BADAN
Nasional Penanggulangan Terorisme mendatangkan Syeikh Ali al-Halabi asal
Jordania dan Syeikh Nageh Ebrahim dari Mesir ke Indonesia, pekan ini.
Al-Halabi dikenal sebagai ulama yang punya otoritas fatwa di negaranya,
sementara Nageh adalah mantan unsur pimpinan Jamaah Islamiyah Mesir yang
telah bertobat.
Kedua tokoh itu diundang
untuk berdialog dengan narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Nusa
Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dan LP Cipinang, Jakarta Timur. Lewat
proses panjang dan terus-menerus, mungkin saja cara ini dapat mencairkan
ideologi radikal menjadi lebih terbuka dan tercerahkan.
Bagaimana pandangan
kedua tokoh itu tentang paham radikal dan terorisme serta pertemuan mereka
dengan narapidana terorisme di Indonesia, berikut wawancara Kompas dengan Syeikh Ali al-Halabi
dari Jordania dan Syeikh Nageh Ebrahim, di sela-sela makan malam di
Jakarta, Rabu (11/12).
Syeikh
Ali al-Halabi
Apa makna jihad?
Jihad itu punya tiga
tingkatan, yaitu jihad menahan hawa nafsu, jihad mencari ilmu pengetahuan,
dan jihad perang. Perang itu ada syarat-syaratnya. Mungkinkah orang tak
melakukan jihad tingkat pertama dan kedua, lalu langsung melakukan jihad
tingkat atas? Tidak mungkin. Itu sama dengan kita langsung naik lantai
ketiga tanpa naik tangga-tangga sebelumnya. Jika tiba-tiba kita berjihad,
itu sama saja membunuh orang demi melampiaskan hawa nafsu.
Bagaimana
mencegah kelompok radikal agar tidak berkembang menjadi
teroris?
Kita harus membenahi
pemikiran mereka karena perbuatan datang dari pikiran. Pikiran harus
diperbaiki. Kita juga mau aman. Kalau orang sudah menjadi teroris, kita
tidak bisa secara langsung memperbaiki pikiran mereka. Oleh karena itu,
butuh kerja sama dengan pemerintah. Intinya, mencegah lebih baik daripada
mengobati. Bagaimana kita menyosialisasikan
deradikalisasi secara terus-menerus.
Bagaimana
tanggapan narapidana terorisme saat Anda bertemu?
Mereka termasuk
responsif, melihat, dan memperhatikan. Mereka sangat mengikuti dan
betul-betul memperhatikan apa yang disampaikan. Salah satu buktinya, mereka
mau mendengarkan. Mudah-mudahan mereka berpikir. Yang menjadi persoalan,
mereka salah menafsirkan ajaran.
Yakinkan Anda
bisa mengubah keyakinan mereka?
Kita berharap kepada
Allah. Kita tidak tahu kapan mereka akan kembali ke ajaran yang benar. Yang
penting, kita perlu berdialog. Kalau tidak ada dialog, tidak akan ada
perubahan. Kita tetap pada pendapat kita, sebagaimana mereka berkutat pada
pendapatnya. Dalam dialog, kita melihat argumen mereka lemah dan mereka
memerlukan pencerahan serta penjelasan dalam memahami dalil-dalil dengan
tepat.
Bagaimana membendung
paham radikal melalui internet?
Kita perlu membuat
situs-situs yang dapat mementahkan paham radikal. Ketika ada perkembangan
atau berita baru dari kalangan radikal, kita perlu beri tanggapan yang
tepat sehingga pembaca bisa memahami secara benar, sementara paham radikal
tidak mendapat dukungan. Ada situs yang melakukan perlawanan terhadap paham
radikal selama 10 tahun.
Syeikh
Nageh Ebrahim
Bagaimana Anda
bisa berubah dari anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang radikal menjadi
berpandangan moderat?
Saya pernah menjadi
salah seorang pendiri dan unsur pimpinan JI di Mesir pada masa lalu.
Setelah berbagai pengalaman dan perenungan, aksi-aksi kekerasan justru
menghancurkan kegiatan dakwah Islam sebagaimana terjadi sejak 1940-an
sampai sekarang. Ketika Ikhwanul Muslimin (IM) membunuh Perdana Menteri
Mahmoud al-Nuqrashi Pasha, Pemerintah Mesir membalas dengan membunuh tokoh
IM, Hassan al-Banna. Begitu pula ketika Presiden Anwar Sadat dibunuh,
sekitar 20.000 anggota JI masuk penjara. Serangan 11 September 2001 di
Amerika Serikat (AS) mendorong penjajahan negara Afganistan.
Saat muda, saya terlalu
bersemangat dan spontan, tidak memikirkan dampak aksi-aksi kekerasan. Kini
saya sadar, setiap aksi kekerasan justru merugikan. Saya pun menggiring
banyak anggota JI agar meninggalkan pemikiran dan aksi radikal menuju
perdamaian.
Apa kesan Anda
saat bertemu tokoh-tokoh JI di Indonesia?
Kami memiliki beberapa
titik temu dan perbedaan. Kami sepakat, nenek moyang di Indonesia menjadi
Muslim lewat jalan dakwah damai, sebagaimana halnya sahabat Nabi Muhammad
juga menerima Islam secara damai. Namun, ada beberapa pandangan mereka yang
keliru tentang jihad. Mereka menafsirkan jihad sebagai membunuh warga sipil
dari Barat, aparat negara, polisi, bahkan warga sipil di luar kelompoknya.
Padahal, jihad memiliki syarat, aturan, dan penghalang. Jika dilakukan di
waktu, tempat, dan cara yang tidak tepat, jihad itu salah. Islam
mengharamkan pembunuhan perempuan, anak-anak, orang tua renta, dan warga
sipil. Penggunaan senjata harus punya etika.
Indonesia bukanlah
negara perang, melainkan wilayah dakwah. Orang-orang Barat, seperti dari
Australia dan AS, bukanlah sasaran jihad. Mereka datang ke sini untuk
berjalan-jalan dengan paspor dan visa yang memberikan jaminan keamanan.
Sekalipun kita tak setuju dengan kebijakan suatu negara, warga sipil tak
bertanggung jawab atas kebijakan politik pemerintahnya. Apalagi, sebagian
dari mereka juga Muslim.
Masih relevankah
mimpi negara Islam?
Indonesia adalah negara
Islami. Mayoritas penduduk di sini Muslim, kita mendengarkan azan, negara
tidak menghalangi seluruh Muslim untuk shalat dan beribadah. Hukum potong
tangan memang tak diberlakukan, tapi itu hanya bagian kecil dari hukum
Islam. Apalagi, Pemerintah Indonesia juga melarang pencurian dan menerapkan
hukuman tertentu.
Ada orang-orang yang
melakukan kemaksiatan, tapi itu tanggung jawab pribadi. Negara tidak
memaksa warga untuk menjadi kafir atau menenggak minuman keras. Negara
bahkan mendorong Muslim untuk mengamalkan ajaran Islam dan melarang banyak
perbuatan haram.
Kelompok teroris
kerap menuding orang lain sebagai thoghut dan
berusaha memeranginya. Pendapat Anda?
Thoghut itu berarti ’setan’. Seorang
Muslim dipastikan bukan thogut.
Nabi tak pernah mengatakan orang lain atau orang kafir sebagai thoghut meski maksiat atau belum masuk
Islam. Maksiat itu mengurangi, bukan menghilangkan sepenuhnya keimanan
dalam hati kepada Allah dan Rasul.
Pantaskah kita bilang
kepada warga sipil AS bahwa Anda thoghut,
lantas memukulinya? Ini justru memperburuk Islam. Al Quran memerintahkan
kita untuk berkata baik, baik kepada Muslim maupun kelompok-kelompok lain.
Islam membawa ajaran akhlak terbaik untuk umat manusia sebagai rahmat bagi
semesta.
Harapan untuk
Muslimin di Indonesia?
Kembangkan dakwah Islam
dengan cara damai dan hati bersih. Negara ini akan langgeng jika Islam
disebarkan dengan cara-cara yang baik, bukan dengan kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar