Bangsa Nekat
Munawir Aziz ; Peneliti Tamu di Goethe
Frankfurt University
|
TEMPO.CO,
12 Desember 2013
Kecelakaan maut di perlintasan kereta api
Bintaro Permai, Jakarta Selatan, Senin lalu, menjadi alarm simbolis atas
kondisi bangsa ini. Kereta Commuter Line yang menghantam truk tangki
pengangkut bahan bakar minyak di perlintasan Bintaro itu tidak sekadar
tragedi kemanusiaan, tapi juga kisah tentang etika komunal dan sistem
birokrasi negara.
Tentu,
kisah tragis tersebut membuat semua tersentak: Gubernur DKI Jakarta,
Direktur PT Kereta Api Indonesia (KAI), dan Dinas Perhubungan terasa
tertampar. Bahwa setelah terjadi kecelakaan tragis dan lima nyawa melayang,
pembangunan cepat baru digerakkan. Hal itu menjadi sindrom bagi mekanisme
birokrasi di negeri ini: bereaksi setelah terjadi bencana tragis!
Padahal,
problem perlintasan kereta api sudah menjadi bagian dari isu publik yang
sering dilontarkan di pelbagai forum. Berdasarkan data PT Kereta Api
Indonesia (KAI), dari Januari hingga November tahun ini, sudah 68
kecelakaan terjadi di jalur perlintasan kereta api di wilayah Jakarta,
Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Dari sisi infrastruktur, sebanyak 197
perlintasan liar dari 549 titik perlintasan dalam semua rute kereta api di
Jabodetabek. Jalur kereta api Jabodetabek membutuhkan sentuhan cepat agar
tidak ada lagi nyawa melayang karena kecelakaan.
Namun,
tidak perlu ada saling tunjuk kambing hitam setelah peristiwa tragis. Yang
diperlukan adalah kerja keras dan kerja cerdas untuk secepatnya
menyelesaikan problem yang sudah teridentifikasi. Gubernur DKI Jakarta
langsung menginstruksikan untuk mengeksekusi pembangunan flyover dan
lintasan layang untuk jalur kereta api.
Di
sisi lain, renungan perlu dihadirkan: kisah kecelakaan kereta api di
Bintaro menjadi cermin dari tragedi bangsa nekat. Kisah tentang bangsa
nekat tidak hanya berani menerobos perbatasan kereta api, tapi juga kerap
menantang maut. Inilah karakter bangsa nekat yang telah sublim dalam
keseharian kita. Bahwa usaha untuk mempercepat langkah dan menuntaskan
kerja sering dibumbui oleh egoisme untuk mendahulukan kepentingan sendiri
daripada aturan atas kemaslahatan bersama.
Kenekatan
sebenarnya bukan menjadi kisah buruk dalam karakter bangsa ini. Asal
ditempatkan dalam konteks perjuangan hidup yang positif, akan terhampar
sejarah yang mengesankan. Sayangnya, energi nekat pada akhir-akhir
diarahkan pada hal-hal negatif: menerobos aturan hukum, perilaku korupsi, dan
membahayakan keselamatan orang lain. Bangsa ini sebelumnya dikenal bangsa
yang nekat, yang berhasil menggerakkan sejarah, mencipta pelaut tangguh
dari kawasan Bugis-Makassar, mencipta candi-candi sebagai monumen
peradaban, dan sejumlah catatan sejarah lainnya. Bukankah untuk menyusuri
lautan diperlukan visi dan kenekatan luar biasa?
Sukarno,
Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka adalah orang-orang nekat yang siap mati
untuk memperjuangkan kemerdekaan. Gus Dur menjadi pemimpin nekat yang
berani memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Pemimpin negeri ini perlu
nekat untuk menegaskan kembali sebagai bangsa kuat yang tak mudah disadap.
Nekat sebagai bangsa yang berdikari untuk kemandirian bangsa adalah
manifesto sebagai bangsa tegak di hadapan bangsa lain dan santun dengan
sesama saudaranya. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar