru ini bisa berubah. Toh politik ”dunia persilatan” tak terduga.

Betapa pun, untuk sementara ini kita memetik hikmah bahwa tiap pemimpin wajib merakyat dan bekerja. Jika mengambil slogan iklan yang populer belakangan ini, ”Kini sudah ada ekstraknya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar