Publik bangsa ini kembali
dikejutkan oleh perilaku menjijikkan seorang kepala Kejaksaan Negeri
(Kajari) Lombok Tengah (NTB) yang ditangkap tangan oleh penyidik KPK di
sebuah hotel di Pantai Senggigi (14/12/2013). Kajari yang tertangkap tangan
itu, Subri SH, sedang terlibat transaksi dengan seorang pengusaha (bernama
Lusita) terkait dengan kasus pemalsuan sertifikat tanah di daerah tempat
tugasnya itu.
Tertangkapnya Subri itu jelas akan kian memperkotor wajah jajaran kejaksaan
di negeri ini, di mana sebelumnya memang sudah ada sejumlah oknumnya yang
sudah menghuni hotel prodeo akibat perilaku korup dan atau jadi mafia
kasus. Ini sungguh sangat memprihatinkan. Soalnya, salah satu tugas utama
jajaran kejaksaan adalah memberantas korupsi dengan instrumen lengkap
sampai di daerah-daerah, yang sebenarnya diharapkan berkontribusi
signifikan untuk menciptakan pemerintahan.
Namun, kecenderungannya justru mereka sendiri yang menjadi pelakunya.
Fenomena faktual seperti ini sekaligus menambah berat tugas pihak KPK.
Soalnya, dengan keterbuktian perilaku korup sebagian aparat kejaksaan itu,
menjadikan KPK “harus “mematamatai, mengawasi dan mencurigai para pejabat
kejaksaan” (atau juga barangkali aparat penegak hukum lainnya seperti dari
kepolisian dan para hakim yang bertugas mengadili kasus korupsi).
Celakanya, kalau pihak kejaksaan “merasa dipermalukan oleh KPK”, suasana
ketegangan antar lembaga pun bukan mustahil terjadi—seperti yang pernah
terjadi pada kasus Susno Duadji dan Djoko Susilo dari jajaran kepolisian.
Fenomena “memproyekkan” kasus atau korupsi yang dilakukan oleh para (oknum)
aparat penegak hukum termasuk dari jajaran kejaksaan, sebenarnya memang
bukan rahasia lagi. Bahkan, belakangan ini sudah muncul kecurigaan bahwa
kasus korupsi di berbagai daerah yang merajalela, dengan sengaja didiamkan
oleh oknum aparat. Catat saja, misalnya, kasus korupsi dalam bangunan
dinasti di Banten yang diduga sudah berlangsung lama, namun nanti KPK turun
tangan baru tertangkap sebagian pelakunya, termasuk menetapkan gubernurnya,
Ratu Atut Chosiyah, sebagai tersangka (17/12/2013).
Padahal di seluruh daerah otonom di wilayah itu ada instansi kejaksaan dan
kepolisian, namun juga menjalankan tugas-tugas mereka secara efektif. Ini
artinya, kemungkinan pihak kejaksaan dan kepolisian masih terus membiarkan
praktik korupsi di Banten itu, kendati sudah lama diketahui atau tercium
baunya sebagai terindikasi korupsi. Pembiaran seperti itu bukan mustahil
merupakan watak dari penegak hukum yang terjadi di berbagai daerah lainnya
di Indonesia, dengan salah
satu dari motif: (1) pihak yang “terindikasi korupsi” selama ini dengan
mudah bisa menjinakkan aparat penegak hukum di daerah itu, dan atau (2)
para pejabat penegak hukum akan menjadikan “pihak terindikasi korupsi” itu
sebagai “ATM”, di mana setiap saat bisa diuangkan.
Pihak koruptor atau yang
bermasalah pun biasanya bersikap “kooperatif “ dengan para penegak hukum
seperti itu. Jika tidak, maka akan bisa tiba-tiba diproses secara hukum
lagi. Para pimpinan lembaga penegak hukum yang mendapat penugasan di daerah
dalam waktu yang tidak lama (seperti kajari, kajati, kapolda, kapolres, dan
atau ketua pengadilan), biasanya
menjadi figur-figur utama yang diupayakan untuk selalu didekati oleh para
pejabat korup dan pengusaha hitam. Dan biasanya, memang, terjadi pertemuan
atau persamaan kepentingan: sama-sama perlu akumulasi harta dan oleh karena
itu saling mengamankan atau “tahu sama tahu” (‘TST’).
Akibat perilaku pejabat
(aparat) penegak hukum seperti itulah, diakui atau tidak, penanganan
kasus-kasus korupsi utamanya di daerah jarang yang secara serius ditangani.
Kalaupun ditangani, maka (1) proses-prosesnya sangat lambat, yang diduga
dicoba “dikuras ATM”-nya terlebih dahulu, lalu setelah itu digiring ke meja
pengadilan tindak pidana korupsi.
Dan atau, (2) jika berhasil saling mengamankan hingga berakhirnya masa
tugas pejabat penegak hukum itu (alias dimutasi ke daerah lain atau ke
Jakarta), maka para pihak koruptor itu akan “selamat”, kasusnya akan
dipetieskan. Tetapi dalam kasus korupsi Ratu Atut dan sebagian keluarganya
di Banten, barangkali langsung “tercium” oleh pihak KPK, sehingga pihak
kejaksaan atau pun kepolisian merasa kecolongan atau tak mampu
mengamankannya lagi.
Setidaknya, KPK hari-hari ini telah menunjukkan kemandulan pihak kejaksaan
dan kepolisian dalam memberantas korupsi di daerah. Atau bahkan, pada
tingkat tertentu, KPK sedang mempermalukan kedua lembaga yang juga bertugas
memberantas korupsi yang masing-masing memiliki instrumen di seluruh daerah
itu—akibat dari watak “kooperatif dan kebagian”.
Pertanyaannya, apakah
fenomena adanya “pemroyekan” kasus korupsi di daerah itu tidak diketahui
oleh pimpinan pejabat penegak hukum di Jakarta?
Kalau ada yang menjawab “bohong jika tidak diketahui”, mungkin dianggap
sudah menuduh, dan barangkali pula akan segera dipersoalkan secara hukum.
Namun jika dikatakan “pimpinan mereka di Jakarta tidak tahu menahu”, yang
bersangkutan tidak perlu marah bila disebut “tidak pantas” jadi pemimpin
dari suatu lembaga penegakan hukum di negeri ini. Artikel ini tentu saja
tak ingin memastikan benar salahnya jawaban atas pertanyaan di atas,
melainkan lebih mencoba memberi analisis secara hipotetis, dengan harapan
kelak bisa diuji di lapangan.
Ada dua hipotesis utama terkait dengan rantai korupsi atau mafia kasus di
daerah itu. Hipotesis pertama, bahwa figur-figur pejabat penegak hukum yang
ditugaskan di daerah, untuk sebagiannya, barangkali sudah memiliki
keinginan awal untuk memanfaatkan waktu dalam mengakumulasi harta dari
kasuskasus korupsi atau pihak-pihak yang bermasalah dan memerlukan
penyelesaian hukum. Sehingga oleh karena itu, semakin banyak kasus korupsi
atau masalah yang terkait dengan kepentingan ekonomi dan bisnis di daerah,
maka akan semakin digandrungi juga oleh para pejabat penegak hukum.
Maka tidak heran, jika ada isu bahwa sejak awal proses penempatan di suatu
daerah “yang potensial untuk dijadikan ATM”, maka akan kian signifikan pula
dana awal yang akan disetorkan ke pihak pejabat atasan yang berkewenangan
menempatkannya. Hipotesis kedua, bahwa pihak atasan penegak hukum di
Jakarta yang cenderung “tutup mata” terhadap perilaku aparatnya di daerah,
patut juga dicurigai sebagai konsekuensi logis dari adanya “setoran yang
berjenjang dari bawah ke atas”.
Dengan kata lain, pihak pejabat penegak hukum yang ditempatkan di daerah
sebenarnya hanyalah merupakan bagian dari perpanjangan atasan untuk
menghimpun atau menghisap sumber daya dari bawah. Maka tidak heran jika (1)
para penegak hukum baik yang bertugas di daerah, apalagi jajaran pimpinan
di Jakarta, terus saja menikmati hidup mewah, di mana kasus Kajari Subri
itu hanya mengalami nasib nahas saja, dan (2) korupsi di daerah terus saja
menggurita, dengan para pejabatnya yang kaya raya melampaui batas-batas
kewajaran.
Semua ini, tentu merupakan bagian dari kegagalan pimpinan lembaga penegak
hukum di luar KPK, sekaligus merupakan bagian dari kealpaan Presiden SBY
yang tak tampil sebagai komandan pemberantasan korupsi— pengingkaran
terhadap janji sendiri. Sementara KPK sudah pasti tak mampu menangani
merajalelanya korupsi di berbagai daerah di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar