Sabtu, 21 Desember 2013

Gosip Politik Ibu Negara

Gosip Politik Ibu Negara
Ribut Lupiyanto  ;    Peneliti di UII-Yogyakarta; Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public Capacity Acceleration)
SINAR HARAPAN,  20 Desember 2013
  


Gonjang-gajing seputar penyadapan Australia terhadap Indonesia ternyata terus menggelinding. Penyadapan terbukti semakin menembus ruang privasi Istana Negara. Bisik-bisik ibu negara ditengarai menjadi sasaran empuk penyadapan.

Media Australia bernama The Australian memberitakan Ibu Negara Ani Yudhoyono pada Sabtu (14/12), membeberkan alasan Ibu Ani menjadi target penyadapan intelijen Australia berdasar bocoran WikiLeaks. Ibu Ani disebutkan sebagai penasihat yang amat berpengaruh bagi Presiden SBY.

Sehari kemudian (15/12) The Australian meneruskan berita tentang kabel diplomatik berstempel “rahasia” yang dikirimkan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, kepada diplomat AS di Canberra dan CIA. Kabel ini membicarakan dinamika baru peta politik Indonesia.

Para intelijen ini meyakini Ibu Ani telah memanfaatkan akses kepada presiden untuk membantu teman-temannya dan menjatuhkan lawannya, termasuk tidak mengajak lagi Jusuf Kalla sebagai calon Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden 2009. Informasi inilah yang membuat Defence Signals Bureau (Direktorat Pertahanan) dan mata-mata lain di Canberra tertarik ingin mengetahui lebih jauh dinamika baru Istana.

Sudut Pandang

Gosip seputar ibu negara tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal serupa juga terkabarkan dari kiblat demokrasi dunia, Amerika Serikat. The First Lady, Hillary Clinton diisukan telah menyelamatkan suami dari impeachment karena skandal seks yang menghebohkan.

Sosiologi menyuguhkan kajian khususnya terhadap masyarakat Jawa tradisional mengenai peran perempuan sebagai “kanca wingking” atau orang rumah. Perempuan dahulu hanya berfungsi dalam urusan domestik urusan rumah tangga.

Perempuan secara sederhana disimbolkan lekat dengan tiga tempat, yaitu dapur, sumur, kasur. Fungsi sosial terbatasi pada sumur yang masih berada dalam lingkaran rumahnya. Konsep tersebut pelan tapi pasti bergeser seiring penguatan peran dan pendidikan perempuan serta kesetaraan gender.

Teropong psikologi sebenarnya memandang biasa fenomena dominasi perempuan atas laki-laki dalam rumah tangga. Biasa dalam arti fenomena ini sudah banyak menggejala. Guyonan umum bahkan mengenal istilah ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Umumnya kondisi ini terjadi lantaran sang istri memiliki daya tawar lebih atau karakter psikologis posesif.

Lepas dari benar atau tidak, bocoran WikiLeaks tentang Ibu Ani adalah logis. Ibu Ani memiliki daya tawar kuat sebagai seorang anak Jenderal ternama. Ibu Ani juga tercatat lulusan jurusan Ilmu Politik. Sebuah kewajaran apabila muncul isu dominasi Ibu Ani dalam manajemen Istana terkait politik bangsa.

Polemik muncul ketika ditinjau dari disiplin politik maupun tata negara. Peran Ibu Negara secara formal memang tidak ada menyangkut tata kendali negara. Sayangnya fenomena informal ini juga masih belum dibahas mendalam secara konseptual. Konsep formal hanya mengenal sistem presidensial yang menempatkan presiden sebagai pengendali pemerintahan dan memiliki beberapa hak prerogatif.

Dari mana pun inspirasi atau sumber pengambilan kebijakan sepanjang tidak bertentangan dengan konstritusi dan perundang-undangan adalah sah-sah saja. Salah satunya jika inspirasi itu bersumber dari sang istri.

Permasalahan muncul dan bisa dipermasalahkan jika dominasi ibu negara tidak terbatas di kasur tetapi masuk ke ranah formal di ruang-ruang sidang resmi. Apalagi jika sampai aktif mengendalikan BUMN atau lembaga negara untuk kepentingan pribadi. Bukti-bukti yang menguatkan fakta hukum dibutuhkan untuk mempermasalahkannya bukan isu belaka. Lantas bagaimana menyangkut etika?

Aristoteles (384-322 SM) mengungkapkan etika erat kaitannya dengan politik. Manusia bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama berpartisipasi dalam pemajuan negara kota (polis). Jika partisipasi dominan ibu negara di Istana untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya, mendasarkan pada Aristoteles hal tersebut tidak etis.

Sikap Politik

Menanggapi isu ini sebaiknya pihak istana bersikap proporsional. Kabinet atau juru bicara presiden jelas hanya bisa klarifikasi dalam ranah formal. Dinamika dalam bilik dan kasur tentu tidak bisa menjangkaunya. Untuk itu kurang tepat jika tergesa-gesa menyakatan secara keras, berita tersebut seratus persen tidak benar.

Presiden SBY yang mesti melakukan klarifikasi resmi. Hal ini penting untuk meyakinkan publik. Jika SBY tidak segera turun tangan, jangan salahkan jika gosip ini akan terus bergulir hingga berbuah cacatan merah pada Istana.

Pelajaran atas isu ini adalah pentingnya mengatur lebih rinci tugas dan peran ibu negara termasuk istri menteri. Bagaimanapun setiap orang besar pasti ada peran istri yang tidak terkira jasanya. Ibu negara selain keniscayaan juga menjadi kebutuhan untuk memberikan dukungan kepada presiden.

Isu ini juga membuka mata bahwa episentrum peta politik istana atau rumah tangga tidak bisa dipastikan hanya berada di ruang kerja, tetapi sangat mungkin berada di kamar Istana. Hal ini menaikkan posisi tawar istri atau perempuan dalam peran politiknya. Perempuan sebagai subjek politik tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Perempuan sebagai objek politik juga potensial karena pengaruhnya bagi anak dan suami.

Sensasi isu Ibu Ani dapat menjadi pelecut bagi kaum hawa untuk menguatkan peran politiknya. Peran tersebut tentu mesti dijalankan secara etis dan prosedural. Perempuan saatnya menguatkan posisinya sebagai patner laki-laki atau suami membentuk peta politik rumah tangga. Realisasi hal ini akan mengikis fenomena dominasi istri sebagai aib rumah tangga.

Akhirnya, jika SBY tetap lembut kepada Australia jangan salahkan publik berprasangka buruk terkait peta politik Istana yang dikuasai Ibu Ani.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar