Selasa, 03 Desember 2013

Pelemahan Rupiah

Pelemahan Rupiah
Ryan Kiryanto  ;   Pengamat Ekonomi
SUARA KARYA,  02 Desember 2013



Kebijakan kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 7,50 persen oleh Bank Indonesia (BI) dikhawatirkan tidak akan efektif mengendalikan inflasi maupun nilai tukar rupiah. Masalahnya, dalam situasi saat ini dolar AS dalam kondisi ketat lantaran termakan isu bakal dihentikannya paket stimulus moneter (tapering off) oleh bank sentral AS, the Federal Reserve (the Fed).

Momentum saat ini juga diperlukan dolar AS dalam jumlah besar baik oleh korporasi pemerintah dan swasta untuk pembayaran kewajiban impor maupun oleh para keluarga untuk keperluan liburan ke luar negeri.

Dari perspektif bank sentral selaku otoritas moneter, kalau BI Rate tidak dinaikkan, tekanan inflasi makin tidak terkendali dan berpotensi menembus angka 8 persen. Yang jelas, untuk jangka pendek itu, pengendalian inflasi bukan pekerjaan mudah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Oktober sebesar 0,09 persen. Angka inflasi itu tergolong rendah jika dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, dibanding September, bulan Oktober melemah karena September tercatat deflasi 0,35 persen. Sedangkan laju inflasi secara tahunan (year on tear/joy) mencapai 8,32 persen.

Sebelumnya BPS mencatat inflasi Juli 2013 mencapai 3,29 persen (mtm). Angka itu tertinggi sejak 1999 atau pascakrisis moneter (krismon) 1998 silam. Secara tahunan (year on year), inflasi Juli menembus 8,61 persen.

Sementara jika dilihat dari awal tahun alias inflasi tahun kalender mencapai 6,75 persen. Inflasi yang tinggi ini dipengaruhi kenaikan harga ikan sebagai bahan makanan dan tarif angkutan yang naik karena mengikuti kenaikan harga BBM bersubsidi. Tingginya inflasi tentu akan menggerus daya beli masyarakat sehingga kontribusi sektor konsumsi terhadap produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi akan menyusut.

Langkah BI itu juga diarahkan untuk memberikan kenyamanan bagi pemilik rupiah untuk tidak menukarnya ke dolar AS. Kalaupun pascakenaikan BI Rate, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS belum membaik atau menguat, mungkin saja ini soal waktu. Cepat atau lambat, rupiah akan menguat lagi setelah kondisi perekonomian kembali normal dan stabil.

Dalam jangka pendek memang pengaruh faktor eksternal bertubi-tubi menghampiri pasar keuangan domestik. Pertama, dari isu rencana the Fed menyetop paket stimulus fiskal. Kedua, dari kabar negatif proyeksi pelemahan pertumbuhan ekonomi China dari 7,8 persen menjadi 7,5 persen.

Jadi, selain permintaan dolar AS akhir-akhir ini terus meningkat untuk kebutuhan impor dan pembayaran dividen untuk investor asing, nilai tukar dolar AS saat ini memang cenderung menguat terhadap mata uang global lantaran muncul perkembangan yang menggembirakan pada perekonomian AS. Maka dari itu, untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, selain menaikkan BI Rate, BI juga harus mengantisipasi permintaan dolar AS yang relatif besar oleh korporasi dan institusi. Kalaupun kenaikan BI Rate akan berdampak pada kenaikan bunga bank, baik simpanan maupun kredit sehingga menekan potensi pertumbuhan ekonomi, maka BI bersama dengan pemerintah harus mengupayakan inflasi dapat dikendalikan agar BI Rate bisa diturunkan secepatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar