Selasa, 24 Desember 2013

Hikmah Natal Sepur Brantas

Hikmah Natal Sepur Brantas
J Sumardianta  ;   Guru SMA Kolese de Britto
TEMPO.CO,  24 Desember 2013

  

Sehari menjelang Natal, tiga tahun lalu, saya mudik dari Ponorogo menuju Yogyakarta menumpang kereta api Brantas rute Blitar-Jakarta. Di stasiun-stasiun kecil sepanjang Madiun, Barat, Paron, Miri, Kedung Galar, dan Sragen, kereta rombeng yang sudah tumpat pedat ini masih terus dijejali penumpang.

Semua berebut sejengkal tempat tersisa. Orang-orang jompo dan ibu-ibu yang membawa  anak balita harus beradu kuat dengan kaum lelaki dan pedagang asongan. Namanya juga stasiun gurem. Tak ada tangga untuk membantu penumpang naik-turun kereta. Semua harus berjuang keras berebut pintu sambil menenteng kardus, karung beras, keranjang, koper tua, dan tas lusuh.

Kondisi dalam kereta amat gerah. Udara lembap dipenuhi aroma keringat dan asap rokok. Lampu dan kipas angin hanya dinyalakan saat kereta berhenti. Penumpang meluber di lorong-lorong dan celah-celah sambungan gerbong. Toilet bahkan dikaveling manusia beralas koran bekas. Ironis memang. Di ruangan yang jamaknya tempat orang membuang limbah perut ini banyak pengasong menawarkan minuman, camilan, buah, dan nasi bungkus. 

Seorang kakek tampak kalut hendak buang hajat. Dia sudah hilir-mudik dari gerbong belakang ke gerbong paling depan mencari tempat peturasan. Tidak tahu bagaimana akhirnya kakek itu membereskannya.

Pedagang asongan paling bergairah. Minuman, buah, nasi bungkus, pecel, kipas, rokok, tisu, suvenir, dan minyak angin laris manis. Situasi makin terasa absurd. Saya sempat ditawari tempat duduk oleh petugas kereta. Di dekat tempat saya berdiri, ada seorang bapak berjongkok. Memakai sandal jepit dan batik pudar terus mengepulkan asap rokok kretek murahan. Ia tampak berusaha berdamai dengan segala ketidaknyamanan. 

Kawan seperjalanan saya tiba-tiba malu dengan semua simbol status sosial yang melekat dalam tubuhnya. Sepatu buatan Jerman. Celana panjang, baju, dan jaket buatan Amerika. Ikat pinggang mewah membelit perutnya yang membuncit. Semua mengalami peluruhan makna.

Peranti bermerek itu dikoleksi dengan maksud agar ia bisa tampil eksklusif. Barang-barang itu diproduksi dalam jumlah sangat terbatas. Kecil kemungkinan kawan saya bertemu dengan orang yang menggunakan barang sebagaimana yang dipakainya. Di kereta Brantas, pernak-pernik itu justru membuat kawan saya seperti warga pulau terasing yang mengapung di samudra keanehan. Kereta api ini bukan tempat untuk tampil prima dalam memelihara citra, melainkan tempat manusia merebut sekeping kemerdekaan dasariah di tengah panorama kemiskinan dan segala keterbatasan. 

Saya terpaksa naik kereta Brantas gara-gara tak kuasa menolak ajakan kerabat makan siang di warung sate ayam Ponorogo H Tukri Sobikun, sate kondang langganan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pulang kampung ke Pacitan. Saya gagal menumpang KRD Madiun-Solo. Tapi saya tidak menyesal.  

Di  kereta Brantas, saya membeli kacang rebus yang dibungkus kertas bekas. Saya memperoleh kejutan hikmah Natal. Di kertas bekas majalah kampus itu terdapat kutipan Bunda Teresa, spiritualis India, "Setiap orang pasti pernah mengalami perasaan sepi dan diabaikan. Cinta ditolak. Kasih tidak dipedulikan. Bagai memasuki lorong gulita panjang menyakitkan. Cinta sejati baru ada bila orang berani terluka. Karakter terbentuk justru bila orang berani terbanting."  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar