PEMIMPIN baru Indonesia yang muncul tahun depan akan punya
"musuh bersama" yang bernama middle income trap. Setelah
sepuluh tahun meraih posisi sebagai negara dengan pendapatan menengah
(2003), pertanyaannya mampukah atau maukah kita berjuang menjadi negara
kaya (high income country)?
Sepuluh tahun merupakan waktu yang tepat
bagi kita untuk becermin dan menata diri.
Apakah kita akan terombang-ambing dalam
gelombang ketidakpastian ekonomi yang melahirkan watak-watak reaktif
(sehingga menjadi bangsa pecundang) atau mampu berubah menjadi bangsa modern yang futuristik, berjalan
di depan kurva, dan adaptif?
7-10
Tahun
Sejarah mengajarkan kepada kita, di antara
101 negara yang masuk kategori middle
income countries (1960) ternyata hanya ada 13 yang berhasil diwisuda
menjadi high income countries sebelum 2008. Selebihnya (88 negara)
ternyata terus terperangkap di tengah (World Bank, 2012).
Demikian juga kajian dari ADB (2012). Di
antara 52 negara middle income
yang dievaluasi pada 2010, ternyata sebagian besar (35 negara) sulit
bergerak naik. Negara-negara ini mengalami rasa frustrasi yang hebat,
putus asa, hilang harapan, dan sulit memperbarui perekonomiannya. Anda
mungkin masih ingat betapa frustrasinya Argentina yang tambal sulam
kebijakan sehingga butuh waktu 40 tahun (1970-2010) untuk keluar dari
middle income trap.
Tetapi, kalau kita bedah negara-negara
Asia, kita dapatkan suasana yang berbeda. Rata-rata negara Asia yang ulet
umumnya sudah bisa keluar dalam tempo 7-10 tahun. Hongkong, misalnya,
memperoleh status middle income country pada 1976 dan masuk kategori
high income country pada 1983. Cukup tujuh tahun saja.
Demikian pula Jepang yang dikenal dengan
inovasinya, hanya butuh waktu 9 tahun (1968-1977), Singapura 10 tahun
(1978-1988), Korea Selatan 7 tahun (1988-1995), dan Taiwan 7 tahun
(1986-1993).
Namun, kita bisa berdebat atau berdalih
lewat macam-macam argumen. Pertama, negara-negara itu relatif kecil,
homogen, bahkan sebagian besar dipimpin dengan leadership tangan besi
namun berorientasi pasar dan liberal. Amat beda kenyataan kita:
berpenduduk besar, tinggal di sebuah kepulauan yang terbanyak di seluruh
dunia.
Kedua, kendati mengalami bonus demografi,
rata-rata SDM besar Indonesia masih berpendidikan rendah. Ketiga,
Indonesia baru saja meninggalkan era pemerintahan yang otoriter yang
menjadikan negara demokratis yang besar di Asia dengan sejuta kesulitan
dalam berkoordinasi.
Lantas, mengapa topik ini bisa menjadi
"musuh besama" dalam membangun Indonesia ke depan?
Saya kira, kita bisa memberikan seribu
satu argumentasi. Pertama, saat ini kita tengah benar-benar berada di
persimpangan yang sulit. Pertumbuhan Ekonomi yang selama sepuluh tahun
dapat di genjot rata-rata
5,7 persen (per tahun) kini mulai melambat. Padahal, kata kunci untuk
berubah menjadi negara berpenghasilan tinggi adalah produktivitas. Ketika
pertumbuhan melambat, produktivitas otomatis ikut melambat, turun
perlahan-lahan. Sudah begitu, pemakaian APBN kita itu slow (baru digunakan besar-besaran
setiap akhir tahun) dan low
(daya serapnya di bawah 90 persen).
Kedua, Indonesia adalah negara yang sangat
kaya dengan sumber daya alam yang membuat kita mudah terlena, cepat puas
diri dengan ekspor bahan-bahan mentah (komoditas) yang bernilai tambah rendah. Kita cepat
puas karena tanpa susah payah cepat kaya atau merasa kaya.
Ketiga, kita menjalani pasang-surut
leadership yang membuat kepala-kepala daerah dan pejabat-pejabat tinggi
terperangkap dalam logika berpikir jangka pendek, power play dengan kebijakan-kebijakan populis yang serba
instan dan koruptif. Akibatnya, kita kehilangan pijakan yang penting di
masa depan dan terbuai dengan masalah-masalah yang tidak terlalu penting.
Namun, apa yang dipikirkan para ekonom
untuk keluar dari semua perangkap itu patut kita simak di sini.
Ketidakmampuan kita berpikir jangka panjang yang tecermin dari tidak
adanya perencanaan yang konsisten dengan prioritas yang matang telah
menimbulkan persoalan-persoalan besar. Apalagi campur tangan politik yang
membuat rencana berbelok pada kepentingan parsial yang tidak menyatu.
Apa persoalannya?
Begini. Perlambatan pertumbuhan terjadi
karena hilangnya kemampuan Indonesia dalam mempertahankan kondisi
low-cost (dalam produksi), termasuk andalan lama: Low cost labour. Tentu
saja juga ketidakmampuan kita memanfaatkan teknologi tinggi untuk
menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Jadi, dari bawah, kita mulai bergerak ke
atas. Dengan begitu, produk-produk, jasa-jasa, dan kawasan investasi
Indonesia tidak mampu lagi bersaing dengan negara-negara berupah rendah
yang dulu setara dengan kita.
Sebaliknya, di atas, kita belum sanggup
bersaing dengan negara-negara berpendapatan tinggi yang menghasilkan
produk/jasa yang sophisticated seperti yang dihasilkan Korea Selatan,
Jepang, atau Uni Eropa. Semua itu hanya bisa dihasilkan oleh SDM yang
berkualitas tinggi, melalui tangan para insinyur andal, dokter-dokter yang biasa
bekerja dalam tim yang cermat, peneliti-peneliti kelas dunia dengan
inovasi yang terencana dan teknologi tinggi.
Nah, bayangkan apa jadinya negeri ini bila
kita terus-menerus terperangkap di tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar