Gonjang-gajing seputar penyadapan Australia terhadap
Indonesia ternyata terus menggelinding. Penyadapan terbukti semakin
menembus ruang privasi Istana Negara. Bisik-bisik ibu negara ditengarai
menjadi sasaran empuk penyadapan.
Media Australia bernama The Australian memberitakan Ibu Negara Ani Yudhoyono pada
Sabtu (14/12), membeberkan alasan Ibu Ani menjadi target penyadapan
intelijen Australia berdasar bocoran WikiLeaks.
Ibu Ani disebutkan sebagai penasihat yang amat berpengaruh bagi Presiden
SBY.
Sehari kemudian (15/12) The Australian meneruskan berita tentang kabel diplomatik
berstempel “rahasia” yang dikirimkan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat
(AS) di Jakarta, kepada diplomat AS di Canberra dan CIA. Kabel ini
membicarakan dinamika baru peta politik Indonesia.
Para intelijen ini meyakini Ibu Ani telah memanfaatkan
akses kepada presiden untuk membantu teman-temannya dan menjatuhkan
lawannya, termasuk tidak mengajak lagi Jusuf Kalla sebagai calon Wakil
Presiden dalam Pemilihan Presiden 2009. Informasi inilah yang membuat
Defence Signals Bureau (Direktorat Pertahanan) dan mata-mata lain di
Canberra tertarik ingin mengetahui lebih jauh dinamika baru Istana.
Sudut Pandang
Gosip seputar ibu negara tidak hanya terjadi di
Indonesia. Hal serupa juga terkabarkan dari kiblat demokrasi dunia,
Amerika Serikat. The First Lady,
Hillary Clinton diisukan telah menyelamatkan suami dari impeachment karena skandal seks
yang menghebohkan.
Sosiologi menyuguhkan kajian khususnya terhadap
masyarakat Jawa tradisional mengenai peran perempuan sebagai “kanca
wingking” atau orang rumah. Perempuan dahulu hanya berfungsi dalam urusan
domestik urusan rumah tangga.
Perempuan secara sederhana disimbolkan lekat dengan
tiga tempat, yaitu dapur, sumur, kasur. Fungsi sosial terbatasi pada
sumur yang masih berada dalam lingkaran rumahnya. Konsep tersebut pelan
tapi pasti bergeser seiring penguatan peran dan pendidikan perempuan
serta kesetaraan gender.
Teropong psikologi sebenarnya memandang biasa fenomena
dominasi perempuan atas laki-laki dalam rumah tangga. Biasa dalam arti
fenomena ini sudah banyak menggejala. Guyonan umum bahkan mengenal
istilah ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Umumnya kondisi ini terjadi
lantaran sang istri memiliki daya tawar lebih atau karakter psikologis
posesif.
Lepas dari benar atau tidak, bocoran WikiLeaks tentang Ibu Ani adalah
logis. Ibu Ani memiliki daya tawar kuat sebagai seorang anak Jenderal
ternama. Ibu Ani juga tercatat lulusan jurusan Ilmu Politik. Sebuah
kewajaran apabila muncul isu dominasi Ibu Ani dalam manajemen Istana
terkait politik bangsa.
Polemik muncul ketika ditinjau dari disiplin politik
maupun tata negara. Peran Ibu Negara secara formal memang tidak ada
menyangkut tata kendali negara. Sayangnya fenomena informal ini juga
masih belum dibahas mendalam secara konseptual. Konsep formal hanya
mengenal sistem presidensial yang menempatkan presiden sebagai pengendali
pemerintahan dan memiliki beberapa hak prerogatif.
Dari mana pun inspirasi atau sumber pengambilan
kebijakan sepanjang tidak bertentangan dengan konstritusi dan
perundang-undangan adalah sah-sah saja. Salah satunya jika inspirasi itu
bersumber dari sang istri.
Permasalahan muncul dan bisa dipermasalahkan jika
dominasi ibu negara tidak terbatas di kasur tetapi masuk ke ranah formal
di ruang-ruang sidang resmi. Apalagi jika sampai aktif mengendalikan BUMN
atau lembaga negara untuk kepentingan pribadi. Bukti-bukti yang
menguatkan fakta hukum dibutuhkan untuk mempermasalahkannya bukan isu
belaka. Lantas bagaimana menyangkut etika?
Aristoteles (384-322 SM) mengungkapkan etika erat
kaitannya dengan politik. Manusia bertindak etis melalui segala tindakan
dalam rangka kesosialannya, terutama berpartisipasi dalam pemajuan negara
kota (polis). Jika partisipasi dominan ibu negara di Istana untuk
kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya, mendasarkan pada
Aristoteles hal tersebut tidak etis.
Sikap Politik
Menanggapi isu ini sebaiknya pihak istana bersikap
proporsional. Kabinet atau juru bicara presiden jelas hanya bisa
klarifikasi dalam ranah formal. Dinamika dalam bilik dan kasur tentu
tidak bisa menjangkaunya. Untuk itu kurang tepat jika tergesa-gesa
menyakatan secara keras, berita tersebut seratus persen tidak benar.
Presiden SBY yang mesti melakukan klarifikasi resmi.
Hal ini penting untuk meyakinkan publik. Jika SBY tidak segera turun
tangan, jangan salahkan jika gosip ini akan terus bergulir hingga berbuah
cacatan merah pada Istana.
Pelajaran atas isu ini adalah pentingnya mengatur
lebih rinci tugas dan peran ibu negara termasuk istri menteri.
Bagaimanapun setiap orang besar pasti ada peran istri yang tidak terkira
jasanya. Ibu negara selain keniscayaan juga menjadi kebutuhan untuk memberikan
dukungan kepada presiden.
Isu ini juga membuka mata bahwa episentrum peta
politik istana atau rumah tangga tidak bisa dipastikan hanya berada di
ruang kerja, tetapi sangat mungkin berada di kamar Istana. Hal ini
menaikkan posisi tawar istri atau perempuan dalam peran politiknya.
Perempuan sebagai subjek politik tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Perempuan sebagai objek politik juga potensial karena pengaruhnya bagi
anak dan suami.
Sensasi isu Ibu Ani dapat menjadi pelecut bagi kaum
hawa untuk menguatkan peran politiknya. Peran tersebut tentu mesti
dijalankan secara etis dan prosedural. Perempuan saatnya menguatkan
posisinya sebagai patner laki-laki atau suami membentuk peta politik
rumah tangga. Realisasi hal ini akan mengikis fenomena dominasi istri
sebagai aib rumah tangga.
Akhirnya, jika SBY tetap lembut kepada Australia
jangan salahkan publik berprasangka buruk terkait peta politik Istana
yang dikuasai Ibu Ani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar