Jumlah pemilih pemula
pada Pemilu 2014 mendatang, cukup mencengangkan. Menurut data KPU, dari
jumlah sekira 188 juta orang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT),
diperkirakan terdapat sekira 22 juta orang yang akan mengikuti pemilu
pertama kalinya. Sedangkan jumlah pemilih pada kelompok usia 17-23 tahun
sekira 30 juta orang. Dan mayoritas pemilih pemula dan pemilih muda adalah
pelajar (SMA), mahasiswa dan pekerja muda yang baru masuk kerja, sehingga
totalnya sekira 52 juta orang.
Pada Pemilu
2004 lalu, ada sekira 50 juta orang pemilih pemula dari jumlah 147
juta orang pemilih. Jumlah itu mencapai 34 persen dari keseluruhan pemilih
dalam pemilu. Penelitian yang dilakukan Bakti (2012) mencatat pemilih
pemula mencapai 19 persen atau 36 jutaan dari 189 juta penduduk yang
memiliki hak pilih. Potensi suara pemilih pemula tersebut tetap lebih besar
dibandingkan perolehan suara partai politik terbesar saat itu, yakni Partai
Demokrat yang memperoleh 21,6 juta suara.
Secara
psikologis, para pemuda generasi MTV ini punya preferensi yang berbeda
dengan orang-orang tua pada umumnya. Misalnya, mereka lebih kritis,
mandiri, independen, anti-status quo atau tidakpuas dengan kemapanan,
properubahan, dan historis dengan masa Orde Baru. Dari
sosiolkultural, para anak-anak muda ini juga hidup lepas dari pengaruh
model demokrasi otoriter Orde Baru terbangun, tidak pernah wajib nonton
film G 30 S PKI, tidak pernah ikut Penataran P4, dan yang penting tak
pernah mengalami “pemilu sinetron” yang pemenangnya sudah bisa ditebak.
Ketika menjadi
pemilih pertama ini, mereka hidup sudah di alam demokrasi sehingga disebut
sebagai native democration alias lahir di alam demokrasi. Namun, mereka
juga dikenal cuek dengan keriuhan politik sekaligus tak tertarik
politik. Di saat yang sama, native democration ini, bernafas dengan
udara digital dalam kehidupan sehari-hari, di mana gadget lebih
berharga dari uang tunai. Twitter dan facebook dianggap lebih penting
dari buku pelajaran, Youtube lebih menghibur dari televisi, serta narsis di
media social lebih menarik ketimbang jadi juara kelas.
Karakteristrik
seperti di atas itu, seharusnya akan menjadi tantangan bagi siapapun untuk
membangun kesadaran mereka untuk berpartispasi menjadi komunitas pemilih
cerdas. Pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan
pilihannya, sesuai dengan nurani karena tidak mudah digoda oleh
jargon-jargon politik yang bergentayangan di media massa.
Fakta lain soal
pemilih ini, adalah rendahnya tingkat partisipasi mereka ke bilik suara.
Dari dua pemilu sebelumnya, ternyata malah cenderung menurun. Pada tahun
1999 partisipasinya sebesar 92,7 persen. Tahun 2004 sebesar 84,07
persen, dan tahun 2009 sebesar 71 persen. Sementara untuk pilkada
Gubernur Sumatera Utara yang baru dilaksanakan, tingkat partisipasinya
tinggal 60 persen saja.
Penyebab
menurunnya partisipasi mereka dalam pemilihan umum dan pilkada tentu
bermacam-macam. Tapi yang paling kentara sebagai proses demokrasi, adalah
belum dihasilkannya wakil rakyat yang berkualitas dan komitmen tidak
korupsi. Pemuda “alay” ini dibombardir setiap harinya oleh berita-berita
berbagai kasus korupsi besar, mulai dari kasus Pemilihan Gubernur Senior
BI, Wisma Atlet Palembang, Kasus Hambalang, Kasus Pencetakan Alquran,
semuanya mengungkap keterlibatan anggota DPR secara terang benderang.
Untuk
mengembalikan kepercayaan pemuda-pemudi ini mau ke bilik suara, bukan hanya
tugas Komisi Pemilihan Umum, yang menjadi pemangku hajat lima tahunan namun
juga semua pihak, termasuk parpol peserta pemilu, serta pers. Idenya
adalah mengajak keikutsertaan mereka mencolos dalam pemilu,
namun bukan hanya sekadar melaksanakan kewajiban. Tapi juga penting
partisipasi menentukan masa depan bangsa.
Anak-anak muda
ini yang disebut Presiden PKS Anis Matta sebagai pemilih individual,
realistis, independen, narsis dan last minute, sejatinya sulit didekati
dengan pola-pola komunikasi biasa. Perilaku anak muda ini yang cenderung
labil, apatis serta pengetahuan politik yang kurang, menjadi tanggung jawab
bersama semua pemangku kepentingan demokrasi. Dengan jumlah populasi yang
begitu besar, perlu strategi khusus dan jitu agar anak-anak muda ini
peduli dan mau menggunakan hak memilihnya.
Dengan
hilangnya sekat-sekat ideologis dalam dua pemilu belakangan ini, masyarakat
tidak lagi diharapkan akan menentukan pilihan berdasarkan kedekatan
ideologis namun kedekatan indentitas. Artinya, pola komunikasi untuk
menyampaikan pesan ke mereka juga mengidentifkasikan dirinya sebagai bagian
dari kelompok mereka. Anak-anak muda ini tidak akan mudah dipengarui
oleh spanduk politik, umbul-umbul, billboard, stiker atau senyum kepalsuan
foto caleg. Pola sosialisasi dan komunikasi harus dengan cara yang anak
muda kenal saat ini, yakni media sosial. Tak ada yang menyangkal bahwa anak
muda di Indonesia adalah social media paling banyak.
Nugroho dan
Syarief (2012) dalam studinya mengenai “Media baru dan Proses Politik
Kontemporer di Indonesia” mencatat terjadinya peran yang signifikan
penggunaa media social untuk perubahan sosial politik di Indonesia.
Selanjutnya disebutkan, Indonesia adalah pengguna Facebook terbanyak nomor
5 di dunia, setelah Amerika Serikat, Brazil dan India. Jumlah akun twitter
Indonesia mencapai 19, 5 juta, juga nomor lima terbesar di dunia.
Penggunaan media sosial yang tinggi itu, akan memperkuat masyarakat madani
dan meningkatkan partisipasi politik sebagai bagian dari kekuatan sosial
guna memberkuat demokrasi.
Setidaknya, ada
tiga pola utama untuk membujuk pemilik pemula ini ke bilik suara. Pertama,
adalah sosialisasi besar-besaran dengan medium baru yakni media sosial.
Mark Poster (1990) dalam bukunya “The Second Media Age” menyebutkan, adanya
periode baru di mana teknologi interaktif dan komunikasi jaringan,
khususnya dunia maya akan mengubah masyarakat.
Contoh paling
dekat dari pendekatan komunikasi itu, adalah pada Pilkada DKI 2012
yang mengaplikasikan tim sukses Jokowi-Ahok dengan menggunakan sosial media
(youtube) lewat parodi musik yang
diubahnya menggunakan ikon bahasa anak muda. Sosial media memang bukan arus
utama membentuk opini, namun jika menjadi mampu memancing kontroversi dan
menjadi trending topic di social
media, dipastikan akan mempengaruhi media mainstream untuk memberitakannya
juga. Yang pada akhirnya, juga mempengaruhi masyarakat secara luas.
Sehingga tak
heran, hampir semua parpol saat ini merekrut anak-anak muda yang getol
berselancar di media sosial untuk ikut mendesain isu dan topik untuk
dilempar ke media sosial. Kedua, parpol berupaya mempengaruhi teman sebaya
atau peer group, juga dengan social media. Pengaruh teman sebaya atau
sepermainan menjadi faktor yang patut dipertimbangkan, karena faktor
eksternal ini bisa mempengaruhi informasi dan pendidikan politik. Teman
sebaya dipercaya bisa mempengaruhi persepsi dan tindakan mereka untuk
merespons isu politik.
Ketiga, peran
pers untuk mencerdaskan sekaligus menggarap pemilih pemula yang besar
ini juga harus sistematis, dengan metode terukur. Media massa yang mampu
menangkap isu-isu anak-anak muda, merekam kebutuhan mereka, dan
mengaplikasikan generasi digital ini, akan survive dan dipercaya oleh
mereka. Upaya media massa utama menyalurkan informasi yang menggugah,
terutama platform televisi dan platform internet, harus mampu
menyajikan informasi politik kepada khalayaknya secara efektif dan
efisien, tidak lagi bergantung kepada cara-cara tradisional dengan media
arus utama biasa. Arus informasi bukan lagi didominasi oleh koran, radio,
televisi, dan majalah.
Dalam hal
ini, ketika sehari-hari para remaja atau pemilih pemula lebih banyak
menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi dan gadgetnya, sudah
kehilangan minat menonton dan membaca berita politik. Jurnalis
didorong menuju konvergensi media.
Menurut August
E. Grant dalam pengantar bukunya yang berjudul Understanding Media Convergence; The State of the Field (2009. Ada
perubahan (change), yang terjadi
dan tak bisa dielakkan. Semakin besar perubahan dan semakin jauh perubahan
tersebut dari ekspektasi, maka menuntut ruang berita untuk selalu
berinovasi. Selain dituntut untuk menyajikan berita yang lebih cepat,
jurnalis juga dituntut untuk menghadirkan berita yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Perkawinan dini newsroom
media televisi, radio, media cetak dengan media berbasis internet, tidak
bisa dihindari. Ini adalah fakta yang tak dapat dipungkiri. Karena dengan
perkawinan legal itu, akan memungkinkan informasi didapat dan
disebarluaskan secara cepat tanpa sekat-sekat teknologi.
Mengapa kita
perlu menekankan pentingnya kelompok usia 17-23 tahun untuk menentukan
pilihannya pada Pemilu 2014? Tidak lain karena pada tahun 2045, atau 100
tahun Indonesia Merdeka, mereka masih dalam usia sangat produktif antara
48-54 tahun. Artinya mereka memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi
besar bagi Indonesia.
Disinilah peran
mencerdaskan kehidupan bangsa, masih relevan diterapkan oleh pers
Indonesia. Demokrasi ini harus dikawal oleh pers, sesuai
kapasitasnya, bahwa inilah langkah yang tepat untuk pers terlibat
langsung dalam proses Pemilu 2014. Perlu strategi untuk peduli, karena anak
muda adalah penentu bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar