Sabtu, 21 Desember 2013

Menuju Banten Spring?

Menuju Banten Spring?

Bawono Kumoro  ;    Peneliti Politik The Habibie Center
KORAN SINDO,  21 Desember 2013



Perempuan Indonesia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa” (Kongres Perempuan Indonesia ke-2 tahun 1935). Penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-3 tahun 1938. Secara resmi, melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959, Presiden RI Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu yang dirayakan secara nasional, namun bukan hari libur. 

Memperingati Hari Ibu setiap 22 Desember, bukanlah memperingati Hari Ibu dalam arti sempit, yaitu hanya pengertian ibu dalam keluarga (domestik), namun dalam arti luas yaitu ibu sebagai ibu bangsa. Yang dimaksud dengan ibu bangsa adalah perempuan Indonesia yang mempersiapkan anak-anak bangsa (termasuk anak yang dilahirkannya) menjadi generasi penerus bangsa yang sadar akan kewajiban kebangsaan sehingga mampu bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negara. 

Sejarah mencatat, langkah-langkah perjuangan perempuan Indonesia berlatar belakang macam-macam suku, agama, dan status sosial-ekonomi dari seluruh Indonesia. Pada awalnya, mereka berjuang secara sendiri-sendiri. Semangat nasionalisme dalam Sumpah Pemuda yang lahir pada Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928, menggugah perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam memperjuangkan kepentingan kaum perempuan yang paralel dengan kepentingan bangsa dan negara. 

Kongres Perempoean Indonesia I (22–25 Desember 1928) 

Semangat nasionalisme dalam Sumpah Pemuda yang lahir pada Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 dan menggugah perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia untuk menggalang persatuan yang berdasarkan semangat nasionalisme melalui Kongres Perempoean. Kongres tersebut dimaksudkan untuk mengadakan perikatan perkumpulan perempuan agar dapat bersamasama membicarakan soal hak, kewajiban, kebutuhan, dan kemajuan perempuan. 

Memiliki status legal, legalitas kongres diakui pemerintah kolonial, dan kongres mengajukan tuntutan pada pemerintah kolonial dalam bentuk rekomendasi. Bagi pergerakan perempuan saat itu, cara yang ditempuh tersebut memudahkan penyebarluasan gagasan/ide kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama kepada pihak kolonial. Dengan demikian, kaum perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak merasa takut untuk bergabung atau ikut serta karena dianggap tidak radikal. 

Perempuan Indonesia berlatar belakang macam-macam suku, agama, dan status sosial ekonomi dari seluruh Indonesia datang menghadiri kongres yang diselenggarakan di Mataram (Yogyakarta, sekarang). Topik yang diangkat saat itu diantaranya adalah(1) kedudukan perempuan dalam perkawinan; (2) perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; (3) poligami; dan (4) pendidikan untuk anak perempuan. Berbagai topik tersebut kemudian memunculkan debat dan perbedaan pendapat dari perkum-pulan perempuan yang berlatar belakang agama. Namun de-mi-kian, adanya berbagai perbedaan tidak menghalangi terjadinya kesepakatan bersama akan perlunya kemajuan perempuan Indonesia. 

Kongres Perempuan Indonesia II, Jakarta 20- 21 Juli 1935 

Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti oleh tidak kurang dari 15 perkumpulan, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa, dan lainsebagainya. Kongresdiketuai Ny. Sri Mangunsarkoro. 

Kongres Perempuan Indonesia III, Bandung, 23-27 Juli 1938 

Isu yang dibahas dalam kongres antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenaihakdipilih. Saat itu pemerintah kolonial telah memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya adalah Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito, dan Ny. Sitti Soendari yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di berbagai daerah. Namun karena perempuan belum mempunyai hak pilih, perempuan menuntut supaya mereka pun diberikan hak pilih. 

Kongres Perempuan Indonesia IV, Semarang 25-28 Juli 1941 

Kongres ini diikuti oleh berbagai perkumpulan perempuan yang mengikuti kongres perempuan sebelumnya. Kongres menghasilkan di antaranya, d ibentuk empat Badan Pekerja, yakni Badan Pekerja pemberantasan buta huruf, Badan Pekerja penyelidik masalah tenaga kerja perempuan, Badan Pekerja masalah perkawinan hukum Islam, BadanPekerjamemperbaikiekonomi perempuan Indonesia. 

Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) 

Pada 1945, Ny. Suwarni Pringgodigdo dan Ny. Soejatin Kartowijono serta didukung oleh Ny. Sri Mangunsarkoro berinisiatif mengadakan konferensi di Solo pada 24-26 Februari 1946. Inilah tonggak penting dalam sejarah perkumpulan wanita Indonesia. Dalam konferensi tersebut disepakati sejumlah keputusan, antara lain, mendirikan badan gabungan yang diberi nama badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Organisasi ini berkedudukan di Solo dengan ketuanya Ny. Supardjo. 

Kewajiban Kowani adalah menyelenggarakan pertemuan-pertemuan antara pengurus-pengurus besar organisasi yang tergabung dalam Kowani danbadan-badan yang dibentuk Kowani; serta mewakili pergerakan perempuan Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri.Selain itu, pada saat itu (1946) Kowani menetapkan mosi menuntut kemerdekaan Indonesia 100% dan berdiri di belakang pemerintah namun tidak meninggalkan budaya kontrol dan kritik yang bersifat membangun. 

Singkatnya, catatan sejarah membuktikan adanya semangat kebangsaan, jiwa nasionalis dan aksi perjuangan tanpa pamrih wanita Indonesia sebagai ibu bangsa dalam turut aktif mencerdaskan bangsa serta ikut berjuang merebut, mengisi, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar