Cukup menarik
menyimak berita pemecatan Wali Kota Bogota, Kolombia, Gustavo Petro karena
dianggap salah dalam mengelola sampah publik. Sampah yang awalnya menjadi
tanggung jawab swasta, dengan campur tangan wali kota, justru dialihkan ke
badan usaha milik pemda.
Dari hasil
investigasi, perusahaan yang disiapkan pemda ternyata tidak memenuhi
kualifikasi sehingga pelayanan sampah publik menjadi terganggu. Akibatnya
sampah menumpuk di beberapa sudut kota serta mengganggu kenyamanan
masyarakat.
Oleh Kantor Inspektur Jenderal, Gustavo Petro kemudian diminta
mundur sekaligus dilarang memegang jabatan publik selama 15 tahun. Dengan
usia saat ini mencapai 53 tahun, karier politik Gustavo Petro boleh dikata
sudah habis.
Dalam perjalanannya, Gustavo Petro masih menyatakan keberatan
serta mengajukan banding atas keputusan tersebut. Demo damai menentang
pemecatan kemudian muncul, terutama dari partai pendukung. Sebelum terjadi
kasus sampah ini, Gustavo Petro sesungguhnya memiliki kredibilitas positif
di mata masyarakat dengan kebijakan pelarangan peredaran senjata api secara
umum.
Pejabat dan Kinerja Publik
Di mata penulis, kasus di Bogota, Kolombia ini unik sekaligus
menginspirasi. Terlebih jika dibandingkan kondisi yang ada di Indonesia.
Secara tidak langsung, kasus ini juga mengingatkan penulis akan terjadinya
kebangkrutan di Kota Detroit, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu.
Menurunnya kualitas pelayanan publik juga menjadi salah satu pemantik,
selain adanya kesalahan pengelolaan utang publik.
Secara teori, kegagalan pemerintah dalam mengelola pelayanan
publik berpotensi mengantarkan perkembangan kota ke arah nekropolitan.
Nekropolitan didefinisikan sebagai penahapan pertumbuhan kota menjelang
arah kematian, yang ditandai dengan runtuhnya peradaban masyarakat dan
kota.
Kota secara perlahan akan mulai ditinggalkan sehingga struktur
sosial masyarakat menjadi kacau balau. Sistem ekonomi mandek, sistem
politik hancur, sistem hukum tidak dapat berjalan, dan semua interaksi
serta mobilitas penduduk mati.
Beberapa kota di dunia diprediksi sedang menuju arah
nekropolitan ini, termasuk Jakarta, jika pelayanan publiknya tidak dikelola
secara benar. Sayangnya, banyak kasus kegagalan pelayanan publik di
Indonesia justru terabaikan begitu saja.
Kasus longsornya gunung sampah di TPA Leuwigajah serta banyak
kasus lainnya mungkin hanya menjadi berita sesaat yang kemudian dilupakan.
Atau contoh paling sederhana, bagaimana masyarakat di Ibu Kota setiap hari
hanya mampu menahan kesal menghadapi kemacetan yang tak kunjung usai.
Di Indonesia, kegagalan pelayanan publik belum menjadi
indikator utama keberhasilan pemerintah. Penilaian keberhasilan
pemerintahan sebatas kemampuan menaikkan anggaran serta pengelolaan
indikator ekonomi lainnya.
Pemerintah juga mengakui adanya kelemahan ini seperti yang
dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Dalam PP tersebut, pelayanan
publik masih dianggap menjadi permasalahan birokrasi, bersama dengan
ketepatan organisasi, tumpang-tindihnya regulasi aparatur negara, kualitas
aparatur, kewenangan serta budaya kerja.
Dalam penjelasannya, kualitas pelayanan publik yang ada
dianggap belum mampu mangakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat
serta belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan
pelayanan publik juga diakui belum mampu memenuhi standar kualitas
pelayanan di negara maju di tengah kompetisi bisnis global yang semakin
ketat.
Untuk itulah pemerintah kemudian menyusun visi reformasi
birokrasi ”Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia” yang nantinya menjadi
acuan pelaksanaan.
Pemerintahan kelas dunia didefinisikan sebagai pemerintahan
yang profesional dan berintegritas tinggi, yang mampu menyelenggarakan
pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang
demokratis agar mampu menghadapi tantangan abad 21 melalui tata
pemerintahan yang baik pada 2025.
Penggunaan indikator kualitas pelayanan publik sebagai salah
satu kriteria keberhasilan tentu sangat mendukung upaya menciptakan
pemerintahan kelas dunia tersebut. Alangkah indahnya jika kelak para
pemimpin, baik di level nasional maupun daerah, berlomba-lomba memajukan
pelayanan publiknya, meskipun di tahap awal lebih didorong motivasi
mempertahankan jabatan.
Hal yang menjadi persoalan adalah siapa/lembaga apa yang
nantinya akan diserahi tanggung jawab penilaian kualitas pelayanan publik?
Seberapa independen lembaga tersebut dalam memberikan keputusan?
Bagaimana metodologi penilaian kualitas pelayanan publik serta
mekanisme reward and punishment seperti apa yang layak diberikan?
Pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya mudah dipecahkan, namun niscaya akan
menjadi persoalan serius di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar