Putusan MA
pada Kasus Angie
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 12 Desember 2013
Membaca tulisan Adi Andojo, “MA dan Hukuman Berat”, dalam salah satu harian nasional, saya setuju makna dibalik tulisan tersebut karena dua hal.
Pertama, kedudukan dan tanggung seorang hakim
sangat mulia dan penilaian baik tidaknya seorang hakim bukan pada berat
atau ringannya putusan yang dijatuhkannya dalam perkara korupsi. Kedua,
pandangan Andi Andojo S meluruskan pandangan keliru masyarakat tentang
kedudukan dan peranan seorang hakim dalam konteks perkara korupsi karena
keadilan yang dituju dalam penegakan hukum adalah Keadilan berdasarkan
Ketuhanan YME bukan berdasarkan Kekuasaan belaka atau berdasarkan Kebencian
(terhadap koruptor) belaka.
Temuan fakta atas putusan Majelis Hakim Agung
RI yang dipandang berani dalam perkara Kasasi Angie menunjukkan bahwa hanya
terjadi pada lima perkara termasuk perkara Angie yang diketuai oleh Artidjo
Alkotsar tetapi belum diikuti oleh majelis Hakim MA lain.
Hal ini tidak perlu dipersoalkan karena setiap
Hakim/Hakim MA memiliki prinsip integritas dan independensi serta keyakinan
masing-masing. Bahkan dari temuan putusan atas lima perkara korupsi,
perkara Angie, dan perkara Nazaruddin, dengan Ketua Majelis, Artidjo
Alkotsar, terbukti ada perbedaan perlakuan hukum, yaitu Angie diputus 12
tahun dan Nazaruddin di putus 7 Tahun; sedangkan peranan Nazaruddin jauh
berbeda baik dalam perkara Wisma Atlet, Hambalang maupun Kemendikbud.
Di sinilah letak relativitas pandangan
masyarakat dan menjadi bias ketika ditemukan perbedaan dan inkonsistensi
putusan majelis dalam perkara yang saling berhubungan satu sama lain dengan
ketua majelis yang sama untuk terdakwa yang berbeda.
Penilaian atas putusan pengadilan khususnya
dalam konteks pemberantasan korupsi di dalam sistem kekuasaan kehakiman
berdasarkan UUD 1945 seharusnya dilaksanakan bebas dari pengaruh kekuasaan
apapun termasuk tekanan pengaruh masyarakat dengan alasan apapun.
Tugas dan peranan hakim di dalam sistem hukum
baik sistem civil law maupun common law adalah penerapan hukum pada setiap
peristiwa konkret dan penemuan hukum jika ketentuan UU tidak jelas
mengaturnya atau bahkan mungkin belum ada pengaturannya. Berdasarkan teori
maupun praktik dan kebiasaan yang berlaku dalam proses peradilan, di mana
pun, UU (hukum tertulis) dan yurisprudensi dapat dikelola berdampingan.
Perbedaannya, di dalam sistem civil law harus
diutamakan lebih dulu ketentuan UU, dan yurisprudensi hanya sebagai
pelengkap saja; sedangkan dalam sistem common
law, mutlak putusan pengadilan dijadikan rujukan utama (asas precedent) dan bersifat mengikat
hakim berikutnya (stare decisis)
dan UU sebagai pelengkap. Oleh karena itu, dalam pendidikan hukum di dalam
sistem hukum common law diisi
dengan buku-teks bermuatan putusan-putusan supreme court of justice, bukan teori dan doktrin hukum (acara)
pidana.
Perkembangan pendidikan tinggi hukum di
Belanda memasuki awal abad ke-20 dan sampai saat ini tampaknya cenderung
menggunakan metode studi kasus dibandingkan dengan hanya diisi doktrin.
Di tengah-tengah kegalauan masyarakat luas
terhadap tumbuh suburnya korupsi di kalangan penyelenggara negara dan
melemahnya penegakan hukum di sisi lain, tentu Andojo S menegaskan,
penerapan hukuman mati sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor
Tahun 1999 patut dicoba diterapkan khususnya dalam keadaan krisis, bencana
alam termasuk masalah dana bantuan sosial (bansos).
Namun, dalam sistem hukum acara peradilan
pidana, hakim tidak berwenang mengubah isi surat dakwaan ataupun tuntutan penuntut
serta tidak juga dibolehkan hakim memutus perkara yang tidak didakwakan
kepada seorang terdakwa. Bahkan, putusan PK MA dalam perkara pidana tidak
boleh melebihi putusan pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan di
bawahnya karena UU hanya memandatkan menerima atau menolak permohonan PK.
Bagaimana dengan terobosan hukum (legal breakthrough) yang menjadi
pandangan beberapa hakim saat ini? Sejatinya, hukum tidak mengenal konsep
terobosan hukum dan teori hukum progresif. Yang dikemukakan almarhum Satjipto
Rahardjo justru bertujuan memanusiakan penegakan hukum dan menolak
kelaliman atas nama hukum apalagi terhadap pihak lemah yang tidak
berkekuasaan.
Pernyataan ini bukan tanpa alasan karena
kekuatan hukum secara universal masih dikuasai dua aliran besar dalam
keadaan tarik menarik yaitu pengaruh pandangan aliran teori hukum alam yang
mengunggulkan kesusilaan berhadapan dengan aliran teori positivisme hukum
yang menafikkan pengaruh kesusilaan dalam hukum.
Oleh karena itu, ada benarnya kekuasaan sekecil
apa pun jika tidak ada pengawasan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan ini
banyak sebabnya, antara lain sifat manusia pada umumnya serakah dan selalu
ingin menguasai atas manusia lainnya jika perlu “memangsa”-nya (Machiaveli)
dan sifat Ke-Aku-an yang sering terjadi pada elite birokrasi dan termasuk
elit penegak hukum apalagi jika kekuasaan yang dimandatkan UU melebihi
batasbatas kemampuan (ability)
dan keterbatasan (limitation)
pemegang kekuasaan yang notabene adalah manusia juga. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar