Jumat, 20 Desember 2013

Pelajaran ‘Sampah’ dari Kolombia

Pelajaran ‘Sampah’ dari Kolombia
Joko Tri Haryanto  ;    Kasi Industri, PKPPIM, BKF, Kementerian Keuangan
SINAR HARAPAN,  19 Desember 2013

  

Cukup menarik menyimak berita pemecatan Wali Kota Bogota, Kolombia, Gustavo Petro karena dianggap salah dalam mengelola sampah publik. Sampah yang awalnya menjadi tanggung jawab swasta, dengan campur tangan wali kota, justru dialihkan ke badan usaha milik pemda.

Dari hasil investigasi, perusahaan yang disiapkan pemda ternyata tidak memenuhi kualifikasi sehingga pelayanan sampah publik menjadi terganggu. Akibatnya sampah menumpuk di beberapa sudut kota serta mengganggu kenyamanan masyarakat.

Oleh Kantor Inspektur Jenderal, Gustavo Petro kemudian diminta mundur sekaligus dilarang memegang jabatan publik selama 15 tahun. Dengan usia saat ini mencapai 53 tahun, karier politik Gustavo Petro boleh dikata sudah habis.

Dalam perjalanannya, Gustavo Petro masih menyatakan keberatan serta mengajukan banding atas keputusan tersebut. Demo damai menentang pemecatan kemudian muncul, terutama dari partai pendukung. Sebelum terjadi kasus sampah ini, Gustavo Petro sesungguhnya memiliki kredibilitas positif di mata masyarakat dengan kebijakan pelarangan peredaran senjata api secara umum.

Pejabat dan Kinerja Publik

Di mata penulis, kasus di Bogota, Kolombia ini unik sekaligus menginspirasi. Terlebih jika dibandingkan kondisi yang ada di Indonesia. Secara tidak langsung, kasus ini juga mengingatkan penulis akan terjadinya kebangkrutan di Kota Detroit, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu. Menurunnya kualitas pelayanan publik juga menjadi salah satu pemantik, selain adanya kesalahan pengelolaan utang publik.

Secara teori, kegagalan pemerintah dalam mengelola pelayanan publik berpotensi mengantarkan perkembangan kota ke arah nekropolitan. Nekropolitan didefinisikan sebagai penahapan pertumbuhan kota menjelang arah kematian, yang ditandai dengan runtuhnya peradaban masyarakat dan kota.

Kota secara perlahan akan mulai ditinggalkan sehingga struktur sosial masyarakat menjadi kacau balau. Sistem ekonomi mandek, sistem politik hancur, sistem hukum tidak dapat berjalan, dan semua interaksi serta mobilitas penduduk mati.

Beberapa kota di dunia diprediksi sedang menuju arah nekropolitan ini, termasuk Jakarta, jika pelayanan publiknya tidak dikelola secara benar. Sayangnya, banyak kasus kegagalan pelayanan publik di Indonesia justru terabaikan begitu saja.

Kasus longsornya gunung sampah di TPA Leuwigajah serta banyak kasus lainnya mungkin hanya menjadi berita sesaat yang kemudian dilupakan. Atau contoh paling sederhana, bagaimana masyarakat di Ibu Kota setiap hari hanya mampu menahan kesal menghadapi kemacetan yang tak kunjung usai.

Di Indonesia, kegagalan pelayanan publik belum menjadi indikator utama keberhasilan pemerintah. Penilaian keberhasilan pemerintahan sebatas kemampuan menaikkan anggaran serta pengelolaan indikator ekonomi lainnya.
Pemerintah juga mengakui adanya kelemahan ini seperti yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Dalam PP tersebut, pelayanan publik masih dianggap menjadi permasalahan birokrasi, bersama dengan ketepatan organisasi, tumpang-tindihnya regulasi aparatur negara, kualitas aparatur, kewenangan serta budaya kerja.

Dalam penjelasannya, kualitas pelayanan publik yang ada dianggap belum mampu mangakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan pelayanan publik juga diakui belum mampu memenuhi standar kualitas pelayanan di negara maju di tengah kompetisi bisnis global yang semakin ketat.

Untuk itulah pemerintah kemudian menyusun visi reformasi birokrasi ”Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia” yang nantinya menjadi acuan pelaksanaan.

Pemerintahan kelas dunia didefinisikan sebagai pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi, yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan abad 21 melalui tata pemerintahan yang baik pada 2025.

Penggunaan indikator kualitas pelayanan publik sebagai salah satu kriteria keberhasilan tentu sangat mendukung upaya menciptakan pemerintahan kelas dunia tersebut. Alangkah indahnya jika kelak para pemimpin, baik di level nasional maupun daerah, berlomba-lomba memajukan pelayanan publiknya, meskipun di tahap awal lebih didorong motivasi mempertahankan jabatan.

Hal yang menjadi persoalan adalah siapa/lembaga apa yang nantinya akan diserahi tanggung jawab penilaian kualitas pelayanan publik? Seberapa independen lembaga tersebut dalam memberikan keputusan?

Bagaimana metodologi penilaian kualitas pelayanan publik serta mekanisme reward and punishment seperti apa yang layak diberikan? Pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya mudah dipecahkan, namun niscaya akan menjadi persoalan serius di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar