HIV/AIDS. Kita mendengarnya saja ngeri, bahkan bulu
kuduk pun merinding. Bagaimana tidak, konon virus dan epidemi ganas itu
belum juga ditemukan obatnya. Entahlah, berapa banyak korban lagi harus
mati sia-sia.
Pada tahun 2007 terdapat 11.140 kasus HIV. Tahun 2008,
16.140 kasus. 19.973 pada tahun 2009. Pada tahun 2010 meningkat menjadi
22.726 kasus. Menurun di tahun 2011, sebanyak 15.509 kasus. Meningkat lagi
tahun 2012, yakni 21.511 kasus HIV dan 5.686 penderita AIDS. Terbaru tahun
2013, tercatat ada 24.807 kasus positif HIV dan 6.973 penderita AIDS.
(Tempo, 22/10/2013)
'Mencegah lebih baik daripada mengobati'. Pameo ini
menjadi semangat, dan senjata pendidikan untuk menekan jumlah penderita
penyakit mematikan itu. Pendidikan melakukan perlawanan di 'hulu' untuk
mencegah penyebab terjadinya seks bebas dan pecandu narkoba. Bukan di
'hilir' sebagai pencegah penularannya, melalui pembagian kondom gratis,
yang pernah dilakukan Menteri Kesehatan tahun 2012.
Ketika semua pihak menutup mata, berputus asa karena tak
ada obat penangkalnya, maka pendidikan memberikan solusi radikal, untuk mematikan
akar-akar HIV/AIDS. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana langkah-langkah
pendidikan untuk mencegah HIV/AIDS secara radikal?
Di zaman modern ini, para remaja lebih takut diingatkan
dengan risikonya daripada peduli dengan mempertebal iman (keagamaan), dan
ketahanan mental. Artinya, bisa saja mereka melakukan free sex, dan
menggunakan narkoba bila ada alat-alat kontrasepsi dan semacamnya.
Lalu, di manakah peran pendidikan, sebagai ujung tombak
pertahanan dan transformasi sosial? Padahal, dalam UUD Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003, pasal I ayat 1 dijelaskan, bahwa pendidikan adalah pencipta
generasi bangsa yang memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian
diri, dan akhlak mulia.
Apabila untuk menangkal virus HIV dan AIDS mustahil
dilakukan, sebab belum ada obatnya, maka untuk mencegah
penyebab-penyebabnya justru mudah dan logis dilakukan. Kontrol sosial;
kepedulian orangtua, guru dan masyarakat melalui pendidikan menjadi hal
vital. Jadi, jika jumlah pengidap penyakit HIV/AIDS tiap tahunnya meningkat,
berarti kontrol sosial semakin lemah.
Pendidikan tak memberi bekal kita untuk memerangi virus
HIV yang menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh. Melainkan, tak
memberi kesempatan bagi virus-virus itu untuk berperang bersama kita.
Apalagi, kita tahu kekuatan musuh begitu besar dan mematikan. Kekebalan
iman dan mental menjadi prioritas pendidikan dalam menyikapi epidemi dan
kenakalan remaja.
Diskriminasi
Lebih dari 4 juta anak Indonesia berusia antara 15-24
tahun putus sekolah karena dikeluarkan dari sekolah. Penyebabnya
bermacam-macam, mulai dari kekerasan, narkoba, kehamilan, dan berstatus
penderita HIV. Berkenaan dengan penderita HIV/AIDS, memang masa remaja (adolescance) dan awal dewasa (early edulthood) menempati proporsi
sekitar 30 persen dari populasi berisiko, dengan prevalensi HIV lebih
tinggi,
Pertanyaannya, apakah sikap sekolah yang mengeluarkan
paksa siswanya sudah tepat? Bagaimana mungkin pendidikan akan melakukan
transformasi sosial? Jika lembaga pendidikan sudah enggan menjadi pengayom,
pembina, penuntun masa depan generasi bangsa. Itu benar-banar langkah
konyol dan diskriminatif.
Alasan sekolah mengeluarkan siswanya, karena faktor
moral: malu kepada masyarakat, dan sekolah lain. Sisi lain, sejumlah pihak
mengira bahwa penyakit HIV/AIDS akan mudah menular pada masyarakat sekolah.
Padahal, penyakit itu tak menular, hanya karena tinggal satu tempat
(sekolah), bersalaman, berpelukan, dan makan bersama.
Justru dengan sikap sekolah seperti itu, akan
memperbusuk citranya sendiri. Sebagai lembaga pencerahan dan pembinaan,
harusnya sekolah dapat lebih bijak menanggapi realitas dan tantangan yang
dihadapi anak muda saat ini. Bukan justru menelantarkannya.
Sekolah dituntut lebih cerdas dalam membantu siswa-siswa
melewati masa transisi (masa anak-anak- dewasa). Pada masa itulah, mereka
menjelajahi pergaulan dan menguji terjalnya hidup. Tak jarang dari mereka
bereksperimen dengan narkoba dan seks bebas, akhirnya terinfeksi HIV/AIDS.
Integrasi kurikulum menjadi strategi pendidikan nasional
yang dirasa lebih efektif, dan berdampak positif dalam mengurangi jumlah
penderita HIV/AIDS. Serta melakukan pencegahan dini.
Implementasi program pendidikan yang lebih komprehensif
tentang pencegahan HIV dan respon AIDS berdasarkan pada SK No: 9/U/1997 dan
No: 303/ U/ 1997 yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan.
Prinsip utama kurikulum, yaitu terpusat pada siswa, atau
terfokus pada potensi, kemampuan, kebutuhan dan situasi individu, serta
memastikan kesejahteraan mereka. Pendekatan inklusif dan ramah anak, membuat
integrasi pencegahan HIV dan respon terhadap AIDS di berbagai mata
pelajaran menjadi lebih efektif. Karena, anak didik akan merasa diayomi,
dan lebih terbuka menceritakan masalah-masalah yang dihadapi, terutama
masalah pergaulannya.
Dalam integrasi kurikulum pendidikan dan HIV/AIDS, guru
dituntut menyampaikan secara holistik fakta-fakta, konsep, masalah, serta
isu-isu relevan, yang tengah dihadapi siswa, sekolah, dan masyarakat dalam
kaitannya dengan HIV/AIDS. Namun, sesempurna apa pun kurikulum itu, kecerdasan
dan kompetensi guru menjadi taruhannya. Bagaimanapun, 'mencegah lebih baik
daripada mengobati'. Generasi muda adalah harapan dan pemimpin masa depan
bangsa. Maka, mendidik, menyelamatkan, mencerahkan mereka adalah tugas kita
bersama. Akhir kata, benarlah apa yang dikatakan Nelson Mandela, bahwa
"pendidikan adalah senjata yang sangat mematikan, karena dengan
pendidikan maka kita akan mengubah dunia?" Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar