Di luar dugaan, Konferensi Tingkat Menteri IX
WTO di Bali akhirnya berhasil menyepakati Paket Bali. Dirjen WTO Roberto
Azevedo dan Ketua Konferensi WTO yang juga Menteri Perdagangan RI Gita
Wirjawan bungah. Setelah macet 12 tahun tanpa hasil, sebagian agenda
Putaran Doha bisa diselesaikan. Roberto dan Gita yakin hasil ini akan
mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO akan pentingnya kerja sama
multilateral.
Paket
Bali berisi tiga hal: fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara
kurang berkembang, dan pertanian. Dua paket pertama mulus disetujui.
Perundingan paling alot terjadi pada agenda pertanian. Dimotori India,
kelompok G-33 yang dipimpin Indonesia mendesakkan penaikan subsidi
pertanian, dari 10 menjadi 15 persen tanpa batas waktu. Sekitar 40 persen
dari 1,2 miliar penduduk India bekerja di pertanian dan terancam kelaparan.
India berkepentingan menjamin hak pangan warga tanpa diatur-atur WTO.
Dimotori
AS, negara-negara maju menentang India. Argumennya, subsidi untuk
memperkuat cadangan pangan mendistorsi pasar bila merembes. Usul India
akhirnya disetujui menjadi bagian Paket Bali dengan peace clause 4 tahun. Setelah itu dijanjikan ada solusi
permanen. Pertanyaannya, benarkah negara berkembang diuntungkan Paket Bali?
Benarkah Paket Bali mencerminkan free
and fair trade seperti diyakini Susilo Bambang Yudhoyono? Bisakah
negara berkembang memanfaatkan US$ 1 triliun yang didorong perdagangan
dunia?
Paket
Bali sejatinya tidak mengubah apa-apa. Negara maju tetap pada wajahnya yang
lama: banyak menuntut tapi pelit memberi. Pertama, peace clause 4 tahun
sejatinya hanyalah omong kosong. Karena hasil negosiasi dengan tenggat 4
tahun itu telah ditukar (trade off)
dengan fasilitas perdagangan yang akan meliberalisasi secara luas pasar di
negara–negara berkembang. Lagi pula, skema peace clause hanya berlaku untuk cadangan pangan, bukan untuk
yang lain. Janji solusi permanen juga tak jelas bagaimana wujudnya dan
kapan akan diberlakukan? Boleh jadi, empat tahun lagi negara maju berganti
taktik.
Kedua,
Paket Bali mencerminkan tetap berlanjutnya diskriminasi. Menurut WTO,
dengan mengamini argumen AS, subsidi guna memperkuat cadangan pangan
mendistorsi perdagangan. Di lain pihak, subsidi pangan dan pertanian di
negara-negara maju tetap dibolehkan oleh WTO. Ini tecermin dari tetap
dilegalkannya subsidi ekspor dan dukungan domestik yang oleh WTO dimasukkan
dalam green box, blue box, dan de minimis.
Ketiga,
inti Paket Bali tetap berfokus pada akses pasar (market access). Ini tecermin dari disetujuinya poin-poin dalam
fasilitas perdagangan. Isu ini memang eksklusif milik negara-negara maju.
Dengan disetujuinya poin fasilitas perdagangan, lewat WTO negara-negara
maju bisa mendesak dibangunnya sejumlah fasilitas, seperti kepabeanan,
pelabuhan, perizinan, serta fasilitas pengukuran kesehatan di negara
berkembang. Itu semua memakan biaya besar. Padahal fasilitas ini tak lain
untuk melancarkan lalu lintas barang impor di negara-negara berkembang. Impor
bakal membanjir, termasuk ke Indonesia.
Janji
negara-negara berkembang akan menikmati kue ekonomi yang didorong oleh
perdagangan dunia hanya janji surga. Dengan pelbagai standar teknis
internasional dan asal barang, persyaratan lingkungan dan kesehatan di
negara-negara maju akan cukup efektif membendung masuknya aneka produk dari
negara berkembang. Selain pelbagai hambatan new non-tariff barrier itu,
negara maju memberlakukan tarif ekskalasi untuk sejumlah jenis produk
olahan. Dengan cara itu, sulit bagi produk negara berkembang untuk menembus
pasar negara maju. Negara maju hanya tertarik membuka pasar bahan baku.
Menurut
sebuah studi Bank Dunia, skenario Putaran Doha hanya memberikan keuntungan
bagi negara-negara maju. Menurut Bank Dunia, negara-negara berkembang hanya
memperoleh sekitar US$ 16 miliar, sedangkan negara-negara maju mendapatkan
keuntungan hingga US$ 96 miliar sampai 2015. Yang paling diuntungkan adalah
korporasi. Menurut World Trade Report
2013, "80 persen ekspor AS
dikuasai 1 persen perusahaan besar, 85 persen ekspor Eropa ada di tangan 10
persen eksportir besar, dan 81 persen ekspor terkonsentrasi pada lima
perusahaan ekspor di negara berkembang." Jadi, Paket Bali adalah
kemenangan korporasi.
Keempat,
Paket Bali menegaskan adanya dua dunia di belahan bumi: utara yang makmur
dan kaya, dan selatan yang miskin dan melarat. Di sisi lain, negara-negara
maju yang telah mencapai tahapan tertinggi dari pembangunan industri, jasa,
dan perdagangan terus melakukan ekspansi pasar guna menghindari stagnasi
ekonomi.
Yang
amat disesalkan adalah peran Indonesia. Sebagai tuan rumah, di mata dunia
luar Indonesia akan dipuji WTO dan korporasi karena telah berhasil
memfasilitasi terus berlanjutnya mesin ekonomi WTO dan perputaran kapital
mereka. Di dalam negeri, Indonesia kembali menuai kecaman karena tidak
gigih membela kepentingan nasional. Jangan-jangan memang kita tak
merumuskan semua itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar