Selasa, 24 Desember 2013

I b u

I b u
Setyaningsih  ;   Bergiat di Pengajian Selasa Siang
TEMPO.CO,  24 Desember 2013
Bandingkan dengan tulisan yang sama di TEMPO 23 Desember 2013

   

Di abad ke-21 ini, sebuah kabar datang memantik keterkejutan. Seorang perempuan berpengaruh di dunia memutuskan untuk tidak mempunyai anak, yang juga berarti keputusan untuk tidak menikah. Perempuan itu adalah Oprah Winfrey. Bagi dunia Barat, keputusan ini terdengar wajar, tapi seorang Oprah bukan hanya milik Barat. Oprah ditonton oleh orang-orang di seluruh dunia. Ini tentu akan mempengaruhi perasaan para penontonnya. Keterlibatan Oprah dalam Leadership Academy for Girls mungkin masih bisa dikatakan keterlibatan Oprah sebagai pendamping para anak perempuan. Namun hal itu belum bisa membuatnya menjadi seorang ibu.

Dalam ajaran agama mana pun, ibu selalu memiliki kedudukan yang sakral. Menjadi ibu itu tugas mulia dan setiap perempuan dipilih Tuhan untuk mengembannya. Perempuan penyampai rahmat Tuhan untuk membentuk anak-anak yang melengkapi kebermaknaan semesta. Dengan penuh kasih, seorang ibu membesarkan anak-anaknya. Perempuan tanpa memiliki anak dan menjadi seorang ibu, belum menjadi perempuan.

Namun, semakin zaman bergerak, menjadi ibu mengukir pertanyaan besar. Menjadi ibu sulit mengalir begitu saja layaknya perjalanan. Perempuan kesulitan menempuhnya. Alasan-alasan muncul bersamaan keputusan menjadi atau tidak menjadi. Kemunculan kota, masalah kependudukan, kemiskinan, industrialisasi, kemajuan pendidikan atau masa depan karier hadir bersama para perempuan. Kekhawatiran itu ada dan kerap membuat perempuan menunda menikah dan menjadi ibu.

Sulit disangkal bahwa pendidikan membawa pengaruh besar pada keputusan perempuan menempuh kehidupan rumah tangga. Pendidikan memberi ruang bagi perempuan untuk merintis karier dan masa depan. Ibaratnya, hidup sendiri saja mampu dan cukup, jadi tidak perlu menikah. Atau wacana yang merebak di perkotaan bahwa menikah menjadi penghabisan diri mengurusi anak dan rumah. Perempuan berada di bawah dominasi laki-laki. Perempuan tidak memiliki waktu mengurusi diri sendiri, ditambah pekerjaan menjadi ibu itu tidak digaji. Kekhawatiran pun bercabang: ketakutan menelantarkan anak dan ketakutan direpotkan anak.

Dalam buku Keluarga Jawa (1983), Hildred Geertz membaca bahwa perkawinan menjadi peristiwa sakral di masyarakat Jawa. Hubungan persaudaraan meluas dan menandai pertalian baru antar-keluarga. Perkawinan anak perempuan dalam keluarga sangat dipersiapkan. Mereka dijaga dari hal-hal buruk agar kelak mendapat pasangan yang bertanggung jawab dan bisa menjadi istri yang baik. Sering kali pasangan yang baru menikah masih tetap tinggal bersama orang tua agar yang perempuan bisa tetap belajar dari ibunya dalam mengurusi rumah tangga.

Kelahiran anak menjadi momentum yang ditunggu. Anak meramaikan kehidupan keluarga. Suami-istri yang tidak juga memiliki anak akan mencari jalan karena memiliki anak menjadi simbol keberkahan dan rezeki. Suami-istri yang diberi anak berarti dipercayai Tuhan untuk merawat. Kehadiran anak semakin memartabatkan diri sebagai perempuan dan ibu.

Kita menghaturkan syukur, sekalipun ibu kita bukan lulusan sekolah tinggi, justru itu yang membentuk ingatan akan ibu. Peristiwa-peristiwa hadir bersama ibu. Ibu menyokong peradaban. Anak-anak dan peradaban tidak lahir tanpa perempuan dan tanpa ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar