“Sebagai
anggota ASEAN, kita perlu terus mencermati apakah Yingluck mampu bertahan
ataukah mundur”
SETELAH sekitar dua tahun terakhir
relatif stabil, jagat politik Thailand kembali bergolak menyusul aksi
demonstrasi ribuan pendukung oposisi di Bangkok dan sejumlah kota lain di
Negeri Gajah Putih itu. Unjuk rasa berskala luas tersebut menandai babak
baru krisis politik Negeri Kerajaan yang dikepalai Raja Bhumibol Adulyadej
itu.
Demonstrasi tersebut berawal pada Oktober
2013, saat pemerintahan Puea Thai Party (PTP) di bawah Perdana Menteri (PM)
Yingluck Shinawatra memberi dukungan terhadap rancangan undang-undang (RUU)
terkait dengan upaya memberi amnesti kepada PM terguling Thaksin
Shinawatra.
Begitu RUU itu diprotes publik, Yingluck
sebenarnya langsung menghentikan dukungannya atas RUU tersebut, guna
mencegah aksi protes lanjutan.
Faktanya, aksi protes pendukung oposisi
yang dimotori Partai Aksi Demokrat (PAD) pimpinan Suthep Thaugsuban tidak
berhenti, bahkan meluas ke 10 provinsi.
Bukan cuma itu, demonstran menguasai
kantor-kantor pemerintah, semisal Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Perhubungan dan
Pariwisata. Mereka juga menuntut Yingluck mengundurkan diri lantaran
pemerintahannya dikendalikan sang kakak, mantan PM Thaksin Shinawatra (SM,
27/11/13).
Yingluck adalah orang dekat ketiga
Thaksin yang kepemimpinan pemerintahannya digoyang dan coba dilengserkan
dari kursi perdana menteri oleh pendukung oposisi yang dimotori PAD.
Sebelumnya, periode akhir 2007-2008, dua orang dekat Thaksin, yakni Samak
Sundavarej dan dan Somchai Wongsawat, dipaksa turun dari kursi perdana
menteri melalui aksi protes jalanan kalangan pendukung PAD. Apakah Yingluck
akan mengikuti nasib buruk dua pendahulunya?
Jika tawaran dialog Yingluck kepada
oposisi ditolak mentah-mentah, atau tawaran itu diterima namun tidak
membuahkan hasil kesepakatan, tidak mustahil Yingluck akhirnya mundur
dari kursi perdana menteri sebagaimana pernah dialami Samak Sundavarej atau
Somchai Wongsawat.
Diduga, kemungkinan mereka menolak
tawaran dialog atau menerima dialog tetapi tidak membuahkan persetujuan
cukup kuat. Pasalnya, berdiri di belakang demonstrasi ribuan pendukung
oposisi kali ini adalah kalangan elite militer, keluarga kerajaan, dan
kalangan kelas menengah. Sejak 2006 lalu mereka telah memberikan dukungan
politiknya kepada kelompok penentang Thaksin.
Mereka tidak menyukai Thaksin karena
selama memerintah (2001 sampai dikudeta 19 September 2006) berhasil meraih
dukungan besar masyarakat pedesaan, terutama di wilayah Thailand Utara dan
Timur Laut akibat kebijakan pemerintahannya yang populis seperti pemberian
kredit tanpa bunga. Dukungan mereka yang besar kepada Thaksin ataupun
orang-orang dekatnya sudah dibuktikan melalui hasil pemilu demokratis tahun
2005, 2007, dan 2011.
Kultur
Politik
Dukungan besar tersebut oleh kalangan
elite militer, kerajaan ataupun kelas menengah umumnya dikhawatirkan akan
merubah kultur politik rakyat Thailand, yaitu dari kultur politik
feodalistik-konservatif menjadi kultur politik modern.
PAD yang beberapa kali mengusulkan agar
70% anggota parlemen ditunjuk dan hanya 30% yang dipilih mengindikasikan
kuatnya kekhawatiran tersebut.
Usulan PAD tersebut dipastikan tidak akan
punya arti apa pun bilamana dilakukan lewat parlemen pada era Yingluck. Pasalnya,
parlemen dua tahun terakhir dikuasai PTP-nya Yingluck. Dalam pemilu
parlemen pada 3 Juli 2011, PTP meraup 261 kursi (lebih dari 50% dari 500
kursi yang diperebutkan), sementara PAD hanya meraih 162 kursi. Barang kali
karena itulah, saat berorasi di depan ribuan pendukungnya di Bangkok
(27/11) dia mengisyaratkan mau menerima tawaran dialog asalkan usulan
oposisi terkait perubahan sistem parlementer termasuk isu yang dibahas.
Seandainya dialog antara pemerintahan
Yungluck dan oposisi bisa digelar, dan dalam dialog itu oposisi yang
dipandegani PAD kembali mengusulkan agar 70% anggota parlemen ditunjuk dan
30% lainnya dipilih maka hal itu selain memperkuat kekhawatiran
sejumlah kalangan elite akan terjadinya perubahan kultur politik rakyat.
Hal itu sekaligus menjadi pembenar atas dugaan pemberian dukungan kalangan
elite tadi terhadap aksi demonstrasi pendukung oposisi yang menuntut PM
Yingluck mengundurkan diri yang tengah berlangsung ini.
Sebagai negara anggota ASEAN, kita perlu
terus mencermati babak baru krisis politik Thailand sekarang ini untuk
mengetahui apakah Yingluk mampu bertahan sampai masa jabatannya habis dua
tahun ke depan, ataukah akhirnya mengundurkan diri seperti Samak Sundavarej
atau Somchai Wongsawat pada 5 tahun lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar