Sabtu, 14 Desember 2013

Warisan Terpenting Mandela

Warisan Terpenting Mandela
Harry Tjan Silalahi  ;   Peneliti Senior
KOMPAS,  13 Desember 2013

  

SEGERA setelah  keluar  dari penjara yang dijalani  selama  27 tahun  di Capetown,  Mandela berseru untuk menenangkan para pendukungnya, ”Saya berdiri di depan Anda, penuh kebanggaan dan sukacita. Kami telah bebas.”
Sebelum beranjak pergi dari tempat ditahan, Mandela telah mengampuni sipir penjara yang memperlakukannya secara  tidak manusiawi. Tak hanya itu, ia telah mengampuni  rezim yang telah memenjarakannya sekian lama.  Baginya, keluar dari penjara tanpa  pengampunan di hati berarti belum keluar  dari penjara.
Banyak hal  yang  diteladani  dari  Mandela, selain  dia adalah  pemakai  kain batik  yang bersemangat sehingga mempromosikan  batik  kepada dunia. Warisan terpenting Mandela bagi Indonesia   adalah keberhasilan untuk melakukan rekonsiliasi nasional yang menjadi fokus di awal pemerintahannya. 
Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.  Bersama  Uskup Agung Desmond Tutu, upayanya untuk  rekonsiliasi suku dan ras di Afrika Selatan  dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) untuk menangani  kejahatan apartheid berhasil  dengan gemilang. 
Politik apartheid  amat melukai  bangsa  Afrika  Selatan. Mandela berhasil  mengatasi sikap  permusuhan,   dendam kesumat,  saling tidak percaya,  dan curiga   dengan  sikap pengampunan   karena  saling percaya  pada  kebenaran.  Kalau  dalam  alam pikiran  Jawa, Mandela   memiliki keyakinan  pada  filosofi,  “Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti”, yang berarti ”Segala ilmu kedigdayaan serta kejahatan akan  lenyap  berhadapan dengan kebenaran  (atau kasih sayang)”. 
Rekonsiliasi Indonesia 
Keyakinan  itu menimbulkan kekuatan moral  sehingga mampu  membongkar sistem apartheid  tanpa  pertumpahan darah  sebagai ekses  pembalasan dendam  oleh   korban sistem  itu. Pengorbanan diri yang besar selama di penjara  puluhan tahun menunjukkan  keyakinan   dan  keberaniannya  untuk  membangun  negerinya  berdasarkan dialog dan rekonsiliasi.  Bagi Mandela , perjuangan  mengakhiri apartheid  bukan monopoli dirinya, melainkan  kontribusi banyak  orang.
Indonesia juga memiliki banyak luka  dalam proses  perjalanannya. Luka  masih mendera  dan  menimbulkan sekat-sekat atau pemisah (apart)  yang  mengganggu kesatuan  dan persatuan sebagai bangsa  yang  amat  majemuk, baik   etnik,  budaya,  suku  maupun   golongan.  Jika  dibiarkan, luka-luka itu  dapat menggerus  sikap  saling percaya, saling menerima,  saling  bersatu  antarsuku, antaragama, dan antargolongan  yang sejatinya merupakan kesatuan  bangsa. Peristiwa   G30 S  tahun  1965, Peristiwa   Mei 1998,  Peristiwa Trisakti, Semanggi  I-II, penculikan para aktivis,  dan  pembunuhan  Munir  melukai  persatuan dan kesatuan bangsa.
 Niat bangsa ini  untuk menyembuhkan luka-luka itu  dengan  UU  No 27/2004 tentang  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum membuahkan hasil.  Langkah  komisi  itu  kandas karena Mahkamah Konstitusi  membatalkan  UU itu.  Sudah saatnya  pemerintah  membuat kembali  atau memperbaiki   kembali  dengan  fokus  pada keadilan  korban dan siapa saja  sehingga   pelanggaran dan konflik keras  pada masa lalu itu  dapat diungkapkan dan diselesaikan  dengan rekonsiliasi.
Keadilan  dapat disebut sebagai roh pemersatu yang  menyatukan seluruh elemen bangsa ini. Akan tetapi, seperti Mandela, rekonsiliasi itu bukan monopoli satu  orang atau satu golongan, melainkan proyek bersama  anak bangsa. Pasti bukan  langkah yang mudah, melainkan  harus  ada keberanian untuk mulai. Bukankah  kita juga  percaya : Suradira jayaning rat lebur dening pangastuti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar