KASUS korupsi pejabat yang marak terjadi di
negeri ini senantiasa mengaitkan nama partai yang mengusungnya. Adapun
sembilan partai politik (parpol) yang tercatat di parlemen setidaknya
‘memiliki wakil tersangka’ yang sudah ditetapkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Praktik sedemikian tersebut memang sudah akut, kronis, dan
membudaya di tengah budaya rente parpol yang tidak bisa hilang. Kondisi
tersebut kemudian mendorong adanya transparansi anggaran parpol agar dibuka
ke forum publik dan bisa dikontrol secara meluas.
Wacana tersebut bergulir sebagai langkah
penyelamatan popularitas parpol agar tidak semakin merosot jelang Pemilu
2014. Namun demikian, di kalangan fungsionaris parpol, secara beragam
menanggapi keterbukaan anggaran parpol tersebut. Tercatat PDIP, PKS, dan
Demokrat yang menyetujui agar anggaran dibuka dan dipublikasikan. Sementara
itu, enam partai lainnya condong untuk menutupi informasi anggarannya
dengan alasan rahasia organisasi. Adanya dikotomi antara setuju dan tidak
terhadap wacana keterbukaan anggaran partai tersebut mengindikasikan bahwa masih
sedikitnya kesadaran fungsionaris parpol untuk memulai langkah antikorupsi.
Bagi yang setuju terhadap wacana tersebut,
mungkin hanya sebagai tudung untuk menarik simpati publik setelah partainya
dihantam korupsi kadernya. Sementara itu, yang menolak masih terpaku pada
paradigma organisasional eksklusif bahwa partai adalah institusi privat
yang isinya juga kalangan internal pula. Keengganan partai untuk
memublikasikan anggarannya tersebut tentunya telah mengaburkan harapan
publik agar partai sendiri lebih inklusif karena sejatinya partai adalah
institusi publik.
Harus diakui bahwa baik sekat ideologis,
kedaerahan, maupun warna hingga kini yang masih menyekat partai kita
mendorong dirinya menjadi partai publik bagi masyarakat. Masalahnya kini
ketika proses pemublikan partai agar mengubah dirinya menjadi inklusif
belum selesai, partai selalu saja mendorong kadernya berburu rente di
pemerintahan.
Maka pembiayaan partai yang berorientasi
pada power seeking dan public office
semata tanpa diikuti kejelasan aliran dana dan bisa dipastikan pembiayaan
tersebut bersifat oligarkis dan korup. Munculnya pembiayaan partai tersebut
ditandai adanya alienasi dan fragmentasi antara negara dan masyarakat yang
kemudian menciptakan partai memainkan agensi ganda.
Alienasi tersebut merupakan sejumput dari pembangunan masyarakat demokrasi
bercorak kapitalis yang di satu sisi ada pihak bernama publik, dan yang
satunya lagi privat. Logika itu sebenarnya ingin memperkukuh adanya
kekuasaan elite dalam privat sebagai kelas dominan atas publik.
Gentong babi
Partai sendiri berkembang sebagai intermediary dalam penghubung ranah
tersebut. Hanya, peran penghubung itu acap kali tersamarkan dengan besarnya
libido partai untuk berkuasa. Dalam ranah masyarakat, partai memainkan
peran artifisial sebagai penyambung aspirasi masyarakat melalui serangkaian
kampanye populis dalam politik gentong babi dan dalam ranah pemerintah. Partai
memainkan fungsi sebagai agen elek toral yang berorientasi pada kekuasaan
dan kursi jabatan.
Dalam bahasa strukturalis, perilaku biner
yang ditunjukkan parpol dapat dikatakan sebagai upaya private gain of public expense, yakni implementasi logika self regulating dari partai untuk
bisa merebut sumber keuangan dengan mengatasnamakan publik atau pemerintah.
Serta logika state captured
corruption, yakni logika partai untuk menyandera keuangan negara melalui
politisasi tahun anggaran sehingga menjadikan keuangan negara yang
seharusnya menjadi domain publik menjadi domain partai.
Pada dasarnya kebutuhan akan pembiayaan
partai sebenarnya merupakan masalah kepercayaan (trust) maupun keuntungan (benefit)
yang akan dihasilkan. Organisasi parpol pada dasarnya merupakan badan usaha
promosi yang menjual komoditas ideologis sebagai dagangan. Maka semakin
baik kemasan dagangannya, semakin banyak pula aliran dana mengalir untuk
membiayai partai tersebut. Oleh karena itulah, banyaknya figur yang menonjol
dalam sebuah partai sangatlah terkait dengan dimensi trust dan benefit
seseorang untuk membiayai partai tersebut akan menghasilkan keuntungan. Hal
itulah yang menandakan bahwa karakteristik pembiayaan parpol sebenarnya
aksi kolektif bersama (collective
action) dengan terjadinya konversi trust
sebagai modal sosial partai menjadi modal ekonomi bagi para kadernya. Namun
demikian, dalam situasi demokrasi kontemporer, adanya transformasi karakter
partai dari semula partai massa (mass
party) menjadi partai elite (elite
party) juga turut mengubah karakter pembiayaan partai.
Karakter Pembiayaan
Dalam struktur pembiayaan partai di
Indonesia, partai pada umumnya bersifat catch
all-party yang memiliki karakter pembiayaan partai yang pada umumnya rent-seeking. Karakter ini bisa
dikatakan setengah liberal disebabkan pembiayaan partai masih bersumber
pada sumbangan elite dan kader. Pola rente tersebut ditandai dengan adanya
politisasi anggaran yang dilakukan dalam skema kolektif ataupun eksternal.
Karakteristik tersebut sangatlah terlihat dalam siklus politisasi anggaran
yang acap kali digunakan sebagai mesin pendanaan partai utama. Siklus ini
biasanya diisi berbagai macam produk gentong babi oleh partai guna
memperkuat elektabilitas melalui berbagai macam program populis. Siklus
tersebut menampilkan karakter pembiayaan partai yang masih tergantung pada
negara baik dalam skema pembiayaan kartel maupun pembiayaan eksternal.
Namun demikian, dalam beberapa kasus pembiayaan partai juga ditemukan
adanya partai swadana yang murni menggunakan dana sendiri untuk
melaksanakan agenda elektoral. Itu disebabkan minimnya basis pendanaan
komunitarian, dan terlalu menghamba pada pembiayaan berbasis elite dan
negara. Maka tidaklah mengherankan, kasus korupsi di tubuh parpol sulit
diberantas akarnya.
Terdapat keengganan bagi partai untuk
mengubah tabiatnya tersebut karena itu sudah berjalan secara kultural dan
sistematis. Partai jelas tidak bisa membuat badan usaha demi membiayai
dirinya karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Pada taraf inilah
sebenarnya partai kehilangan esensinya sebagai partai dalam menjual
ideologi sebagai komoditas, tetapi mereka menjadi broker proyek yang kini
menjadi pola umum dalam membiayai parpol. Implikasinya yang timbul adalah
ketidakpercayaan publik yang kini mencapai 72%, sekaligus menjadi isyarat
seolah jengah melihat partai berburu dana, tetapi miskin aspirasi publik.
Oleh karena itulah, perlu saatnya melakukan
restorasi terhadap pembiayaan parpol di Indonesia. Restorasi tersebut bisa
dilakukan dengan cara menggiatkan kembali pendanaan berbasis komunitarian
sebagai langkah awal mereduksi ketergantungan negara dan praktik korupsi.
Pembiayaan berbasis modal sosial dirasa lebih penting dalam memperkuat
kohesivitas pemilih ketimbang orientasi elite yang umumnya terjerumus
kepada kasus korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar