Perempuan Indonesia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”
(Kongres Perempuan Indonesia ke-2 tahun 1935). Penetapan 22 Desember
sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-3 tahun
1938. Secara resmi, melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959,
Presiden RI Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu yang
dirayakan secara nasional, namun bukan hari libur.
Memperingati Hari Ibu setiap 22 Desember,
bukanlah memperingati Hari Ibu dalam arti sempit, yaitu hanya pengertian
ibu dalam keluarga (domestik), namun dalam arti luas yaitu ibu sebagai
ibu bangsa. Yang dimaksud dengan ibu bangsa adalah perempuan Indonesia
yang mempersiapkan anak-anak bangsa (termasuk anak yang dilahirkannya)
menjadi generasi penerus bangsa yang sadar akan kewajiban kebangsaan
sehingga mampu bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negara.
Sejarah mencatat, langkahlangkah perjuangan
perempuan Indonesia berlatar belakang macam-macam suku, agama, dan status
sosial-ekonomi dari seluruh Indonesia. Pada awalnya, mereka berjuang
secara sendiri-sendiri. Semangat nasionalisme dalam Sumpah Pemuda yang
lahir pada Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928, menggugah
perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia untuk menggalang persatuan dan
kesatuan dalam memperjuangkan kepentingan kaum perempuan yang paralel
dengan kepentingan bangsa dan negara.
Kongres
Perempoean Indonesia I (22–25 Desember 1928)
Semangat nasionalisme dalam Sumpah Pemuda
yang lahir pada Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 dan
menggugah perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia untuk menggalang
persatuan yang berdasarkan semangat nasionalisme melalui Kongres
Perempoean. Kongres tersebut dimaksudkan untuk mengadakan perikatan
perkumpulan perempuan agar dapat bersamasama membicarakan soal hak,
kewajiban, kebutuhan, dan kemajuan perempuan.
Memiliki status legal, legalitas kongres
diakui pemerintah kolonial, dan kongres mengajukan tuntutan pada
pemerintah kolonial dalam bentuk rekomendasi. Bagi pergerakan perempuan
saat itu, cara yang ditempuh tersebut memudahkan penyebarluasan gagasan/
ide kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama kepada pihak kolonial.
Dengan demikian, kaum perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak
merasa takut untuk bergabung atau ikut serta karena dianggap tidak
radikal.
Perempuan Indonesia berlatar belakang
macam-macam suku, agama, dan status sosial ekonomi dari seluruh Indonesia
datang menghadiri kongres yang diselenggarakan di Mataram (Yogyakarta,
sekarang). Topik yang diangkat saat itu diantaranya adalah(1) kedudukan perempuan
dalam perkawinan; (2) perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar
kemauannya; (3) poligami; dan (4) pendidikan untuk anak perempuan.
Berbagai topik tersebut kemudian memunculkan debat dan perbedaan pendapat
dari perkum-pulan perempuan yang berlatar belakang agama. Namun
de-mi-kian, adanya berbagai perbedaan tidak menghalangi terjadinya
kesepakatan bersama akan perlunya kemajuan perempuan Indonesia.
Kongres
Perempuan Indonesia II, Jakarta 20- 21 Juli 1935
Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935
diikuti oleh tidak kurang dari 15 perkumpulan, di antaranya Wanita
Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri
Sedar, Wanita Taman Siswa, dan lainsebagainya. Kongresdiketuai Ny. Sri
Mangunsarkoro.
Kongres
Perempuan Indonesia III, Bandung, 23-27 Juli 1938
Isu yang dibahas dalam kongres antara lain,
partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenaihakdipilih. Saat
itu pemerintah kolonial telah memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk
duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya adalah Ny. Emma
Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito, dan Ny. Sitti
Soendari yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di berbagai
daerah. Namun karena perempuan belum mempunyai hak pilih, perempuan
menuntut supaya mereka pun diberikan hak pilih.
Kongres
Perempuan Indonesia IV, Semarang 25-28 Juli 1941
Kongres ini diikuti oleh berbagai
perkumpulan perempuan yang mengikuti kongres perempuan sebelumnya.
Kongres menghasilkan di antaranya, d ibentuk empat Badan Pekerja, yakni
Badan Pekerja pemberantasan buta huruf, Badan Pekerja penyelidik masalah
tenaga kerja perempuan, Badan Pekerja masalah perkawinan hukum Islam,
BadanPekerjamemperbaikiekonomi perempuan Indonesia.
Badan
Kongres Wanita Indonesia (Kowani)
Pada 1945, Ny. Suwarni Pringgodigdo dan Ny.
Soejatin Kartowijono serta didukung oleh Ny. Sri Mangunsarkoro
berinisiatif mengadakan konferensi di Solo pada 24-26 Februari 1946.
Inilah tonggak penting dalam sejarah perkumpulan wanita Indonesia. Dalam
konferensi tersebut disepakati sejumlah keputusan, antara lain,
mendirikan badan gabungan yang diberi nama badan Kongres Wanita Indonesia
(Kowani). Organisasi ini berkedudukan di Solo dengan ketuanya Ny.
Supardjo.
Kewajiban Kowani adalah menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan antara pengurus-pengurus besar organisasi yang
tergabung dalam Kowani danbadan-badan yang dibentuk Kowani; serta
mewakili pergerakan perempuan Indonesia baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.Selain itu, pada saat itu (1946) Kowani menetapkan mosi
menuntut kemerdekaan Indonesia 100% dan berdiri di belakang pemerintah
namun tidak meninggalkan budaya kontrol dan kritik yang bersifat
membangun.
Singkatnya, catatan sejarah membuktikan
adanya semangat kebangsaan, jiwa nasionalis dan aksi perjuangan tanpa
pamrih wanita Indonesia sebagai ibu bangsa dalam turut aktif mencerdaskan
bangsa serta ikut berjuang merebut, mengisi, dan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar