Iran Baru
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Desember 2013
JUDUL di atas mungkin tidak
tepat menggambarkan Iran saat ini. Negara itu masih terisolasi secara
internasional dan terpuruk secara ekonomi hingga Iran yang kaya sumber energi
dan kekayaan alam itu kini menjadi salah satu negara Timur Tengah termiskin
setelah puluhan tahun terkena embargo ekonomi AS dan sekutu AS lainnya.
Di zaman Syah Reza
Pahlevi menjelang revolusi Iran pada 1979, pendapatan per kapita (GNP) negara
ini mencapai US$2.400. Pada 5 tahun lalu, GNP turun menjadi sekitar US$1.800.
GNP Iran saat ini pasti semakin mengecil setelah AS dan Eropa menjatuhkan
sanksi ekonomi total dan sanksi perbankan lainnya.
Semua ini bersumber
dari sikap keras Iran untuk tetap melanjutkan program nuklirnya, dengan
pengayaan uranium mencapai 20%, yang menimbulkan kecurigaan Barat bahwa Iran
sedang berusaha membuat bom nuklir, walaupun hal ini berulang kali dibantah
Teheran yang menyatakan program nuklirnya bertujuan damai.
Tak mengherankan
ketika perundingan hari terakhir antara Iran dan 5 negara anggota tetap DK
PBB--AS, Rusia, China, Prancis, dan Inggris plus Jerman, yang dikenal sebagai
P5+1-–pada 24 November lalu di Jenewa, Swiss, banyak orang Iran tak tidur
semalaman menunggu hasil perundingan itu. Lalu, ketika kesepakatan sementara
dicapai, sambutan meriah marak di Iran. Hasil perundingan itu berupa
pencabutan sebagian sanksi ekonomi atas Iran dan membolehkan Iran melakukan
pengayaan uranium, walaupun tidak lebih dari 5%, yang cukup untuk
membangkitkan listrik tenaga nuklir yang selama ini diklaim Iran sebagai
tujuan utama program nuklirnya walaupun anggota utama OPEC ini sangat kaya
minyak dan gas alam.
Masyarakat Iran menganggap
hasil perundingan itu merupakan kemenangan Iran walaupun sebagai imbalan,
antara lain, Iran harus menetralkan stok uranium yang terkayakan hingga
tinggal 20% dan mengizinkan anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA)
melakukan inspeksi harian ke seluruh situs nuklir Iran, termasuk yang di
Fordo (di pinggiran kota suci Qum), yang dibangun di bawah ta nah; dan di
Arak, dekat Teheran, yang menggunakan air berat untuk menghasilkan plutonium,
yang bisa dibuat bom nuklir juga.
Sebenarnya,
tercapainya kesepakatan itu bukan karena kehebatan perunding Iran, khususnya
Menlu Iran Muhammad Javad Zarif, tapi karena pelunakan sikap Presiden AS
Barack Obama terhadap Iran. Hasil perundingan sementara itu sudah dicapai
oleh perunding AS dan Iran ketika berunding secara rahasia di Oman selama
beberapa bulan terakhir.
Sikap lunak AS ini
karena AS membutuhkan Iran dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah di
Timur Tengah maupun Asia Tengah. Memang Iran memiliki pengaruh kuat di Irak,
Suriah, Libanon, Palestina, Yaman, Bahrain, Sudan, dan Afghanistan.
Semua negara ini yang
memiliki komunitas Syiah kecuali Sudan dan Palestina, sedang bergolak, yang
membuka akses bagi Tanzim alQaedah untuk memasukinya. Bila Iran diberi peran
untuk bersama-sama AS dan negara Arab lain menyelesaikan persoalan-persoalan
di negara-negara yang disebutkan di atas, tentu hasil positifnya lebih bisa diharapkan.
Kini para diplomat
Iran dan P5+1 sedang melakukan perundingan lanjutan untuk mencapai
kesepakatan yang lebih luas dalam enam bulan mendatang. Bila hal ini
tercapai, yang berujung pada pemulihan hubungan Iran dengan AS dan Eropa
secara keseluruhan, akan membawa Iran pada situasi baru.
Ekonomi negara ini
akan bangkit. Perannya di Timur Tengah dan Asia Tengah pun semakin diakui
sehingga Iran akan menjadi salah satu pemain kunci di dua kawasan itu. Dan,
dalam waktu yang tak terlalu lama, Iran akan menjadi salah satu kekuatan
ekonomi di dunia karena besarnya potensi ekonomi di negara itu.
Indonesia harus
mengantisipasi kebangkitan Iran ini. Sekarang hubungan ekonomi kedua negara
baru mencapai US$1 miliar, jauh dari potensi ekonomi kedua negara ini. Sebenarnya
sudah banyak perjanjian kesepahaman atau MoU yang ditandatangani Iran dan
Indonesia untuk meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara.
Tapi, banyak
kesepakatan yang tak bisa direalisasi karena Iran terkena sanksi ekonomi dan
buruknya hubungannya dengan AS membuat keinginan meningkatkan hubungan
ekonomi kedua negara secara signifikan tak dapat diwujudkan. Kembalinya Iran
ke pergaulan internasional akan membuka akses pada Indonesia untuk
meningkatkan hubungan dagang yang lebih besar dengan negara-negara Asia
Tengah yang tak berpantai ini.
Sejak beberapa tahun
lalu, Iran membuka kembali jalur sutera, yang menghubungkan pelabuhan laut
Khomeini ke negara-negara Asia Tengah. Indonesia bisa memanfaatkan jalur ini
untuk mengirim barang ke pelabuhan Khomeini, yang kemudian akan diangkut
kereta api Iran ke negara-negara Asia Tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar