Kebijakan kenaikan suku bunga acuan (BI
Rate) sebesar 7,50 persen oleh Bank Indonesia (BI) dikhawatirkan tidak akan
efektif mengendalikan inflasi maupun nilai tukar rupiah. Masalahnya, dalam
situasi saat ini dolar AS dalam kondisi ketat lantaran termakan isu bakal
dihentikannya paket stimulus moneter (tapering off) oleh bank sentral AS,
the Federal Reserve (the Fed).
Momentum saat ini juga diperlukan dolar AS
dalam jumlah besar baik oleh korporasi pemerintah dan swasta untuk
pembayaran kewajiban impor maupun oleh para keluarga untuk keperluan
liburan ke luar negeri.
Dari perspektif bank sentral selaku otoritas
moneter, kalau BI Rate tidak dinaikkan, tekanan inflasi makin tidak
terkendali dan berpotensi menembus angka 8 persen. Yang jelas, untuk jangka
pendek itu, pengendalian inflasi bukan pekerjaan mudah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi
pada Oktober sebesar 0,09 persen. Angka inflasi itu tergolong rendah jika
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, dibanding September, bulan
Oktober melemah karena September tercatat deflasi 0,35 persen. Sedangkan
laju inflasi secara tahunan (year on tear/joy) mencapai 8,32 persen.
Sebelumnya BPS mencatat inflasi Juli 2013
mencapai 3,29 persen (mtm). Angka itu tertinggi sejak 1999 atau pascakrisis
moneter (krismon) 1998 silam. Secara tahunan (year on year), inflasi Juli
menembus 8,61 persen.
Sementara jika dilihat dari awal tahun alias
inflasi tahun kalender mencapai 6,75 persen. Inflasi yang tinggi ini
dipengaruhi kenaikan harga ikan sebagai bahan makanan dan tarif angkutan
yang naik karena mengikuti kenaikan harga BBM bersubsidi. Tingginya inflasi
tentu akan menggerus daya beli masyarakat sehingga kontribusi sektor
konsumsi terhadap produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi akan
menyusut.
Langkah BI itu juga diarahkan untuk
memberikan kenyamanan bagi pemilik rupiah untuk tidak menukarnya ke dolar
AS. Kalaupun pascakenaikan BI Rate, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar
AS belum membaik atau menguat, mungkin saja ini soal waktu. Cepat atau
lambat, rupiah akan menguat lagi setelah kondisi perekonomian kembali
normal dan stabil.
Dalam jangka pendek memang pengaruh faktor
eksternal bertubi-tubi menghampiri pasar keuangan domestik. Pertama, dari
isu rencana the Fed menyetop paket stimulus fiskal. Kedua, dari kabar
negatif proyeksi pelemahan pertumbuhan ekonomi China dari 7,8 persen
menjadi 7,5 persen.
Jadi, selain permintaan dolar AS akhir-akhir
ini terus meningkat untuk kebutuhan impor dan pembayaran dividen untuk
investor asing, nilai tukar dolar AS saat ini memang cenderung menguat
terhadap mata uang global lantaran muncul perkembangan yang menggembirakan
pada perekonomian AS. Maka dari itu, untuk menjaga kestabilan nilai tukar
rupiah, selain menaikkan BI Rate, BI juga harus mengantisipasi permintaan
dolar AS yang relatif besar oleh korporasi dan institusi. Kalaupun kenaikan
BI Rate akan berdampak pada kenaikan bunga bank, baik simpanan maupun
kredit sehingga menekan potensi pertumbuhan ekonomi, maka BI bersama dengan
pemerintah harus mengupayakan inflasi dapat dikendalikan agar BI Rate bisa
diturunkan secepatnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar