Jumat, 20 Desember 2013

Merebut Hati “Pemilih Narsis” 2014

Merebut Hati “Pemilih Narsis” 2014
Hendrata Yudha  ;    Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) 
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta
OKEZONENEWS,  19 Desember 2013
  


Jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mendatang, cukup mencengangkan. Menurut data KPU, dari jumlah sekira 188 juta orang dalam  Daftar Pemilih Tetap (DPT), diperkirakan terdapat sekira 22 juta orang yang akan mengikuti pemilu pertama kalinya. Sedangkan jumlah pemilih pada kelompok usia 17-23 tahun sekira 30 juta orang. Dan mayoritas pemilih pemula dan pemilih muda adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan pekerja muda yang baru masuk kerja, sehingga totalnya sekira 52 juta orang.

Pada Pemilu 2004 lalu, ada sekira 50 juta orang  pemilih pemula dari jumlah 147 juta orang pemilih. Jumlah itu mencapai 34 persen dari keseluruhan pemilih dalam pemilu. Penelitian yang dilakukan Bakti (2012) mencatat pemilih pemula mencapai 19 persen atau 36 jutaan dari 189 juta penduduk yang memiliki hak pilih. Potensi suara pemilih pemula tersebut tetap lebih besar dibandingkan perolehan suara partai politik terbesar saat itu, yakni Partai Demokrat yang memperoleh 21,6 juta suara.

Secara psikologis, para pemuda generasi MTV ini punya preferensi yang berbeda dengan orang-orang tua pada umumnya. Misalnya, mereka lebih kritis, mandiri, independen, anti-status quo atau tidakpuas dengan kemapanan, properubahan,  dan historis dengan masa Orde Baru. Dari sosiolkultural, para anak-anak muda ini juga hidup lepas dari pengaruh model demokrasi otoriter Orde Baru terbangun, tidak pernah wajib nonton film G 30 S PKI, tidak pernah ikut Penataran P4, dan yang penting tak pernah mengalami “pemilu sinetron” yang pemenangnya sudah bisa ditebak. 

Ketika menjadi pemilih pertama ini, mereka hidup sudah di alam demokrasi sehingga disebut sebagai native democration alias lahir di alam demokrasi. Namun, mereka juga dikenal cuek dengan keriuhan politik sekaligus tak tertarik politik.  Di saat yang sama, native democration ini, bernafas dengan udara digital dalam kehidupan sehari-hari,  di mana gadget lebih berharga dari uang  tunai. Twitter dan facebook dianggap lebih penting dari buku pelajaran, Youtube lebih menghibur dari televisi, serta narsis di media social lebih  menarik ketimbang jadi juara kelas. 

Karakteristrik seperti di atas itu, seharusnya akan menjadi tantangan bagi siapapun untuk membangun kesadaran mereka untuk berpartispasi menjadi komunitas pemilih cerdas. Pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya, sesuai dengan nurani karena tidak mudah digoda oleh jargon-jargon politik yang bergentayangan di media massa. 

Fakta lain soal pemilih ini, adalah rendahnya tingkat partisipasi mereka ke bilik suara. Dari dua pemilu sebelumnya, ternyata malah cenderung menurun. Pada tahun 1999 partisipasinya sebesar 92,7 persen. Tahun 2004 sebesar 84,07 persen,  dan tahun 2009 sebesar 71 persen. Sementara untuk pilkada Gubernur Sumatera Utara yang baru dilaksanakan, tingkat partisipasinya tinggal 60 persen saja.

Penyebab menurunnya partisipasi mereka dalam pemilihan umum dan pilkada tentu bermacam-macam. Tapi yang paling kentara sebagai proses demokrasi, adalah belum dihasilkannya wakil rakyat yang berkualitas dan komitmen tidak korupsi. Pemuda “alay” ini dibombardir setiap harinya oleh berita-berita berbagai kasus korupsi besar, mulai dari kasus Pemilihan Gubernur Senior BI, Wisma Atlet Palembang, Kasus Hambalang, Kasus Pencetakan Alquran, semuanya mengungkap keterlibatan anggota DPR secara terang benderang.

Untuk mengembalikan kepercayaan pemuda-pemudi ini mau ke bilik suara, bukan hanya tugas Komisi Pemilihan Umum, yang menjadi pemangku hajat lima tahunan namun juga semua pihak, termasuk  parpol peserta pemilu, serta pers. Idenya adalah mengajak keikutsertaan mereka mencolos  dalam pemilu, namun  bukan hanya sekadar melaksanakan kewajiban. Tapi juga penting partisipasi menentukan masa depan bangsa. 

Anak-anak muda ini yang disebut Presiden PKS Anis Matta sebagai  pemilih individual, realistis, independen, narsis dan last minute, sejatinya sulit didekati dengan pola-pola komunikasi biasa. Perilaku anak muda ini yang cenderung labil, apatis serta pengetahuan politik yang kurang, menjadi tanggung jawab bersama semua pemangku kepentingan demokrasi. Dengan jumlah populasi yang begitu besar, perlu strategi khusus dan jitu  agar anak-anak muda ini peduli dan mau menggunakan hak memilihnya. 

Dengan hilangnya sekat-sekat ideologis dalam dua pemilu belakangan ini, masyarakat tidak lagi diharapkan akan menentukan pilihan berdasarkan kedekatan ideologis namun kedekatan indentitas. Artinya, pola komunikasi untuk menyampaikan pesan ke mereka juga mengidentifkasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok mereka.  Anak-anak muda ini tidak akan mudah dipengarui oleh spanduk politik, umbul-umbul, billboard, stiker atau senyum kepalsuan foto caleg. Pola sosialisasi dan komunikasi harus dengan cara yang anak muda kenal saat ini, yakni media sosial. Tak ada yang menyangkal bahwa anak muda di Indonesia adalah social media paling banyak.

Nugroho dan Syarief (2012) dalam studinya mengenai “Media baru dan Proses Politik Kontemporer di Indonesia” mencatat terjadinya peran yang signifikan penggunaa media social untuk perubahan sosial politik di Indonesia. Selanjutnya disebutkan, Indonesia adalah pengguna Facebook terbanyak nomor 5 di dunia, setelah Amerika Serikat, Brazil dan India. Jumlah akun twitter Indonesia mencapai 19, 5 juta, juga nomor lima terbesar di dunia. Penggunaan media sosial yang tinggi itu, akan memperkuat masyarakat madani dan meningkatkan partisipasi politik sebagai bagian dari kekuatan sosial guna memberkuat demokrasi. 

Setidaknya, ada tiga pola utama untuk membujuk pemilik pemula ini ke bilik suara. Pertama, adalah sosialisasi besar-besaran dengan medium baru yakni media sosial. Mark Poster (1990) dalam bukunya “The Second Media Age” menyebutkan, adanya periode baru di mana teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya dunia maya akan mengubah masyarakat. 

Contoh paling dekat dari pendekatan komunikasi itu, adalah pada Pilkada DKI 2012  yang mengaplikasikan tim sukses Jokowi-Ahok dengan menggunakan sosial media (youtube) lewat parodi musik yang diubahnya menggunakan ikon bahasa anak muda. Sosial media memang bukan arus utama membentuk opini, namun jika menjadi mampu memancing kontroversi dan menjadi trending topic di social media, dipastikan akan mempengaruhi media mainstream untuk memberitakannya juga. Yang pada akhirnya, juga mempengaruhi masyarakat secara luas.

Sehingga tak heran, hampir semua parpol saat ini merekrut anak-anak muda yang getol berselancar di media sosial untuk ikut mendesain isu dan topik untuk dilempar ke media sosial. Kedua, parpol berupaya mempengaruhi teman sebaya atau peer group, juga dengan social media. Pengaruh teman sebaya atau sepermainan menjadi faktor yang patut dipertimbangkan, karena faktor eksternal ini bisa mempengaruhi informasi dan pendidikan politik. Teman sebaya dipercaya bisa mempengaruhi persepsi dan tindakan mereka untuk merespons isu politik.

Ketiga, peran pers untuk mencerdaskan sekaligus menggarap pemilih pemula  yang besar ini juga harus sistematis, dengan metode terukur. Media massa yang mampu menangkap isu-isu anak-anak muda, merekam kebutuhan mereka, dan mengaplikasikan generasi digital ini, akan survive dan dipercaya oleh mereka. Upaya media massa utama menyalurkan informasi yang menggugah, terutama platform televisi dan platform internet, harus mampu menyajikan  informasi politik kepada khalayaknya secara efektif dan efisien, tidak lagi bergantung kepada cara-cara tradisional dengan media arus utama biasa. Arus informasi bukan lagi didominasi oleh koran, radio, televisi, dan majalah. 

Dalam hal ini,  ketika sehari-hari para remaja atau pemilih pemula lebih banyak menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi dan gadgetnya, sudah kehilangan minat menonton dan membaca berita politik. Jurnalis  didorong menuju konvergensi media. 

Menurut August E. Grant dalam pengantar bukunya yang berjudul Understanding Media Convergence; The State of the Field (2009. Ada perubahan (change), yang terjadi dan tak bisa dielakkan. Semakin besar perubahan dan semakin jauh perubahan tersebut dari ekspektasi, maka menuntut ruang berita untuk selalu berinovasi. Selain dituntut untuk menyajikan berita yang lebih cepat, jurnalis juga dituntut untuk menghadirkan berita yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perkawinan dini newsroom media televisi, radio, media cetak dengan media berbasis internet, tidak bisa dihindari. Ini adalah fakta yang tak dapat dipungkiri. Karena dengan perkawinan legal itu, akan memungkinkan informasi didapat dan disebarluaskan secara cepat tanpa sekat-sekat teknologi.  

Mengapa kita perlu menekankan pentingnya kelompok usia 17-23 tahun untuk menentukan pilihannya pada Pemilu 2014? Tidak lain karena pada tahun 2045, atau 100 tahun Indonesia Merdeka, mereka masih dalam usia sangat produktif antara 48-54 tahun. Artinya mereka memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi besar bagi Indonesia.

Disinilah peran mencerdaskan kehidupan bangsa, masih relevan diterapkan oleh pers Indonesia. Demokrasi ini harus dikawal oleh pers, sesuai kapasitasnya,  bahwa inilah langkah yang tepat untuk pers terlibat langsung dalam proses Pemilu 2014. Perlu strategi untuk peduli, karena anak muda adalah penentu bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar