Jangan Biarkan
KAI Melakukannya Sendiri
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 12 Desember 2013
Salah satu kolega saya, petinggi sebuah perusahaan keuangan
papan atas di Jakarta, dengan bangga bertutur, dia selalu pergi dan pulang
kantor menggunakan kereta.
Dia tinggal di Bintaro. Baginya pergi-pulang
dengan kereta merupakan pilihan paling rasional. Katanya, “Bayangkan kalau memakai mobil pribadi,
saya mungkin harus menghabiskan waktu dua jam lebih di perjalanan. Dengan
kereta, cukup 30 menit.” Di Jakarta saat ini kalau Anda bisa pergi dan
pulang kantor masing-masing dalam waktu 30 menit, bagi saya, itu sebuah
kemewahan. Saya saja iri mendengarnya. Itu kemewahan yang belum bisa saya
nikmati.
Saya mengamati kini semakin banyak orang yang
seperti kolega saya tadi. Mereka memarkir mobilnya di stasiun-stasiun kereta
dan melanjutkan perjalanannya dengan kereta. Ada faktor lain yang
menyebabkan mereka beralih menggunakan kereta. Selain menghemat waktu,
kereta-kereta juga semakin nyaman. Bangkunya rapi. Bersih. AC-nya juga
sejuk.
Lalu, dari sisi biaya juga jauh lebih hemat
ketimbang harus memakai kendaraan pribadi. Pekan lalu saya membaca media
yang menyajikan liputan tentang sensasi berwisata dengan kereta. Sekelompok
ibu-ibu berangkat dari Jakarta ke Cirebon atau kota-kota lain di Jawa
Tengah dengan kereta. Mereka mengunjungi sentra-sentra batik atau wisata
kuliner lainnya.
Lalu, kembali lagi ke Jakarta dengan kereta.
Bagi ibu-ibu tersebut, bepergian dengan kereta menjadi ajang bernostalgia
sebagaimana pernah mereka lakukan semasa remaja. Saya kira “kemewahan” yang
dinikmati kolega saya serta ibuibu tadi merupakan buah dari transformasi
yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (KAI) selama ini. Bepergian dengan
kereta kini menjadi semakin menyenangkan.
Di
Negara-Negara Maju
Kereta menjadi pilihan utama masyarakat saat
mereka harus bepergian dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Di sana kereta
menjadi backbone transportasi darat. Kita mestinya meniru konsep mereka.
Kita harus menjadikan kereta sebagai backbone transportasi darat di
Indonesia. Namun, untuk mewujudkan gagasan tersebut kita tak bisa
menyerahkan begitu saja urusannya ke KAI.
Malah sebagian besar pekerjaan harusnya
menjadi tanggung jawab pemerintah. Untuk menjadikan kereta sebagai backbone, kuncinya adalah
ketersediaan jaringan rel. Di banyak negara maju, membangun jaringan rel
kereta adalah tugas pemerintah, bukan perusahaan kereta seperti KAI—meski
Dirut KAI Ignasius Jonan menyatakan siap jika KAI memang ditugasi untuk
itu.
Sebab, masalah utama dalam membangun rel
kereta adalah pengadaan lahan dan masalah pengadaan lahan harus melibatkan
banyak pemerintah daerah. Maka, itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat. Sayangnya selama ini kita membiarkan KAI berjuang sendirian. Ketika
sekelompok orang memblokade lintasan kereta, KAI-lah yang harus berjuang
mengusir mereka.
Ketika para tunawisma membangun bedeng-bedeng
liar di sepanjang lintasan kereta, KAI jugalah yang harus membongkarnya.
Ketika para pedagang asongan leluasa keluar masuk stasiun sehingga membuat
stasiun menjadi tidak tertib dan terkesan kumuh, KAI-lah yang harus
menertibkannya. Ketika di sejumlah perlintasan kereta terjadi kecelakaan,
KAI-lah yang seakan-akan harus bertanggung jawab.
Ignasius Jonan bercerita kepada saya, di
seluruh Indonesia ada 5.200 lintasan—dengan 4.953 di antaranya merupakan
lintasan resmi. Jadi, ada 607 lintasan yang tidak resmi dan ini menjadi
ajang para pemungut “pajak lintasan” liar atau tempat bersabung nyawa. Lalu
dari semua lintasan resmi, ternyata sebagian besar atau 3.419 lintasan
tidak memiliki penjaga.
Di titik-titik inilah nyawa dipertaruhkan
dengan harga yang sama sekali tidak layak. Murah, terlalu murah. Kini,
terjadi Tragedi Bintaro II—tragedi pertama terjadi pada 19 Oktober 1987 dan
menewaskan 156 orang.
Dua tragedi itu mestinya lebih dari cukup
untuk menyadarkan kita dan pemerintah agar semakin bersungguh-sungguh dalam
mewujudkan kereta sebagai backbone
transportasi darat di Indonesia. Semoga. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar