Tidak banyak di antara kita yang paham tentang gejolak ekonomi
di bagian timur Indonesia. Padahal, di sana ada banyak teladan yang bisa
dijadikan inspirasi dan di situlah masa depan Indonesia.
Saya membagi
IBT (Indonesia Bagian Timur) ke dalam lima perspektif
Lima perspektif
adalah NTT yang masih tertinggal, namun kaya alam dan budaya; Papua yang
menakjubkan; Maluku yang bernyanyi; Sulawesi yang subur; dan jangan lupa
Kaltim yang rendah hati. Semua jauh dari Jakarta, tetapi ruang untuk tumbuh
begitu besar.
Maka, ketika
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menyodorkan draf buku barunya, saya
memilihkan judul ini: Teladan dari Timur. Gubernur ini layak dijadikan
teladan bukan hanya karena gebrakan ekonominya, melainkan bagaimana dia
bekerja dengan hati.
Menghormati Musuh
Saya mengenal
Awang Faroek sejak menjadi bupati Kutai Timur yang hadir bersama para
bupati dan wali kota lainnya dalam rapat koordinasi provinsi yang dilakukan
sepuluh tahun silam. Saat itu Kaltim masih dipenuhi berita tentang
gemerlapnya pembangunan di Tenggarong serta kesejahteraan yang dibangun
Wali Kota Tarakan Dokter Yusuf Sk.
Awang Faroek
yang memimpin kabupaten yang agak tertinggal bila dibandingkan dengan
kabupaten-kabupaten terkemuka lainnya di Kaltim saat itu lebih banyak
mendengarkan daripada berbicara. Saya menyampaikan pentingnya para bupati
melakukan perubahan.
Dia
mendengarkan sambil mencatat. Sejak saat itu, rupanya, virus perubahan
benar-benar mengalir dalam jiwanya. Tatkala tokoh-tokoh tua Kaltim turun
panggung, Awang Faroek justru mulai berbenah.
Dari kabupaten
baru yang terbelakang, dia mencanangkan konsep e-government. Padahal,
daerah ini masih terpencil. Dia lalu memimpin penyusunan masterplan
Sangatta sebagai ibu kota Kutai Timur. Selanjutnya, dalam perebutan menjadi
gubernur Kaltim, dia pun pernah mengalami kepahitan yang diembuskan
lawan-lawannya.
Namun, seperti
kata Akbar Tanjung (sambil mengutip Winston Chuchill) "Bila dalam
pertempuran seseorang yang tertembak akan mati satu kali, maka dalam
politik seseorang dapat mati berkali-kali dan hidup lagi." Itu pulalah
yang dilewati Awang Faroek. Dia jatuh bangun dalam politik, namun tak
pernah ada matinya. Dia tak pernah berhenti.
Meski kuat di
mata rakyat, dia dikalahkan oleh lawannya. Namun, saat lawannya terlibat
kasus hukum, dia pulalah yang harus kembali sebagai pemenang. Ketika
lawannya dilepaskan, dia justru menjadikannya sebagai warga kehormatan
Kaltim. Ini berbeda dengan ajaran kebanyakan politisi kita yang hanya
selalu dipenuhi dendam dan saling mengunci.
Awang sadar
betul bahwa di kawasan yang terpencil, mereka lebih membutuhkan kerja sama
ketimbang adu pintar atau adu licik merebutkan sumber daya alam. Agak mirip
Pak De Karwo yang ngemong, Awang memilih meluruskan yang bengkok-bengkok
dengan budaya ketimuran.
Perubahan
dilakukan bukan dengan membenturkan tesis dengan antitesisnya secara
dialektis-konflik, melainkan dengan solusi yang lebih kreatif. Dia mengerti
betul, hubungan bupati-gubernur bukanlah hubungan hirarki seperti di era
Orde Baru yang semuanya dipilih dari atas, melainkan hubungan antara
conductor dengan para seniman yang masing-masing memegang alat musik
sendiri-sendiri.
Conductor atau
orchestrator itulah yang menyelaraskan nada dalam bahasa yang dipahami
bersama. Semua harus berawal dari visi yang jelas dan rencana strategis
yang tertulis dan realistis.
Proyek Jangka Panjang
Berbeda dengan
kebanyakan pemimpin daerah yang gemar membangun proyek-proyek jangka pendek
yang segera tampak di depan konstituennya, Awang Faroek justru membangun
proyek-proyek jangka panjang. Risikonya tentu rawan karena rakyat tidak
bisa cepat-cepat melihat hasilnya. Namun, sebaliknya, kalau orchestrator
hanya menjalankan prinsip-prinsip jangka pendek, kesejahteraan yang
dicita-citakan tak akan pernah sampai.
Demikianlah teladan
ini. Hampir semua proyeknya berdurasi lebih dari 5 tahun. Dia gerah membaca
teori-teori tentang Kutukan Sumber Daya Alam yang dapat membuat penduduk
yang mendapatkan warisan kaya dari alam justru tinggal dalam kemiskinan.
Karena itu, dia
pun membangun kluster-kluster baru berbasis industri olahan, dari SDA ke
pangan, energi alternatif dan produk-produk olahan, serta pariwisata. Ini
mengingatkan saya pada Jose Maria Figueres, yang memajukan Costarica dan
videonya pernah saya putar dalam Rakor Provinsi Kaltim sepuluh tahun yang
lalu.
Jose Maria
membangun Cluster IT, menjadi orchestrator perubahan dari Banana Republic
yang miskin dengan memperbaiki SDM serta infrastruktur di Kaltim,
pelabuhan-pelabuhan industri tengah dibangun, bandara-bandara baru di
perbatasan dia bangun, demikian juga jalan-jalan darat dan kereta api yang
akan menjadi penghubung kegiatan ekonomi. Dia tidak ingin orang Indonesia
yang melintas dari perbatasan ke Malaysia bergumam "habis gelap terbitlah terang".
Sebuah
perubahan besar dalam pendidikan pun dia canangkan. Anak-anak muda Kaltim
disekolahkan hingga ke pendidikan tinggi demi masa depan Kaltim.
Perlahan-lahan citra sebagai provinsi penggali mineral yang merusak alam
ini pun akan hilang. Ini semua hanya mungkin dilakukan kalau provinsi itu
dipimpin oleh seorang teladan. Itulah judul buku yang minggu lalu saya
bahas bersama Prof Anwar Nasution di Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar