Rabu, 05 November 2014

HP

HP

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 02 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Pada tahun 1975, ketika saya beruntung mendapat rumah dinas dari UI di Ciputat, wilayah itu masih tempat jin membuang anak. Jalan akses satu-satunya ke Jakarta adalah lewat Pondok Pinang dan Kebayoran lama. Pondok Indah belum ada, apalagi jalan tol. Tetapi pada waktu itu, setiap pagi saya mengantarkananaksaya yangmasih sekolah di kawasan Menteng, saya berangkat jam 06.15 dan sampai di sekolah sebelum jam 07.00. Tidak pernah terlambat.

Di sisi lain, rumah yang jauh dari mana-mana dan belum ada aliranlistriknya, tentunya sangat membutuhkan sambungan telepon. Tetapi, saya perlukan tiga tahun untuk mendapat sambungan telepon ke rumah. Alasan PT Telkom (entah nama perusahaan pelat-merah itu apa ketika itu) macam-macam. Belum ada sambungan, nunggu giliran, harus memasang tiang dan menarik kabel, dan lain-lain. Ketika akhirnya telepon itu terpasang tiga tahun kemudian, ongkosnya pun mahal banget. Jauh diatas kemampuan seorang PNS muda yang bukan pegawai Kantor Pajak atau Bea Cukai.

Pada pertengahan tahun 1980-an, mulai ada telepon genggam atau HP (handphone) untuk menggantikan radio panggil (biasa disebut Starko, yaitu merek dari salah satu provider-nya) yang biasa dipakai oleh para dokter dan salesman supaya cepat dihubungi jika perlu.

Tetapi, HP model pertama berukuran besar, lebih besar dari genggaman orang dewasa, berat dan kalau buat melempar anjing, anjingnya bisa mati. Tetapi yang lebih penting, daya jangkau HP model lama itu hanya terbatas Jakarta, dan yang terpenting harganya luar biasa mahal, antara Rp8 juta sampai Rp20 juta (ketika nilai tukar dolar masih Rp2.500/ USD). Karena itu, yang bisa memiliki HP ketika itu hanya elite masyarakat Jakarta kelas Ali- Baba (Ali mewakili pejabat pribumi, Baba mewakili pengusaha non-pribumi yang semuanya papan atas).

Tetapi hari ini, di saat nilai tukar dolar AS seputaran Rp12.000 lebih, dengan beberapa ratus ribu rupiah para PO (pilot ojek) dan ART (asisten rumah tangga) pun sudah bisa punya HP. Pulsanya pun bisa dibeli mulai dari harga Rp5.000, atau bahkan kurang dari itu. Tetapi, perusahaan-perusahaan provider HP tidak ada yang bangkrut, malah makin banyak, bukti bahwa bisnis HP sangat menguntungkan. Tidak heran jika sekarang semua orang punya HP, bukan hanya para orang dewasa, anak-anak SD pun sudah pegang HP, karena ukuran HP sekarang mungil-mungil, sehingga bisa digenggam tangan anak-anak usia SD dengan nyaman.

Lebih dari itu, yang lebih dahsyat lagi, adalah bahwa di dalam HP mungil jaman sekarang ini ada banyak fungsi. Selain untuk menelepon ke seluruh dunia (bukan hanya Jakarta) bisa untuk mengirim teks (SMS, BBM, Whatsapp dll), bisa untuk memotret, ada kamera videonya, sekaligus bisa memutar video, ada jam, ada agenda, ada mesin ketik, dan spread sheet (untuk membuat daftar-daftar), ada kalkulator, ada e-book, ada internet, dan lain-lain yang biasa ada dalam komputer, dan sebagainya dan seterusnya. Makin mahal HP, makin banyak fiturnya, namun ukurannya tidak makin besar, tetap bisa digenggam anak SD.

Padahal ketika saya masih sekolah SD dulu, kalau kita mau berlibur ke luar kota dan mau membawa kamera foto, kamera video, pesawat telepon, buku agenda, jam wekker (untuk membangunkan kita dari tidur), buku buku bacaan untuk diperjalanan, maka kita harus menyewa bus carteran, tidak bisa naik kereta api, karena barang-barang itu tidak bisa dimasukkan ke koper. Ketika sudah ada mesin faks dan komputer, mungkin kita perlu menyewa satu kontainer, karena komputer di tahun 1970-an besarnya masih satu gedung berlantai tiga. Tetapi, semua itu hari ini dengan nyaman bisa dibawa bawa oleh seorang anak SD dan masuk ke dalam ransel sekolahnya (dengan risiko bisa kena rampas guru kalau ada razia HP). Luar biasa!

Saya bukan ahli fisika, juga bukan insinyur elektro. Tetapi dari yang saya ketahui, semua itu dimungkinkan oleh teknologi yang dinamakan teknologi nano (bukan mereka permen yang rasanya ramai). Teknologi ini memungkinkan orang untuk mereduksi volume semua benda menjadi hanya 1/50.000. Dengan teknologi nano itulah, semua benda yang sebanyak satu kontainer itu, berikut fungsinya masing-masing, bisa direduksi menjadi hanya sebesar genggaman anak SD. Ini suatu lompatan teknologi yang luar biasa, yang di tahun 1970-an saya bayangkan hanya mungkin terjadi dalam ceritacerita James Bond, mata-mata Inggris berkode 007.

Dampak dari lompatan teknologi ini juga luar biasa. Dunia tiba-tiba jadi kampung kecil, karena dengan HP kita bisa menjangkau seluruh pelosok dunia. Struktur masyarakat, perdagangan, politik, pemerintahan, sosial, budaya dan sebagainya, berubah drastis. Maka terjadilah apa yang oleh Alfin Toffler dinamakan ”kejutan budaya” (culture shock). Orang tidak siap menghadapi kejutan budaya yang berbasis loncatan teknologi informasi ini. Maka orang curhat diInstagram, yang buntutnya menghinaoranglain, dan dilaporkan ke polisi. Di tengah rapat serius, menerima telepon dengan suara keras. Di dalam kelas, bukannya mendengarkan guru, malah BBM-an. HP pun digunakan untuk mengirim jawaban contekan ketika ujian atau ulangan, dan HP bisa jadi alat untuk menghasut oleh teroris atau untuk merekam adegan-adegan mesum sesama kawan sekolah, dan pesan SMS dijadikan ”Sarana Menuju Selingkuh”.

Umat manusia sedang dihadapkan pada masalah yang sangat serius dengan hadirnya HP ini, yaitu masalah kejutan budaya dan masalah penyesuaian norma etika sehubungan dengan kemajuan teknologi yang makin pesat dan akan terus bertambah pesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar