Kamis, 05 Desember 2013

Demokrasi Bermistik


Demokrasi Bermistik
Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
TEMPO.CO,  05 Desember 2013

  

Di pojok bawah Koran Tempo edisi 22 November 2013, halaman 19, tampil iklan kecil dan mengejutkan. Pengiklan mengajukan tawaran lukisan supranatural yang bisa dipakai sebagai modal untuk menggapai kekuasaan bagi si pembeli. Lukisan yang digarap Ki Ayi asal Banten itu menggunakan kata-kata sugestif: "…berpengaruh magis". Lukisan bakal mempengaruhi kehendak tokoh untuk memimpin Indonesia. Mahar lukisan bernilai Rp 5 miliar. Siapa mau membeli?

Iklan memang marak di hajatan demokrasi. Para tokoh dan partai politik mengiklankan diri, berharap mendapat perhatian dan sanjungan. Semula iklan memiliki misi menginformasikan sesuatu agar kita tergoda untuk membeli atau mengkonsumsi. Demokrasi dianggap bergantung pada iklan. Anggapan itu menjadikan Indonesia sebagai negeri terbesar dalam produksi iklan pemilu. Kita menduga bakal ada penghargaan fantastis bagi para caleg dan capres. Mereka mengharumkan nama Indonesia akibat memecahkan rekor dunia dalam beriklan. Oh!

Iklan di Koran Tempo adalah "iklan tandingan" dari dominasi iklan para caleg dan capres. Kita terkejut dan terhibur, berimajinasi ada tokoh mau membeli lukisan dan berhasil menjadi pemimpin. Imajinasi ini bisa membuktikan demokrasi di Indonesia memang bergantung pada iklan, tapi memerlukan mistik. 

Pesan gamblang dari iklan lukisan supranatural: demokrasi di Indonesia tak selalu rasional. Pembelajaran demokrasi tak bisa selesai dengan buku, iklan, film, lagu, kaus, lukisan, foto, artikel, novel, dan puisi. Di Indonesia, sejarah demokrasi sulit mengelak dari mistik. Di desa-desa, agenda pemilihan lurah masih berhubungan dengan dukun dan amalan-amalan mistik. Para pendamba jabatan di instansi pemerintah juga masih sering bersandar pada benda-benda berkekuatan magis. 

Di Jawa, mistik dalam kekuasaan adalah lazim. Sejarah para penguasa di Jawa akrab dengan mistik. Sejarah itu menjadi referensi dari agenda demokrasi di Indonesia, meski zaman berubah dan rasionalitas berpolitik telah diajarkan di kampus. Kita menduga para caleg dan capres memiliki tendensi bersandar pada mistik ketimbang berpolitik dengan ilmu-ilmu rasional. Mereka memilih melakukan ritus dan  memiliki benda-benda magis, berharap mendapat keajaiban dalam hajatan demokrasi.

Berpolitik adalah mengamalkan mistik. Kebiasaan ini sering terungkap dari celotehan orang-orang saat ikut berhitung nasib politik para tokoh.

Orang-orang kadang berbagi apresiasi politik atau bercakap menggunakan ungkapan-ungkapan mengarah ke pertarungan mistik di kalangan pendamba kekuasaan. Wah! Zaman memang terus berubah, tapi naluri untuk bersandar ke mistik masih berlaku di kalangan elite politik. Mereka membuat selebrasi ganjil: berpolitik dan bermistik. Demokrasi di Indonesia menjadi gamang, sulit berpijak ke rasionalitas meski para pengamat politik sering mengumbar teori-teori untuk mengisahkan gejala-gejala demokratisasi. 

Kehadiran iklan lukisan supranatural di Koran Tempo adalah bukti ada resepsi publik bahwa para caleg dan capres masih menginginkan mistik. Kekuasaan tak bisa digapai cuma melalui iklan dan pidato. Mereka memerlukan referensi dan kekuatan mistik. Mereka pun bisa tergoda untuk mempertimbangkan iklan di Koran Tempo, berhitung nasib: mahar Rp 5 miliar demi menjadi pemimpin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar