Berita tentang perlambatan
ekonomi yang tengah melanda Asia serta mengganggu Indonesia disambut
berbagai eksekutif dan pengusaha dengan beragam perasaan. Sudah melambat
pertumbuhannya, kurs rupiah melemah pula sehingga membuat pusing.
Tapi keyakinan konsumen berbelanja membuat
kehebohan kurs itu menjadi biasa-biasa saja. Bahkan banyak yang mengatakan,
bila tarif jalan tol di dalam kota hari ini dinaikkan dua kali lipat saja
dan Wakil Gubernur DKI jadi mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) di
Jakarta, warga Ibu Kota (dan sekitarnya) juga mungkin akan biasa-biasa
saja. Tentu akan ada satu dua pihak yang akan mengajukan somasi, tetapi
mungkinsaja ituhanyariakgelombang kecil.
Menuntut kenaikan pendapatan sudah pasti,
tetapi gairah berbelanja dan bergaya hidup orang kota akan jalan terus.
Begitu yang ada dalam pikiran para eksekutif. Mungkin itulah yang
membedakan kita dengan China. China berproduksi besar-besaran, tetapi
gairah rakyatnya berbelanja biasa-biasa saja. Kita berproduksi
kecil-kecilan, tetapi gairah rakyatnya berbelanja luar biasa. Yang satu tak
bisa menjualnya di dalam negeri semua hasil produksinya (sehingga
tergantung pada pasar ekspor), yang satu lagi tak bisa mendapatkan semua
yang dikehendaki dari dalam negeri (sehingga segalanya diimpor).
Ada kemungkinan juga kita kurang percaya pada
rupiah sehingga setiap dapat uang segera ditukar dengan ice cream,
secangkir kopi, beberapa buah gadget, sepeda motor, mobil, apartemen atau
sepetak tanah. Pokoknya segera lepas, tukar rupiah dengan barang. Tapi
bagaimana besaran (makro-) ekonomi kita yang sebenarnya? Berselancar di
atas riak gelombang-gelombang kecil memang bisa menipu mata kita. Hanyut dengan
arus yang terlihat bergerak cepat, padahal bisa jadi di hulunya, pada
dataran makro, terjadi perlambatan. Tapi anomali pasar ini memang
membingungkan bagi eksekutif. Namun bagaimana membingungkannya, responsnya
jauh lebih penting.
Konsolidasi
Saya membedakan respons pengusaha akhir tahun
ini ke dalam dua kategori. Pengusaha-pengusaha UMKM tetap menjalankan
bisnisnya as usuals. Tak ada gejolak, tak ada gangguan yang berarti.
Konsumen berbelanja tetap banyak, jalan tetap macet. Urbanisasi dan pelesiran
penduduk antarkota masih tetap tinggi. Gairah PNS melakukan perjalanan
dinas akhir tahun belum terlihat surut sehingga bisnis oleh-oleh, airlines,
sewakendaraan, dan kamar hotel tetap ramai. Pengusaha besar dan eksekutif-
eksekutif yang menangani bisnis-bisnis besar ternyata melihat sebaliknya.
Bagi mereka pelambatan itu riil. Bankir-bankir
lokal menyaksikan perputaran uang mulai melambat, kredit yang sudah
disepakati mulai tak terserap. Bisnis properti yang biasanya lari kencang
pun mulai mengalami seleksi alam. Hanya pengembang- pengembang besar yang
masih menyaksikan perputaran yang lumayan cepat. Pengembang- pengembang
kecil yang tiga tahun belakangan ini ikut tertarik ke depan tampak mulai
sulit berjualan. Semua perputaran itu akan menjadi jelas di bulan Februari
hingga April sampai pemilu memicu kembali optimisme besar.
Lapak-lapak politik yang dikuasai para
politikus akan berpindah tangan, rakyat menyambut pemimpin baru dengan
harapan besar. Selama masa antara itu, lagi-lagi UMKM yang masih akan
bergeliat. Lalu apa yang harus dilakukan pengusaha-pengusaha besar dan
eksekutif-eksekutif perusahaan menengah dan besar? Inilah jawaban yang saya
terima dari seorang CEO yang mengundang saya melakukan konsolidasi di
perusahaannya. Pesannya kurang lebih begini dan saya kira apa yang ia
lakukan penting diikuti eksekutif-eksekutif lainnya.
“Pertumbuhan ekonomi akan melambat dalam tiga
tahun ke depan ini dan kami mengambil langkah yang berbeda dengan yang
lain. Maka berbeda dengan perusahaan lain yang makin menggenjot SDMnya
untuk berjualan dengan mengejar profit, kami fokuskan tahun 2014 sebagai
tahun konsolidasi. Kami melihat pelambatan ekonomi ini sebagai masa yang
tepat untuk menanam.” “Menanam apa?” tanya saya. “Menanam pemimpin,”
lanjutnya. “Kami menanam kebiasaan baru (new habits), tata nilai (values),
dan infrastruktur yang lebih modern.” Saya pikir pandangan itu ada
benarnya.
Bukankah penyebab kegagalan hampir semua
perusahaan besar dalam menghadapi krisis ekonomi (termasuk juga perlambatan
pertumbuhan) justru terletak pada kelengahannya dalam menanam ketiga hal
tadi? Bahkan mereka yang terpuruk hanyut dalam “kehebatan” semu yang
terlalu fokus pada hard stuff seperti sales, profit, target, results, dan
aneka rasio keuangan? Kita lalu lupa dengan soft stuff seperti values,
habit, alignment, spirit, dan leadership.
Mungkin kita telah terlalu banyak berharap
pada motivasi, tetapi lupa bahwa di balik itu semua ada manusia, perasaan,
luka batin, dan kebutuhan untuk saling dicintai, diperhatikan, dan dihormati
yang membentuk inisiatif dan pengendalian alamiah ketimbang segala
kehebatan yang rumit. Atau kita lupa bahwa manusia tak dapat berprestasi
kalau motivasi yang kuat tak diikuti dengan skill yang memadai. Apalagi
kita hidup dalam peradaban baru yang benar-benar menuntut caracara dan
keterampilan baru. Maka inilah saatnya bagi kita untuk menanam.
Ya menanam hal-hal yang saya sebut tadi untuk
memperkuat struktur DNA organisasi agar dia lebih sehat menjelajahi dunia
baru. Dan Anda tahu apa yang dilakukan para eksekutif yang menanam tadi?
Begini, mereka memperkuat leadership di setiap lini dengan kemampuan
coaching yang selama ini diabaikan. Maka bila di tahun-tahun lalu mereka
fokus pada laporan dan rapat yang berkaitan dengan target dan results,
kini mereka berbicara tentang apa yang telah
dilakukan terhadap peer-nya, bagaimana respons mereka, apa saja
progress-nya, pemahaman apa yang muncul, kebiasaan baru yang terbentuk.
Semua itu diikuti dengan langkah-langkah nyata yang terukur. Mungkin cara
ini juga bisa Anda lakukan untuk mengamankan masa depan seperti yang
dikatakan politisi: today is
uncertainty .... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar