Jumat, 20 Desember 2013

Transparansi Anggaran Partai Politik

Transparansi Anggaran Partai Politik
Wasisto Raharjo Jati  ;    Kandidat peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MEDIA INDONESIA,  19 Desember 2013
  


KASUS korupsi pejabat yang marak terjadi di negeri ini senantiasa mengaitkan nama partai yang mengusungnya. Adapun sembilan partai politik (parpol) yang tercatat di parlemen setidaknya ‘memiliki wakil tersangka’ yang sudah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Praktik sedemikian tersebut memang sudah akut, kronis, dan membudaya di tengah budaya rente parpol yang tidak bisa hilang. Kondisi tersebut kemudian mendorong adanya transparansi anggaran parpol agar dibuka ke forum publik dan bisa dikontrol secara meluas.

Wacana tersebut bergulir sebagai langkah penyelamatan popularitas parpol agar tidak semakin merosot jelang Pemilu 2014. Namun demikian, di kalangan fungsionaris parpol, secara beragam menanggapi keterbukaan anggaran parpol tersebut. Tercatat PDIP, PKS, dan Demokrat yang menyetujui agar anggaran dibuka dan dipublikasikan. Sementara itu, enam partai lainnya condong untuk menutupi informasi anggarannya dengan alasan rahasia organisasi. Adanya dikotomi antara setuju dan tidak terhadap wacana keterbukaan anggaran partai tersebut mengindikasikan bahwa masih sedikitnya kesadaran fungsionaris parpol untuk memulai langkah antikorupsi.

Bagi yang setuju terhadap wacana tersebut, mungkin hanya sebagai tudung untuk menarik simpati publik setelah partainya dihantam korupsi kadernya. Sementara itu, yang menolak masih terpaku pada paradigma organisasional eksklusif bahwa partai adalah institusi privat yang isinya juga kalangan internal pula. Keengganan partai untuk memublikasikan anggarannya tersebut tentunya telah mengaburkan harapan publik agar partai sendiri lebih inklusif karena sejatinya partai adalah institusi publik.

Harus diakui bahwa baik sekat ideologis, kedaerahan, maupun warna hingga kini yang masih menyekat partai kita mendorong dirinya menjadi partai publik bagi masyarakat. Masalahnya kini ketika proses pemublikan partai agar mengubah dirinya menjadi inklusif belum selesai, partai selalu saja mendorong kadernya berburu rente di pemerintahan.

Maka pembiayaan partai yang berorientasi pada power seeking dan public office semata tanpa diikuti kejelasan aliran dana dan bisa dipastikan pembiayaan tersebut bersifat oligarkis dan korup. Munculnya pembiayaan partai tersebut ditandai adanya alienasi dan fragmentasi antara negara dan masyarakat yang kemudian menciptakan partai memainkan agensi ganda.

Alienasi tersebut merupakan sejumput dari pembangunan masyarakat demokrasi bercorak kapitalis yang di satu sisi ada pihak bernama publik, dan yang satunya lagi privat. Logika itu sebenarnya ingin memperkukuh adanya kekuasaan elite dalam privat sebagai kelas dominan atas publik.

Gentong babi

Partai sendiri berkembang sebagai intermediary dalam penghubung ranah tersebut. Hanya, peran penghubung itu acap kali tersamarkan dengan besarnya libido partai untuk berkuasa. Dalam ranah masyarakat, partai memainkan peran artifisial sebagai penyambung aspirasi masyarakat melalui serangkaian kampanye populis dalam politik gentong babi dan dalam ranah pemerintah. Partai memainkan fungsi sebagai agen elek toral yang berorientasi pada kekuasaan dan kursi jabatan.

Dalam bahasa strukturalis, perilaku biner yang ditunjukkan parpol dapat dikatakan sebagai upaya private gain of public expense, yakni implementasi logika self regulating dari partai untuk bisa merebut sumber keuangan dengan mengatasnamakan publik atau pemerintah. Serta logika state captured corruption, yakni logika partai untuk menyandera keuangan negara melalui politisasi tahun anggaran sehingga menjadikan keuangan negara yang seharusnya menjadi domain publik menjadi domain partai.

Pada dasarnya kebutuhan akan pembiayaan partai sebenarnya merupakan masalah kepercayaan (trust) maupun keuntungan (benefit) yang akan dihasilkan. Organisasi parpol pada dasarnya merupakan badan usaha promosi yang menjual komoditas ideologis sebagai dagangan. Maka semakin baik kemasan dagangannya, semakin banyak pula aliran dana mengalir untuk membiayai partai tersebut. Oleh karena itulah, banyaknya figur yang menonjol dalam sebuah partai sangatlah terkait dengan dimensi trust dan benefit seseorang untuk membiayai partai tersebut akan menghasilkan keuntungan. Hal itulah yang menandakan bahwa karakteristik pembiayaan parpol sebenarnya aksi kolektif bersama (collective action) dengan terjadinya konversi trust sebagai modal sosial partai menjadi modal ekonomi bagi para kadernya. Namun demikian, dalam situasi demokrasi kontemporer, adanya transformasi karakter partai dari semula partai massa (mass party) menjadi partai elite (elite party) juga turut mengubah karakter pembiayaan partai.

Karakter Pembiayaan

Dalam struktur pembiayaan partai di Indonesia, partai pada umumnya bersifat catch all-party yang memiliki karakter pembiayaan partai yang pada umumnya rent-seeking. Karakter ini bisa dikatakan setengah liberal disebabkan pembiayaan partai masih bersumber pada sumbangan elite dan kader. Pola rente tersebut ditandai dengan adanya politisasi anggaran yang dilakukan dalam skema kolektif ataupun eksternal. Karakteristik tersebut sangatlah terlihat dalam siklus politisasi anggaran yang acap kali digunakan sebagai mesin pendanaan partai utama. Siklus ini biasanya diisi berbagai macam produk gentong babi oleh partai guna memperkuat elektabilitas melalui berbagai macam program populis. Siklus tersebut menampilkan karakter pembiayaan partai yang masih tergantung pada negara baik dalam skema pembiayaan kartel maupun pembiayaan eksternal. Namun demikian, dalam beberapa kasus pembiayaan partai juga ditemukan adanya partai swadana yang murni menggunakan dana sendiri untuk melaksanakan agenda elektoral. Itu disebabkan minimnya basis pendanaan komunitarian, dan terlalu menghamba pada pembiayaan berbasis elite dan negara. Maka tidaklah mengherankan, kasus korupsi di tubuh parpol sulit diberantas akarnya.

Terdapat keengganan bagi partai untuk mengubah tabiatnya tersebut karena itu sudah berjalan secara kultural dan sistematis. Partai jelas tidak bisa membuat badan usaha demi membiayai dirinya karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Pada taraf inilah sebenarnya partai kehilangan esensinya sebagai partai dalam menjual ideologi sebagai komoditas, tetapi mereka menjadi broker proyek yang kini menjadi pola umum dalam membiayai parpol. Implikasinya yang timbul adalah ketidakpercayaan publik yang kini mencapai 72%, sekaligus menjadi isyarat seolah jengah melihat partai berburu dana, tetapi miskin aspirasi publik.

Oleh karena itulah, perlu saatnya melakukan restorasi terhadap pembiayaan parpol di Indonesia. Restorasi tersebut bisa dilakukan dengan cara menggiatkan kembali pendanaan berbasis komunitarian sebagai langkah awal mereduksi ketergantungan negara dan praktik korupsi.

Pembiayaan berbasis modal sosial dirasa lebih penting dalam memperkuat kohesivitas pemilih ketimbang orientasi elite yang umumnya terjerumus kepada kasus korupsi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar