Sabtu, 21 Desember 2013

Hari Perempuan Indonesia

Hari Perempuan Indonesia
R Valentina Sagala  ;    Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN,  21 Desember 2013

  

Ibu adalah figur perempuan pertama yang menjadi idola saya. Sampai kapan pun, meski sering berbeda pendapat, saya mengasihi mama (demikian saya memanggilnya) sepenuh hati.

Tentang berbeda pendapat, satu hal yang saya kagumi dari mama adalah di samping pribadinya yang teguh pada prinsip, ia selalu terbuka pada perbedaan.

Waktu di bangku SMA dulu, mama berharap saya masuk jurusan ilmu eksakta (IPA), mengikuti jejaknya dulu, agar bisa berkuliah jurusan teknik fisika, juga seperti yang ia tempuh dulu. Sejak kelas satu SMA, saya padahal tahu minat saya adalah ilmu hukum dan ekonomi.

Saya beruntung di SMA Santa Ursula tempat saya bersekolah, sang kepala sekolah menekankan murid-muridnya untuk memutuskan jurusan.

Kata beliau, murid-muridnyalah yang akan mengarungi belantara kehidupan kelak, bukan orang tua. Setiap pribadi memiliki keunikannya sendiri. Oleh karena itu, sangatlah penting mendengarkan suara murid, terutama jika psikotes dan wawancara terbukti selaras dengan hasrat sang murid.

Meski berdasarkan nilai saya bebas memilih jurusan, setelah berdialog, mama menerima keputusan saya mengambil jurusan sosial (IPS). Kata mama, saya harus bertanggung jawab atas keputusan yang saya ambil. Bukan untuk mama, tapi untuk diri saya sendiri.

Hal yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah bagaimana mengelola perbedaan. Perbedaan tidak seharusnya menghasilkan permusuhan.

Sepanjang tidak menyakiti dan merugikan orang lain, dan mampu bertanggung jawab dengan pilihan yang telah diputuskan, kami saling bisa menerima satu sama lain. Saya tak perlu sama persis dengan mama karena memang tidak akan pernah bisa.

Tiap tahun pada tanggal 22 Desember, masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai “Hari Ibu”. Ditinjau dari sejarahnya, Hari Ibu ini berbeda dengan Mothers Day yang lazim dirayakan dengan memberi tanda cinta pada para ibu, sebagaimana biasa dikenal masyarakat di luar Indonesia.

Sejarah mencatat tanggal 22 Desember terkait dengan Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada 22-25 Desember 1928, di Yogyakarta. Kongres ini merupakan tonggak penting perjuangan perempuan meraih kemerdekaan.

Para pemimpin dari organisasi perempuan dari berbagai wilayah berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Saya membayangkan suasana itu di mana setiap organisasi memiliki minat (interest) masing-masing. Tentu ada perbedaan-perbedaan berkelindan dalam proses.

Menariknya, peristiwa tersebut memperlihatkan semangat kebersamaan dalam pluralitas agama, bahasa, dan suku para perempuan yang bersatu padu demi kepentingan agenda perjuangan.

Kongres berhasil mengemukakan berbagai isu yang harus dikerjakan, mulai dari persatuan perempuan, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan dan pembangunan, penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak perempuan yang dikawinkan, masalah perkawinan, hingga perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita.

Penetapan 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938 hingga akhirnya Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No 316 Tahun 1959 menetapkannya secara nasional.

Sayang, tragedi 1965 menghancurkan sendi-sendi perjuangan perempuan. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dituding sebagai kelompok kejam, komunis, dan anti-Tuhan, meski hingga kini tak pernah terbukti. Tudingan rezim Orde Baru menghasilkan trauma berkepanjangan pada perempuan.

Bersamaan dengan itu, Orde Baru menanamkan pandangan baru “ibuisme” yang mereduksi “perempuan” sebagai “istri” sekaligus “ibu” dengan setumpuk “peran” (masih ingat Kementerian Peranan Wanita?). Ibu menjadi sebuah “isme (paham)” di mana perempuan yang “baik” adalah yang menjalankan peran-peran domestiknya.

Rezim Orde Baru mengaburkan makna 22 Desember dan mereduksinya sebagai perayaan “perempuan” sebagai “ibu” sesuai dengan gambarannya. Peringatannya biasa diwarnai lomba kebaya dan konde, masak-memasak, dan sebagainya.

Di luar gambaran tersebut adalah kesalahan. Sejarah dan makna sebenarnya dari 22 Desember dihapus. Rezim menutup diri pada perbedaan dan karenanya menolak berdialog dengan jujur.

Saya mencintai mama karena mengajarkan saya untuk tidak mengamini sikap rezim otoriter yang menggagungkan kebenaran versi dirinya semata.

Saya mencintai mama karena ia memberi ruang bagi saya untuk mendefinisikan makna hidup saya sebagai perempuan. Tanpa memaksa, tanpa otoriter. Karenanya, saya bisa memelihara kemanusiaan saya sebagai seorang perempuan. Selamat Hari Perempuan Indonesia!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar