Dunia memperingati Kampanye 16 Hari Antikekerasan
terhadap Perempuan (HAKP) setiap 25 November-10 Desember. Peringatan ini
pertama kali digagas Women’s Global Leadership Institute pada 1991. Itu
disponsori Center for Women’s Global Leadership.
Kampanye 16 HAKP merupakan kampanye internasional untuk
mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan di dunia.
Peringatan berlangsung dari 25 November yang merupakan
Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10
Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Pemilihan rentang waktu tersebut untuk menghubungkan secara
simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Ini juga menekankan
bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menetapkan tema 16
HAKP 2010-2014, yaitu ”Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani”.
Komnas Perempuan melaporkan telah terjadi 4.336
kekerasan seksual terhadap perempuan selama 2012. Jenis kekerasan yang
paling banyak ditangani adalah pemerkosaan dan pencabulan (1620), percobaan
pemerkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan trafficking dengan tujuan seksual (403).
Ayu Utami (2013) mengungkapkan, kekerasan seksual tidak
hanya dimaknai sempit secara fisik berbasis peristiwa seks. Kekerasan
seksual dapat berupa jejak hubungan seksual yang secara emosional dan
psikilogis tidak beradab, tidak manusiawi, serta tidak terselesaikan secara
pantas dan seimbang.
Indonesia memiliki beberapa perundangan sebagai jaminan
perlindungan dari tindak kekerasan seksual.
Peraturan itu, antara lain Undang-undang (UU) No 7/1984
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Cedaw), UU No 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Antipenyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia, UU No 24/2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, UU Hukum Pidana (Pasal 285-289, 291, 294), UU Hukum
Perdata (Pasal 1365 dan 1367), serta UU No 1/1947. Ini khususnya Pasal 6
tentang Syarat-syarat perkawinan. Faktanya, hukum masih jarang berpihak
kepada korban. Korban justru semakin termarginalkan.
Strategis Tapi Tragis
Kasus kekerasan yang memakan korban kaum perempuan terus
bertebaran. Kondisi ini menuntut perhatian serius bagi pengambil kebijakan.
Ini untuk mengurusi perlindungan perempuan. Pemilu 2014 merupakan momentum
yang tepat untuk menakar komitmen calon legislatif (caleg) dan partai
politik (parpol) dalam merealisasikannya.
Angin segar didapatkan melalui pemenuhan sistem
afirmatif. Ini terkait keterwakilan caleg perempuan. Kesetaraan gender dan
semangat menjamin kepentingan perempuan dalam legislasi menjadi landasan
peraturan ini.
Pemilu 2014 kembali menegaskan kewajiban pencapaian
kuota 30 persen bagi caleg perempuan. UU No 8/2012 Pasal 58 dan 59 serta
Peraturan KPU Nomor 7/2013 Pasal 11 dan 24 menegaskan, parpol yang tidak
memenuhi kuota caleg perempuan di dapil tertentu hingga tenggat masa
perbaikan dinyatakan tidak memenuhi syarat atau gugur di dapil tersebut.
KPU hingga KPU kabupaten/kota layak diapresiasi karena tegas menerapkan
peraturan kuota caleg perempuan.
Pemenuhan keterwakilan perempuan bukan tanpa hambatan.
Permasalahan mendasar parpol, salah satunya adalah kaderisasi. Geliat
rekrutmen dan pembinaan kader hanya santer terdengar menjelang pemilu. Ini
khususnya untuk mengisi daftar caleg. Pembukaan pendaftaran caleg di satu
sisi menunjukkan iklim keterbukaan parpol. Di sisi lain, ini
mengindikasikan problem kaderisasi yang tidak teratasi.
Problematika kaderisasi menyebabkan parpol kesulitan dalam
menyiapkan daftar caleg. Sistem pemilu dengan suara terbanyak semakin
membuat sulit.
Itu karena kader yang merasa minim modal sosial dan
finansial menjadi minder. Jika caleg secara umum saja mengalami kesulitan,
apalagi caleg perempuan. Belum lagi dengan mencuatnya kasus korupsi anggota
DPR perempuan. Tidak dipungkiri ini membuat ketakutan tersendiri.
Ujung-ujungnya, sebagian besar parpol ditengarai sekadar
mendaftarkan caleg perempuan untuk formalitas. Hal ini dapat diamati dalam
komposisi nomor urut.
Jarang caleg perempuan ditempatkan pada nomor satu atau
dua. Meskipun nomor urut sudah tidak sepenuhnya berpengaruh, angka kecil
masih dipersepsikan publik sebagai caleg yang diproyeksikan jadi. Jika
akal-akalan ini terjadi, sungguh tragis nasib caleg perempuan yang
sebenarnya memiliki nilai strategis.
Strategi Pemenangan
Kebutuhan lapangan dengan kasus-kasus yang semakin
banyak menuntut signifikansi keseriusan memenangkan caleg perempuan.
Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia
(UI) 2012 melaporkan, pada Pemilu 2009, dari 69 persen suara pemilih untuk
caleg, 22,45 persen atau 26 juta suara diberikan untuk caleg perempuan.
Potret keterpilihan perempuan adalah 103 kursi di DPR, 321 kursi di DPRD
provinsi, serta 1.857 kursi di DPRD kabupaten/ kota.
Data tersebut sepatutnya menjadi refleksi parpol untuk
serius menyiapkan caleg perempuan. Caleg perempuan memiliki peran strategis
dan ikut andil memenangkan suatu parpol meraih kursi.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), 2012, melaporkan
49,13 persen penduduk Indonesia adalah perempuan. Artinya, perempuan adalah
pasar politik yang potensial. Pencalonan 30 persen caleg perempuan mestinya
dimaknai sebagai strategi mendulang banyak suara.
Berbagai pihak dapat mendukung pemenangan caleg
perempuan yang berkualitas. Parpol penting mengubah pola pikir terkait
perempuan, dari sekadar menempatkannya “jadi caleg” menjadi “caleg jadi”.
Pengubahan ini bukan tindakan emosional, melainkan membawa konsekuensi pada
penyiapan kualitas caleg perempuan untuk siap berkompetisi.
Caleg perempuan mesti optimistis, serius, dan tidak
minder dalam persaingan. Sistem suara terbanyak memberi peluang sama rata.
Nomor urut tidak berpengaruh. Caleg perempuan bahkan memiliki energi ekstra
karena didukung suami atau keluarganya.
Keterwakilan 30 persen diprediksi belum mampu memuluskan
caleg perempuan duduk di kursi dewan. Apa pun hasilnya legislasi di
parlemen mendatang, itu mesti dikawal agar tidak mendiskriminasikan
perempuan. Suara perempuan dan kelompok yang memperjuangkannya masih dibutuhkan
agar tetap lantang lima tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar