Ibu adalah figur perempuan
pertama yang menjadi idola saya. Sampai kapan pun, meski sering berbeda
pendapat, saya mengasihi mama (demikian saya memanggilnya) sepenuh hati.
Tentang berbeda pendapat, satu
hal yang saya kagumi dari mama adalah di samping pribadinya yang teguh
pada prinsip, ia selalu terbuka pada perbedaan.
Waktu di bangku SMA dulu, mama berharap saya masuk jurusan ilmu eksakta
(IPA), mengikuti jejaknya dulu, agar bisa berkuliah jurusan teknik
fisika, juga seperti yang ia tempuh dulu. Sejak kelas satu SMA, saya
padahal tahu minat saya adalah ilmu hukum dan ekonomi.
Saya beruntung di SMA Santa Ursula tempat saya bersekolah, sang kepala
sekolah menekankan murid-muridnya untuk memutuskan jurusan.
Kata beliau, murid-muridnyalah
yang akan mengarungi belantara kehidupan kelak, bukan orang tua. Setiap
pribadi memiliki keunikannya sendiri. Oleh karena itu, sangatlah penting
mendengarkan suara murid, terutama jika psikotes dan wawancara terbukti
selaras dengan hasrat sang murid.
Meski berdasarkan nilai saya bebas memilih jurusan, setelah berdialog,
mama menerima keputusan saya mengambil jurusan sosial (IPS). Kata mama, saya
harus bertanggung jawab atas keputusan yang saya ambil. Bukan untuk mama,
tapi untuk diri saya sendiri.
Hal yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah bagaimana mengelola
perbedaan. Perbedaan tidak seharusnya menghasilkan permusuhan.
Sepanjang tidak menyakiti dan
merugikan orang lain, dan mampu bertanggung jawab dengan pilihan yang
telah diputuskan, kami saling bisa menerima satu sama lain. Saya tak
perlu sama persis dengan mama karena memang tidak akan pernah bisa.
Tiap tahun pada tanggal 22 Desember, masyarakat Indonesia memperingatinya
sebagai “Hari Ibu”. Ditinjau dari sejarahnya, Hari Ibu ini berbeda dengan
Mothers Day yang lazim dirayakan dengan memberi tanda cinta pada para
ibu, sebagaimana biasa dikenal masyarakat di luar Indonesia.
Sejarah mencatat tanggal 22 Desember terkait dengan Kongres Perempuan
Indonesia I yang berlangsung pada 22-25 Desember 1928, di Yogyakarta.
Kongres ini merupakan tonggak penting perjuangan perempuan meraih
kemerdekaan.
Para pemimpin dari organisasi perempuan dari berbagai wilayah berkumpul
menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan
perbaikan nasib kaum perempuan. Saya membayangkan suasana itu di mana
setiap organisasi memiliki minat (interest) masing-masing. Tentu ada
perbedaan-perbedaan berkelindan dalam proses.
Menariknya, peristiwa tersebut memperlihatkan semangat kebersamaan dalam
pluralitas agama, bahasa, dan suku para perempuan yang bersatu padu demi
kepentingan agenda perjuangan.
Kongres berhasil mengemukakan
berbagai isu yang harus dikerjakan, mulai dari persatuan perempuan,
pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan dan pembangunan,
penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak perempuan yang
dikawinkan, masalah perkawinan, hingga perbaikan gizi dan kesehatan bagi
ibu dan balita.
Penetapan 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres
Perempuan Indonesia III pada 1938 hingga akhirnya Presiden Soekarno
melalui Dekrit Presiden No 316 Tahun 1959 menetapkannya secara nasional.
Sayang, tragedi 1965
menghancurkan sendi-sendi perjuangan perempuan. Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani) dituding sebagai kelompok kejam, komunis, dan anti-Tuhan, meski
hingga kini tak pernah terbukti. Tudingan rezim Orde Baru menghasilkan
trauma berkepanjangan pada perempuan.
Bersamaan dengan itu, Orde Baru menanamkan pandangan baru “ibuisme” yang
mereduksi “perempuan” sebagai “istri” sekaligus “ibu” dengan setumpuk
“peran” (masih ingat Kementerian Peranan Wanita?). Ibu menjadi sebuah
“isme (paham)” di mana perempuan yang “baik” adalah yang menjalankan
peran-peran domestiknya.
Rezim Orde Baru mengaburkan makna 22 Desember dan mereduksinya sebagai
perayaan “perempuan” sebagai “ibu” sesuai dengan gambarannya.
Peringatannya biasa diwarnai lomba kebaya dan konde, masak-memasak, dan
sebagainya.
Di luar gambaran tersebut
adalah kesalahan. Sejarah dan makna sebenarnya dari 22 Desember dihapus.
Rezim menutup diri pada perbedaan dan karenanya menolak berdialog dengan
jujur.
Saya mencintai mama karena mengajarkan saya untuk tidak mengamini sikap
rezim otoriter yang menggagungkan kebenaran versi dirinya semata.
Saya mencintai mama karena ia
memberi ruang bagi saya untuk mendefinisikan makna hidup saya sebagai
perempuan. Tanpa memaksa, tanpa otoriter. Karenanya, saya bisa memelihara
kemanusiaan saya sebagai seorang perempuan. Selamat Hari Perempuan Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar