Sabtu, 14 Desember 2013

Mengantre atau Mati?

Mengantre atau Mati?
Herry Tjahjono  ;   Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS,  13 Desember 2013
Artikel yang sama pernah dimuat di KOMPAS 10 Desember 2013


  
SEORANG sahabat mengirimkan tulisan menarik yang didapatnya dari sebuah milis– tentang ”belajar mengantre vs Matematika”.

Ketika saya periksa lewat Google, saya mendapatkan salah satu sumbernya: Kaskus. Karena bermanfaat, saya mohon izin mengadaptasinya dalam tulisan ini. Dikisahkan seorang guru yang mengatakan, sebagai guru, ia tak terlalu cemas jika anak didiknya tak pandai Matematika. Dia jauh lebih cemas jika mereka tak pandai mengantre. Ditanya kenapa, dengan penuh keyakinan, dia menjawab, cukup sekitar tiga bulan intensif untuk menguasai Matematika. Untuk pandai mengantre dan mengingat pelajaran di balik proses mengantre, perlu setidaknya 12 tahun.

Selanjutnya dikatakan, kelak tidak semua anak didiknya memilih profesi yang berhubungan langsung dengan Matematika, kecuali keterampilan tambah, kali, kurang, dan bagi. Namun, yang jelas, semua anak didiknya itu akan memerlukan etika dan moral (yang didapatkan dari pelajaran mengantre) sepanjang hidup mereka kelak. Lalu dengan tangkas, guru itu menjelaskan sebagian nilai-nilai kehidupan berharga di balik keterampilan mengantre, yang akan saya adaptasi sesuai konteks tulisan ini.

Pertama, anak akan belajar manajemen waktu dengan baik, terencana, dan jika ingin mengantre paling depan, ia harus datang lebih awal. Kedua, anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba, terutama jika ia berada di antrean paling belakang. Ketiga, anak belajar menghormati hak orang lain (dan haknya sendiri), yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu. Keempat, anak belajar berdisiplin. Kelima, anak belajar kreatif memikirkan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan selama mengantre (di Jepang biasanya orang membaca buku saat mengantre). Keenam, anak belajar tabah menjalani proses dalam mencapai tujuannya. Ketujuh, anak belajar hukum sebab-akibat bahwa jika terlambat, ia harus menerima konsekuensi di antrean belakang. 
Kedelapan, anak belajar keteraturan dalam hidup. Kesembilan, anak belajar memiliki rasa malu. Kesepuluh, anak belajar jujur kepada diri sendiri dan orang lain.

Mewujud dalam perilaku

Kesepuluh nilai itu memang berhubungan langsung dengan etika atau moral seorang anak. Adapun etika atau moral berhubungan dengan (hati) nurani. Dan sesungguhnya, jika nurani seseorang ”mati”, kemanusiaan orang itu juga mati. 

Saya mendadak tercerahkan bahwa budaya korupsi, setidaknya untuk jangka panjang, salah satunya bisa diberantas melalui pendidikan ”keterampilan” mengantre sejak masa kanak-kanak. Budaya, secara praksis, adalah values in action atau nilai-nilai yang mewujud dalam perilaku. Maka, jika ingin memberantas korupsi, kita wajib menginternalisasikan nilai-nilai yang berkebalikan dengan nilai-nilai yang dianut para koruptor. Mari kita potret head to head pertempuran antarnilai ini.

Pertama, nilai perencanaan dan manajemen waktu adalah lawan telak dari nilai koruptor yang oportunis, aji mumpung, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Para koruptor sangat bodoh dalam merencanakan pekerjaan dan kehidupan mereka, tak punya perencanaan kerja yang etis dan profesional di balik nafsu ingin kaya. Kedua, nilai kesabaran menunggu giliran—lawan sempurna dari nilai hidup koruptor yang ingin kaya dengan cepat. Tak ada kesabaran yang mengendalikan dirinya bahwa segala sesuatu ada waktunya dan selama penantian ”giliran” harus diisi dengan kerja yang baik dan benar.

Ketiga, nilai tentang hak diri dan orang lain akan melumat nilai koruptor yang tak peduli tentang hak dan kewajiban. Koruptor tak mau tahu, semua yang dijarahnya bukan haknya. Jangankan hak orang lain, hak negara pun dia sikat. Dia tak pernah belajar bahwa yang menjadi haknya mesti sesuai dengan kontribusi yang dia berikan dan kewajiban yang dia jalankan dengan baik, di luar itu sama sekali bukan haknya. Keempat, nilai kedisiplinan, lawan dari nilai hidup koruptor yang tidak pernah taat aturan dan seenak hatinya dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan.

Kelima, nilai kreatif—menghancurkan nilai koruptor yang hanya ”kreatif” dalam mencuri dan menjarah yang bukan haknya, tetapi bodoh soal berprestasi untuk hal yang positif sesuai dengan kewajibannya. Nilai kreatif bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan (termasuk kekayaan sekalipun) perlu kinerja yang istimewa dan kreativitas adalah salah satu syarat utama untuk berprestasi di balik uraian tugas dan kewajiban standar yang diberikan. Keenam, nilai ketabahan—merupakan lawan nilai hidup koruptor yang lembek, hedonis, rapuh, dan cepat menyerah. Para koruptor bukanlah pejuang kehidupan sebab semua kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui perjuangan hidup dan semua perjuangan hidup memerlukan ketabahan. Jadi, koruptor tak lebih dari pecundang kehidupan.

Ketujuh, nilai sebab-akibat atau konsekuensi kehidupan—berkebalikan dengan nilai koruptor yang tak pernah konsekuen dalam bekerja. Koruptor ingin melawan hukum alam atau hukum besi kehidupan bahwa yang bekerja baik dan cepat yang akan dapat sesuatu yang diinginkan. Koruptor ingin memutarbalikkan itu semua, tanpa kerja keras dan bersantai-santai, tetapi cepat kaya dan paling kaya.

Kedelapan, nilai keteraturan dalam kehidupan—menentang nilai kekacauan (chaos) yang dianut para koruptor. Para koruptor dengan sadar membuat kekacauan dalam sistem kerja, lingkungan kerja, dan kehidupan melalui perilaku korupsinya. Dan celakanya, dia tak peduli dengan itu semua. Koruptor adalah orang yang kacau hidup dan kerjanya.

Kesembilan, nilai tentang rasa malu—bertentangan habis dengan nilai koruptor yang tidak pernah menghargai martabat dirinya sebagai manusia, dan bermuara pada sifat tak punya malu. Lihatlah para koruptor yang masih cengengesan di sejumlah tayangan televisi, bahkan sempat melambai-lambaikan tangan meski memakai baju tahanan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tak punya rasa malu karena hilang martabat diri. Kesepuluh, nilai kejujuran—merupakan lawan sempurna dari nilai diri koruptor yang serba culas dan menipu siapa pun, termasuk Tuhan dan diri sendiri.

Jadi, kesepuluh nilai di balik pelajaran mengantre itu layak dijadikan obat jangka panjang untuk memberantas budaya korupsi di negeri ini. Sesuai dengan konteks tersebut, keterampilan mengantre perlu dilatih sejak dini. Untuk jangka pendek, kita bisa mengandalkan pemberantasan korupsi bersifat sistemik dan law enforcement. Namun jangka panjang, mutlak harus dimulai dengan pendidikan (internalisasi) nilai-nilai seperti dalam keterampilan mengantre sejak usia dini. Mengantre atau mati (nurani), itu saja pilihannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar