Kamis, 12 Desember 2013

Paket Bali : Kemenangan Negara Berkembang?

Paket Bali : Kemenangan Negara Berkembang?
Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
TEMPO.CO,  12 Desember 2013
  


Di luar dugaan, Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali akhirnya berhasil menyepakati Paket Bali. Dirjen WTO Roberto Azevedo dan Ketua Konferensi WTO yang juga Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan bungah. Setelah macet 12 tahun tanpa hasil, sebagian agenda Putaran Doha bisa diselesaikan. Roberto dan Gita yakin hasil ini akan mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO akan pentingnya kerja sama multilateral.

Paket Bali berisi tiga hal: fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang, dan pertanian. Dua paket pertama mulus disetujui. Perundingan paling alot terjadi pada agenda pertanian. Dimotori India, kelompok G-33 yang dipimpin Indonesia mendesakkan penaikan subsidi pertanian, dari 10 menjadi 15 persen tanpa batas waktu. Sekitar 40 persen dari 1,2 miliar penduduk India bekerja di pertanian dan terancam kelaparan. India berkepentingan menjamin hak pangan warga tanpa diatur-atur WTO.

Dimotori AS, negara-negara maju menentang India. Argumennya, subsidi untuk memperkuat cadangan pangan mendistorsi pasar bila merembes. Usul India akhirnya disetujui menjadi bagian Paket Bali dengan peace clause 4 tahun. Setelah itu dijanjikan ada solusi permanen. Pertanyaannya, benarkah negara berkembang diuntungkan Paket Bali? Benarkah Paket Bali mencerminkan free and fair trade seperti diyakini Susilo Bambang Yudhoyono? Bisakah negara berkembang memanfaatkan US$ 1 triliun yang didorong perdagangan dunia?

Paket Bali sejatinya tidak mengubah apa-apa. Negara maju tetap pada wajahnya yang lama: banyak menuntut tapi pelit memberi. Pertama, peace clause 4 tahun sejatinya hanyalah omong kosong. Karena hasil negosiasi dengan tenggat 4 tahun itu telah ditukar (trade off) dengan fasilitas perdagangan yang akan meliberalisasi secara luas pasar di negara–negara berkembang. Lagi pula, skema peace clause hanya berlaku untuk cadangan pangan, bukan untuk yang lain. Janji solusi permanen juga tak jelas bagaimana wujudnya dan kapan akan diberlakukan? Boleh jadi, empat tahun lagi negara maju berganti taktik. 

Kedua, Paket Bali mencerminkan tetap berlanjutnya diskriminasi. Menurut WTO, dengan mengamini argumen AS, subsidi guna memperkuat cadangan pangan mendistorsi perdagangan. Di lain pihak, subsidi pangan dan pertanian di negara-negara maju tetap dibolehkan oleh WTO. Ini tecermin dari tetap dilegalkannya subsidi ekspor dan dukungan domestik yang oleh WTO dimasukkan dalam green box, blue box, dan de minimis. 

Ketiga, inti Paket Bali tetap berfokus pada akses pasar (market access). Ini tecermin dari disetujuinya poin-poin dalam fasilitas perdagangan. Isu ini memang eksklusif milik negara-negara maju. Dengan disetujuinya poin fasilitas perdagangan, lewat WTO negara-negara maju bisa mendesak dibangunnya sejumlah fasilitas, seperti kepabeanan, pelabuhan, perizinan, serta fasilitas pengukuran kesehatan di negara berkembang. Itu semua memakan biaya besar. Padahal fasilitas ini tak lain untuk melancarkan lalu lintas barang impor di negara-negara berkembang. Impor bakal membanjir, termasuk ke Indonesia. 

Janji negara-negara berkembang akan menikmati kue ekonomi yang didorong oleh perdagangan dunia hanya janji surga. Dengan pelbagai standar teknis internasional dan asal barang, persyaratan lingkungan dan kesehatan di negara-negara maju akan cukup efektif membendung masuknya aneka produk dari negara berkembang. Selain pelbagai hambatan new non-tariff barrier itu, negara maju memberlakukan tarif ekskalasi untuk sejumlah jenis produk olahan. Dengan cara itu, sulit bagi produk negara berkembang untuk menembus pasar negara maju. Negara maju hanya tertarik membuka pasar bahan baku.

Menurut sebuah studi Bank Dunia, skenario Putaran Doha hanya memberikan keuntungan bagi negara-negara maju. Menurut Bank Dunia, negara-negara berkembang hanya memperoleh sekitar US$ 16 miliar, sedangkan negara-negara maju mendapatkan keuntungan hingga US$ 96 miliar sampai 2015. Yang paling diuntungkan adalah korporasi. Menurut World Trade Report 2013, "80 persen ekspor AS dikuasai 1 persen perusahaan besar, 85 persen ekspor Eropa ada di tangan 10 persen eksportir besar, dan 81 persen ekspor terkonsentrasi pada lima perusahaan ekspor di negara berkembang." Jadi, Paket Bali adalah kemenangan korporasi.

Keempat, Paket Bali menegaskan adanya dua dunia di belahan bumi: utara yang makmur dan kaya, dan selatan yang miskin dan melarat. Di sisi lain, negara-negara maju yang telah mencapai tahapan tertinggi dari pembangunan industri, jasa, dan perdagangan terus melakukan ekspansi pasar guna menghindari stagnasi ekonomi. 

Yang amat disesalkan adalah peran Indonesia. Sebagai tuan rumah, di mata dunia luar Indonesia akan dipuji WTO dan korporasi karena telah berhasil memfasilitasi terus berlanjutnya mesin ekonomi WTO dan perputaran kapital mereka. Di dalam negeri, Indonesia kembali menuai kecaman karena tidak gigih membela kepentingan nasional. Jangan-jangan memang kita tak merumuskan semua itu? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar