Kamis, 05 Desember 2013

Teladan dari Timur

Teladan dari Timur
Rhenald Kasali  ;   Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS,  04 Desember 2013

  

Tidak banyak di antara kita yang paham tentang gejolak ekonomi di bagian timur Indonesia. Padahal, di sana ada banyak teladan yang bisa dijadikan inspirasi dan di situlah masa depan Indonesia.

Saya membagi IBT (Indonesia Bagian Timur) ke dalam lima perspektif 

Lima perspektif adalah NTT yang masih tertinggal, namun kaya alam dan budaya; Papua yang menakjubkan; Maluku yang bernyanyi; Sulawesi yang subur; dan jangan lupa Kaltim yang rendah hati. Semua jauh dari Jakarta, tetapi ruang untuk tumbuh begitu besar.

Maka, ketika Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menyodorkan draf buku barunya, saya memilihkan judul ini: Teladan dari Timur. Gubernur ini layak dijadikan teladan bukan hanya karena gebrakan ekonominya, melainkan bagaimana dia bekerja dengan hati. 

Menghormati Musuh 

Saya mengenal Awang Faroek sejak menjadi bupati Kutai Timur yang hadir bersama para bupati dan wali kota lainnya dalam rapat koordinasi provinsi yang dilakukan sepuluh tahun silam. Saat itu Kaltim masih dipenuhi berita tentang gemerlapnya pembangunan di Tenggarong serta kesejahteraan yang dibangun Wali Kota Tarakan Dokter Yusuf Sk.

Awang Faroek yang memimpin kabupaten yang agak tertinggal bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten terkemuka lainnya di Kaltim saat itu lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Saya menyampaikan pentingnya para bupati melakukan perubahan.

Dia mendengarkan sambil mencatat. Sejak saat itu, rupanya, virus perubahan benar-benar mengalir dalam jiwanya. Tatkala tokoh-tokoh tua Kaltim turun panggung, Awang Faroek justru mulai berbenah.

Dari kabupaten baru yang terbelakang, dia mencanangkan konsep e-government. Padahal, daerah ini masih terpencil. Dia lalu memimpin penyusunan masterplan Sangatta sebagai ibu kota Kutai Timur. Selanjutnya, dalam perebutan menjadi gubernur Kaltim, dia pun pernah mengalami kepahitan yang diembuskan lawan-lawannya.

Namun, seperti kata Akbar Tanjung (sambil mengutip Winston Chuchill) "Bila dalam pertempuran seseorang yang tertembak akan mati satu kali, maka dalam politik seseorang dapat mati berkali-kali dan hidup lagi." Itu pulalah yang dilewati Awang Faroek. Dia jatuh bangun dalam politik, namun tak pernah ada matinya. Dia tak pernah berhenti.

Meski kuat di mata rakyat, dia dikalahkan oleh lawannya. Namun, saat lawannya terlibat kasus hukum, dia pulalah yang harus kembali sebagai pemenang. Ketika lawannya dilepaskan, dia justru menjadikannya sebagai warga kehormatan Kaltim. Ini berbeda dengan ajaran kebanyakan politisi kita yang hanya selalu dipenuhi dendam dan saling mengunci.

Awang sadar betul bahwa di kawasan yang terpencil, mereka lebih membutuhkan kerja sama ketimbang adu pintar atau adu licik merebutkan sumber daya alam. Agak mirip Pak De Karwo yang ngemong, Awang memilih meluruskan yang bengkok-bengkok dengan budaya ketimuran.

Perubahan dilakukan bukan dengan membenturkan tesis dengan antitesisnya secara dialektis-konflik, melainkan dengan solusi yang lebih kreatif. Dia mengerti betul, hubungan bupati-gubernur bukanlah hubungan hirarki seperti di era Orde Baru yang semuanya dipilih dari atas, melainkan hubungan antara conductor dengan para seniman yang masing-masing memegang alat musik sendiri-sendiri. 

Conductor atau orchestrator itulah yang menyelaraskan nada dalam bahasa yang dipahami bersama. Semua harus berawal dari visi yang jelas dan rencana strategis yang tertulis dan realistis. 

Proyek Jangka Panjang 

Berbeda dengan kebanyakan pemimpin daerah yang gemar membangun proyek-proyek jangka pendek yang segera tampak di depan konstituennya, Awang Faroek justru membangun proyek-proyek jangka panjang. Risikonya tentu rawan karena rakyat tidak bisa cepat-cepat melihat hasilnya. Namun, sebaliknya, kalau orchestrator hanya menjalankan prinsip-prinsip jangka pendek, kesejahteraan yang dicita-citakan tak akan pernah sampai.

Demikianlah teladan ini. Hampir semua proyeknya berdurasi lebih dari 5 tahun. Dia gerah membaca teori-teori tentang Kutukan Sumber Daya Alam yang dapat membuat penduduk yang mendapatkan warisan kaya dari alam justru tinggal dalam kemiskinan.

Karena itu, dia pun membangun kluster-kluster baru berbasis industri olahan, dari SDA ke pangan, energi alternatif dan produk-produk olahan, serta pariwisata. Ini mengingatkan saya pada Jose Maria Figueres, yang memajukan Costarica dan videonya pernah saya putar dalam Rakor Provinsi Kaltim sepuluh tahun yang lalu.

Jose Maria membangun Cluster IT, menjadi orchestrator perubahan dari Banana Republic yang miskin dengan memperbaiki SDM serta infrastruktur di Kaltim, pelabuhan-pelabuhan industri tengah dibangun, bandara-bandara baru di perbatasan dia bangun, demikian juga jalan-jalan darat dan kereta api yang akan menjadi penghubung kegiatan ekonomi. Dia tidak ingin orang Indonesia yang melintas dari perbatasan ke Malaysia bergumam "habis gelap terbitlah terang".

Sebuah perubahan besar dalam pendidikan pun dia canangkan. Anak-anak muda Kaltim disekolahkan hingga ke pendidikan tinggi demi masa depan Kaltim. Perlahan-lahan citra sebagai provinsi penggali mineral yang merusak alam ini pun akan hilang. Ini semua hanya mungkin dilakukan kalau provinsi itu dipimpin oleh seorang teladan. Itulah judul buku yang minggu lalu saya bahas bersama Prof Anwar Nasution di Jakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar