Selasa, 03 Desember 2013

Babak Baru Krisis Thailand

Babak Baru Krisis Thailand
Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  02 Desember 2013

  

“Sebagai anggota ASEAN, kita perlu terus mencermati apakah Yingluck mampu bertahan ataukah mundur”

SETELAH sekitar dua tahun terakhir relatif stabil, jagat politik Thailand  kembali bergolak menyusul aksi demonstrasi ribuan pendukung oposisi di Bangkok dan sejumlah kota lain di Negeri Gajah Putih itu. Unjuk rasa berskala luas tersebut menandai babak baru krisis politik Negeri Kerajaan yang dikepalai Raja Bhumibol Adulyadej itu.

Demonstrasi tersebut berawal pada Oktober 2013, saat pemerintahan Puea Thai Party (PTP) di bawah Perdana Menteri (PM) Yingluck Shinawatra memberi dukungan terhadap rancangan undang-undang (RUU) terkait dengan upaya memberi amnesti kepada PM terguling Thaksin Shinawatra.

Begitu RUU itu diprotes publik, Yingluck sebenarnya langsung menghentikan dukungannya atas RUU tersebut, guna mencegah aksi protes lanjutan.
Faktanya, aksi protes pendukung oposisi yang dimotori Partai Aksi Demokrat (PAD) pimpinan Suthep Thaugsuban tidak berhenti, bahkan meluas ke 10 provinsi.

Bukan cuma itu, demonstran menguasai kantor-kantor pemerintah, semisal Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kemen­terian Pertanian, serta Kementerian Perhubungan dan Pariwisata. Mereka juga menuntut Yingluck mengundurkan diri lantaran pemerintahannya dikendalikan sang kakak, mantan PM Thaksin Shinawatra (SM, 27/11/13).

Yingluck adalah orang dekat ketiga Thaksin yang kepemimpinan pemerintahannya digoyang dan coba dilengserkan dari kursi perdana menteri oleh pendukung oposisi yang dimotori PAD. Sebelumnya, periode akhir 2007-2008, dua orang dekat Thaksin, yakni Samak Sundavarej dan dan Somchai Wongsawat, dipaksa turun dari kursi perdana menteri melalui aksi protes jalanan kalangan pendukung PAD. Apakah Yingluck akan mengikuti nasib buruk dua pendahulunya?

Jika tawaran dialog  Yingluck kepada oposisi ditolak mentah-mentah, atau tawaran itu diterima namun tidak membuahkan hasil kesepakatan, tidak mustahil  Yingluck akhirnya mundur dari kursi perdana menteri sebagaimana pernah dialami Samak Sundavarej atau Somchai Wongsawat.

Diduga, kemungkinan mereka menolak tawaran dialog atau menerima dialog tetapi tidak membuahkan persetujuan cukup kuat. Pasalnya, berdiri di belakang demonstrasi ribuan pendukung oposisi kali ini adalah kalangan elite militer, keluarga kerajaan, dan kalangan kelas menengah. Sejak 2006 lalu mereka telah memberikan dukungan politiknya kepada kelompok penentang Thaksin.

Mereka tidak menyukai Thaksin karena selama memerintah (2001 sampai dikudeta 19 September 2006) berhasil meraih dukungan besar masyarakat pedesaan, terutama di wilayah Thailand Utara dan Timur Laut akibat kebijakan pemerintahannya yang populis seperti pemberian kredit tanpa bunga. Dukungan mereka yang besar kepada Thaksin ataupun orang-orang dekatnya sudah dibuktikan melalui hasil pemilu demokratis tahun 2005, 2007, dan 2011.

Kultur Politik

Dukungan besar tersebut oleh kalangan elite militer, kerajaan ataupun kelas menengah umumnya dikhawatirkan akan merubah kultur politik rakyat Thailand, yaitu dari kultur politik feodalistik-konservatif menjadi kultur politik modern.
PAD yang beberapa kali mengusulkan agar 70% anggota parlemen ditunjuk dan hanya 30% yang dipilih mengindikasikan kuatnya kekhawatiran tersebut.

Usulan PAD tersebut dipastikan tidak akan punya arti apa pun bilamana dilakukan lewat parlemen pada era Yingluck. Pasalnya, parlemen dua tahun terakhir dikuasai PTP-nya Yingluck. Dalam pemilu parlemen pada 3 Juli 2011, PTP meraup 261 kursi (lebih dari 50% dari 500 kursi yang diperebutkan), sementara PAD hanya meraih 162 kursi. Barang kali karena itulah, saat berorasi di depan ribuan pendukungnya di Bangkok (27/11) dia mengisyaratkan mau menerima tawaran dialog asalkan usulan oposisi terkait perubahan sistem parlementer termasuk isu yang dibahas.

Seandainya dialog antara pemerintahan Yungluck dan oposisi bisa digelar, dan dalam dialog itu oposisi yang dipandegani PAD kembali mengusulkan agar 70% anggota parlemen ditunjuk dan 30%  lainnya dipilih maka hal itu selain memperkuat kekhawatiran sejumlah kalangan elite akan terjadinya perubahan kultur politik rakyat. Hal itu sekaligus menjadi pembenar atas dugaan pemberian dukungan kalangan elite tadi terhadap aksi demonstrasi pendukung oposisi yang menuntut PM Yingluck mengundurkan diri yang tengah berlangsung ini.

Sebagai negara anggota ASEAN, kita perlu terus mencermati babak baru krisis politik Thailand sekarang ini untuk mengetahui apakah Yingluk mampu bertahan sampai masa jabatannya habis dua tahun ke depan, ataukah akhirnya mengundurkan diri seperti Samak Sundavarej atau Somchai Wongsawat pada 5 tahun lalu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar