TRAGEDI kereta api yang kita saksikan beberapa hari lalu di
Bintaro menyisakan isak tangis di banyak keluarga Indonesia. Dari layar TV, saya menyaksikan linangan air
mata ibu, tatapan kosong penuh duka beberapa keluarga yang ditinggalkan
anak-anaknya yang terpanggang bencana
Siapakah
korban-korban PT KAI itu? Saya menyebut mereka sebagai pejuang-pejuang
keluarga. Itu adalah satu di antara beberapa tipe karyawan yang bekerja
sangat ulet, namun berbeda dengan kebanyakan pegawai: masinis Darman
Prasetyo, asistennya, Agus Suroto, dan teknisi Sofyan Hadi yang berasal
dari berbagai daerah.
"Mereka
kehilangan nyawa dari pekerjaan yang dicintainya," ujar seorang
penyiar televisi yang meliput di rumah duka dari Blora dan Purworejo di
Jawa Tengah.
Dari berbagai
berita saya membaca,masinis dan teknisi punya kesempatan untuk
menyelamatkan diri. Tapi, keduanya memilih membantu para penumpang dan
tetap berada di tempat tugas dengan penuh dedikasi, militansi, dan tanggung
jawab. Ignasius Jonan, CEO PT KAI, menyebut para petugas KA yang tewas
dalam kecelakaan di lintasan Bintaro itu sebagai syuhada.
Sebagai
penghormatan, istri atau saudara kandung para "syuhada" itu
mendapat kesempatan untuk menjadi karyawan KAI, tanpa tes, tanpa batasan
umur, sesuai dengan pendidikan yang bersangkutan. Jika korban punya anak,
KAI akan menanggung beasiswa hingga jenjang perguruan tinggi.
Alasan Bekerja
Beberapa waktu
lalu para praktisi kepegawaian (human resources management) kebagian hadiah
sebuah buku bagus dari Prof Dave Ulrich. Judulnya The Why of Work (2010).
Buku itu
menjadi penting bagi kita di sini, ketika Indonesia tengah diberi bonus
demografi. Di garis batas antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi, gairah
kewirausahaan (sehingga perusahaan sulit mendapatkan SDM yang andal), dan
gejala-gejala pelambatan ekonomi, ditambah kemungkinan perangkap ekonomi
kelas menengah (sehingga bisa menggagalkan kita menjadi negara kaya).
Ya, kita
mengalami banyak kemudahan sekaligus kesulitan-kesulitan dalam mendapatkan
tenaga-tenaga kerja yang hebat, penerus yang berdedikasi, bahkan
mempertahankannya. Bayangkan saja kalau kita berwirausaha di Malaysia,
Singapura, Hongkong, atau Taiwan. Sudah pasti Anda tak bisa mendapatkan
pegawai dengan memasang iklan di koran. Anda harus menghubungi agen yang
mendatangkan tenaga-tenaga muda dari Indonesia, Tiongkok, dan India.
Di sini, Anda
tinggal umumkan kepada pegawai, pasang brosur di warung terdekat, mereka
datang. Tetapi, siapakah yang datang?
Di PT Kereta
Api Indonesia (KAI), impian mendatangkan lulusan-lulusan universitas
terkenal kini tentu tidak sesulit dulu. Perusahaan itu tumbuh, citranya
bagus, leadership-nya kuat, dan
gajinya bagus. Punya pimpinan tegas, pandai cari bisnis, dan perhatian
kepada karyawan.
Tetapi, core
DNA dari pegawai PT KAI saya kira bukanlah para elite seperti yang kita
bangga-banggakan dari gelar akademis atau asal kampusnya. Core DNA itu ada
pada tiga korban yang kalau Dave Ulrich ada di sini, dia pasti sangat
tertarik untuk memasukkannya dalam buku The
Why of Work.
Di kantor, saya
membahas suasana batin anak-anak muda yang menggerakkan Rumah Perubahan.
Sebagai social enterprise, kantor kami yang terletak di tengah-tengah
kampung memang banyak diisi kaum muda. Setiap bulan bagian keuangan
melayani sekitar 150 orang pegawai dan aktivis. Di antaranya, guru, pemungut
sampah, petugas lapangan, penggerak sosial, penulis, kalangan profesional,
dan pelatih (trainer).
Di Barat,
pejuang keluarga tidak dikenal, tetapi di sini dia mempunyai peran sentral
yang penting. Tiga titik sentral buku dari Dave Ulrich ada di mereka yang
bekerja karena meaning, value and hope. Maka, di bawah judul besarnya, dia
menulis buku itu sebagai pedoman How
Great Leaders Build Abundant Organizations That Win.
Keren bukan?
Saya tak tahu
apakah Jonan membaca buku itu. Tetapi, cara Jonan yang tegas, namun
humanisme yang dibagikan untuk mengantar kepergian mendiang masinis,
asistennya, serta teknisinya yang tewas di Bintaro sudah pasti menunjukkan
bahwa dia tengah membangun sebuah abundant
organization yang indah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar