Sabtu, 21 Desember 2013

Outlook Politik 2014 : Riak-Riak Suksesi

Outlook Politik 2014 : Riak-Riak Suksesi
Indra J Piliang  ;    Direktur Eksekutif Gerilya Institute
KORAN JAKARTA,  20 Desember 2013



Mesin partai juga bermakna simbolis saja, terutama kepada pemilih tradisional yang sulit berpindah partai. Tetapi dampak secara keseluruhan  belum terasa. Paling tidak ditunjukkan dengan beragam hasil survei yang semakin detil memotret perilaku pemilih. 

Akhir tahun 2013 ini ditandai dengan maraknya hasil survei tentang partai politik (parpol) dan bakal calon presiden (capres) yang akan ambil bagian  dalam pemilu dan pilpres 2014. Empat parpol yang bersaing: PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra. 

Sementara empat bacapres yang bersaing:  Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie dan Megawati Soekarnoputri. Secara umum, Partai Demokrat mengalami penurunan elektabilitas. Susilo Bambang Yudhoyono juga dipastikan tidak lagi bisa maju capres. Konstalasi politik sudah sepenuhnya berubah. 

Masalahnya, seiring dengan semakin naik dan banyaknya pemberitaan menyangkut pemilu dan pilpres, kegairahan politik juga kian terbangun. Perhatian terhadap perjalanan pemerintahan justru kian kurang. Bagi masyarakat  peduli politik yang terjadi di depan, tentu tak hirau dengan kejadian  menjelang itu. Kalaupun mendapat perhatian, lebih banyak tertuju pada kasus-kasus yang melanda politisi, terutama  korupsi. 

Masyarakat menghukum para pelaku korupsi dengan  tidak memilih partai yang terasosiasi terhadap korupsi. Lagi-lagi, masyarakat juga sebetulnya telah menghukum pejabat pemerintahan yang kinerjanya kurang memuaskan, dengan  menghindari parpol yang terasosiasi dengan pejabat tersebut. 

Naiknya suhu politik tidak serta-merta meningkatkan loyalitas terhadap parpol. Sangat mengherankan, party id (pemilih yang mengatakan dirinya dekat dengan parpol tertentu) malah masih di angka 20%. Artinya, pemilu 2014 sangat bernuansa individual dan dipengaruhi  pemilih-pemilih bebas (free voters). Para pemilih bebas ini terbagi ke dalam blok yang puas  dan tidak puas dengan pemerintahan yang sedang berjalan, berikut kinerja parpolnya. Bahkan, lebih jauh, pemilih-pemilih bebas ini  bisa disebut nonideologis. 

Semakin memudarnya pemilih ideologis ini  pertanda kian sulitnya parpol untuk menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat. Partai  yang hadir hanya sekadar citra saja. Pada gilirannya didukung dan dipilih warga  yang juga terjebak dengan pencitraan jangka pendek itu. Bisa juga dibaca bahwa pemilih nonideologis  itu pragmatis dan oportunis. Mereka dibentuk oleh pandangan  negatif terhadap parpol yang dianggap menularkan pragmatisme dan oportunisme  sebagai sikap mental. 

Bagaimana  wajah pemilu 2014  beberapa bulan ke depan? Pemilih sepertinya tidak lagi menginginkan pemilu  bernuansa wajah para calon legislatif, melainkan program yang ditawarkan. Pemilu yang bersifat programatis, ketimbang  pencitraan semata. Banyak sekali iklan politik yang tak mampu mempengaruhi pemilih, apabila  merasa sama sekali tak akan berdampak pada perubahan kebijakan di masa datang. 

Pemilih menjadi pihak yang paling kritis dalam memandang kehidupan politik dewasa ini, akibat banyaknya kekecewaan selama hampir lima tahun. Kekecewaan  datang dari program-program yang tidak terlaksana dari janji-janji yang ditebar dan kasus korupsi  kian banyak dibanding sebelumnya. 

Di kalangan peserta pemilu, tentu sulit berkampanye  bersifat programatis ini. Kebijakan Komisi Pemilihan Umum untuk membatasi penyebaran baliho-baliho di tempat-tempat umum, memicu kurangnya sosialisasi diri calon-calon legislatif. Peserta pemilu lebih banyak mengandalkan tatap muka dengan pemilih yang tentu jauh lebih melelahkan, ketimbang mengandalkan alat-alat sosialisasi. Soalnya, mendatangi pemilih bukanlah perkara mudah, apalagi bagi calon anggota DPR  yang menghadapi daerah pemilihan luas. 

Di sisi lain mesin partai sama sekali sulit difungsikan, mengingat sistem pemilihan menggunakan suara terbanyak. Apabila mesin partai digerakkan, pengaruhnya hanya kepada satu-dua  pengurus di posisi puncak partai, bukan secara keseluruhan. Mesin partai juga bermakna simbolis saja, terutama kepada pemilih tradisional yang sulit berpindah partai. Tetapi dampak secara keseluruhan  belum terasa. Paling tidak ditunjukkan dengan beragam hasil survei yang semakin detil memotret perilaku pemilih. 

Riak-riak
Sedikitnya jumlah peserta pemilu juga mempersulit untuk meraih suara, dalam artian jumlah suara yang hendak direbut justru lebih banyak untuk mendapat satu kursi berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih. Di lapangan,  sudah dan akan disaksikan berbagai strategi  peserta pemilu, sampai  9 April 2014. Pengerahan massa pemilu juga akan dihindari, mengingat besarnya biaya  dan semakin sulitnya mengendalikan massa di lapangan. Para peserta pemilu lebih banyak memilih cara  efisien dan efektif untuk mendapat suara, ketimbang mengeluarkan biaya banyak karena  belum tentu ada gunanya. 

Fokus pada  pemilu  memperkecil perhatian kinerja  pemerintahan. Politik bagaikan opium yang dipakai selama sekali dalam lima tahun. Pemerintah hanya dilihat secara netral sebagai pihak yang sama sekali bukan penentu kelangsungan politik atau mungkin sebagai salah satu aktor. Pemerintah pusat seperti mengalami kebebasan dalam menentukan kebijakan karena sama sekali tidak memiliki beban politik serius. Kalaupun beban  pindah ke pundak pemerintahan daerah, tetap saja jauh dari jangkauan masyarakat, apalagi yang disibukkan dalam kegiatan politik praktis guna meraih dukungan. 

Sekalipun suksesi kepemimpinan nasional akan jauh lebih lancar dari era otoritanianisme, tetap saja akan ada riak-riak kecil konflik. Apalagi beban pemerintahan sekarang akan banyak mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Tingkat kepuasan atas kinerja SBY-Boediono, misalnya, kian sedikit. 

Gejolak di bidang ekonomi bisa dengan serta-merta membawa pemerintahan pada situasi yang sulit. Belum lagi indikasi-indikasi terhadap kasus korupsi yang menyeret nama-nama di pemerintahan. Riak-riak konflik lebih kepada persepsi yang hendak dibangun, ketimbang dalam skala luas untuk berebut kekuasaan. 

Kalender pemilu dan pilpres biasanya menghindari konflik dalam skala besar. Jarang terjadi konflik di kalangan masyarakat, hanya karena perbedaan pilihan terhadap parpol, calon anggota legislatif, bahkan capresdan cawapres. Begitu pula, ekonomi biasanya lebih sehat dari sebelum kalender pemilu berjalan, akibat mengucurnya dana kampanye dalam jumlah besar yang digunakan  peserta pemilu. 

Dana itu masuk ke segala lapisan masyarakat, termasuk belanja iklan di media massa atau logistik pemilu. Belum lagi kalau ada peserta pemilu royal, tentulah masyarakat mendapat imbasnya. Dana politik tidak akan berputar di kalangan elite yang terbatas, sebagaimana proses pemilihan yang dilakukan DPR, MPR ataupun DPRD. 

Gambaran tersebut memberi optimisme, betapa tahun 2014 secara keseluruhan lebih banyak harapan daripada  tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi kepersertaan, terdapat harapan yang besar akan kemunculan pemimpin nasional baru. Joko Widodo mendapat posisi utama sebagai pemimpin baru ini. Tingkat keterpilihannya menggilas bakal capres lain. Hanya, masih merupakan tanda tanya, apakah dia  menjadi salah seorang kontestan. 

Kalaupun jadi, apakah posisinya sebagai presiden atau wakil. Namun, secara objektif bisa dikatakan, Gubenrur DKI ini  masih berada pada puncak keemasannya pada  tahun mendatang. Itu antara lain bisa dilihat dari hasil survei. Di luar Joko Widodo, peluang bacapres seperti  Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie dan Megawati Sukarnoputri, tapi  lebih kecil. Masalahnya, ketiga nama ini memiliki pengaruh besar di partai masing-masing. Ketentuan di dalam UUD menyebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres diajukan  parpol atau gabungan partai. Siapa pun yang terpilih dari tiga nama itu, tampaknya  2014 merupakan  pilpres terakhir mereka. 

Namun, kehadiran Joko Widodo juga mengandung masalah bawaan, yakni kian sedikitnya orang yang mau merintis karier politik di dalam tubuh parpol. Akan semakin banyak tokoh meniru caranya dengan menghabiskan waktu di tengah-tengan masyaraka luas. 

Begitulah, tahun 2014 masih menghadapi pertarungan politik yang makin menarik dari sisi dinamika. Suksesi sudah pasti terjadi, sekalipun terdapat keadaan yang lebih buruk. Walau keadaan masih terlihat dingin, bukan berarti para peserta pemilu dan pilpres sama sekali miskin strategi. 

Indonesia banyak menyediakan keajaiban politik, termasuk dan terutama sejak almarhum Abdurrahman Wahid menjadi Presiden pada tahun 1999 lalu. Apakah keajaiban serupa akan kembali hadir di tahun 2014 nanti? Tentu diperlukan analisis serius dan mendalam, terutama setelah  hasil pemilu legislatif diumumkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar