Mesin partai juga bermakna simbolis saja, terutama kepada
pemilih tradisional yang sulit berpindah partai. Tetapi dampak secara
keseluruhan belum terasa. Paling tidak ditunjukkan dengan beragam
hasil survei yang semakin detil memotret perilaku pemilih.
Akhir tahun
2013 ini ditandai dengan maraknya hasil survei tentang partai politik
(parpol) dan bakal calon presiden (capres) yang akan ambil bagian dalam
pemilu dan pilpres 2014. Empat parpol yang bersaing: PDI Perjuangan,
Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.
Sementara
empat bacapres yang bersaing: Joko Widodo, Prabowo Subianto,
Aburizal Bakrie dan Megawati Soekarnoputri. Secara umum, Partai Demokrat
mengalami penurunan elektabilitas. Susilo Bambang Yudhoyono juga
dipastikan tidak lagi bisa maju capres. Konstalasi politik sudah
sepenuhnya berubah.
Masalahnya,
seiring dengan semakin naik dan banyaknya pemberitaan menyangkut pemilu
dan pilpres, kegairahan politik juga kian terbangun. Perhatian terhadap
perjalanan pemerintahan justru kian kurang. Bagi masyarakat peduli
politik yang terjadi di depan, tentu tak hirau dengan kejadian
menjelang itu. Kalaupun mendapat perhatian, lebih banyak tertuju pada
kasus-kasus yang melanda politisi, terutama korupsi.
Masyarakat
menghukum para pelaku korupsi dengan tidak memilih partai yang
terasosiasi terhadap korupsi. Lagi-lagi, masyarakat juga sebetulnya telah
menghukum pejabat pemerintahan yang kinerjanya kurang memuaskan,
dengan menghindari parpol yang terasosiasi dengan pejabat tersebut.
Naiknya suhu
politik tidak serta-merta meningkatkan loyalitas terhadap parpol. Sangat
mengherankan, party id (pemilih
yang mengatakan dirinya dekat dengan parpol tertentu) malah masih di
angka 20%. Artinya, pemilu 2014 sangat bernuansa individual dan
dipengaruhi pemilih-pemilih bebas (free voters). Para pemilih bebas ini terbagi ke dalam blok
yang puas dan tidak puas dengan pemerintahan yang sedang berjalan,
berikut kinerja parpolnya. Bahkan, lebih jauh, pemilih-pemilih bebas
ini bisa disebut nonideologis.
Semakin
memudarnya pemilih ideologis ini pertanda kian sulitnya parpol
untuk menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat. Partai yang
hadir hanya sekadar citra saja. Pada gilirannya didukung dan dipilih
warga yang juga terjebak dengan pencitraan jangka pendek itu. Bisa
juga dibaca bahwa pemilih nonideologis itu pragmatis dan oportunis.
Mereka dibentuk oleh pandangan negatif terhadap parpol yang dianggap
menularkan pragmatisme dan oportunisme sebagai sikap mental.
Bagaimana
wajah pemilu 2014 beberapa bulan ke depan? Pemilih sepertinya tidak
lagi menginginkan pemilu bernuansa wajah para calon legislatif,
melainkan program yang ditawarkan. Pemilu yang bersifat programatis,
ketimbang pencitraan semata. Banyak sekali iklan politik yang tak
mampu mempengaruhi pemilih, apabila merasa sama sekali tak akan
berdampak pada perubahan kebijakan di masa datang.
Pemilih
menjadi pihak yang paling kritis dalam memandang kehidupan politik dewasa
ini, akibat banyaknya kekecewaan selama hampir lima tahun.
Kekecewaan datang dari program-program yang tidak terlaksana dari
janji-janji yang ditebar dan kasus korupsi kian banyak dibanding
sebelumnya.
Di kalangan
peserta pemilu, tentu sulit berkampanye bersifat programatis ini.
Kebijakan Komisi Pemilihan Umum untuk membatasi penyebaran baliho-baliho
di tempat-tempat umum, memicu kurangnya sosialisasi diri calon-calon
legislatif. Peserta pemilu lebih banyak mengandalkan tatap muka dengan
pemilih yang tentu jauh lebih melelahkan, ketimbang mengandalkan
alat-alat sosialisasi. Soalnya, mendatangi pemilih bukanlah perkara
mudah, apalagi bagi calon anggota DPR yang menghadapi daerah
pemilihan luas.
Di sisi lain
mesin partai sama sekali sulit difungsikan, mengingat sistem pemilihan
menggunakan suara terbanyak. Apabila mesin partai digerakkan, pengaruhnya
hanya kepada satu-dua pengurus di posisi puncak partai, bukan
secara keseluruhan. Mesin partai juga bermakna simbolis saja, terutama
kepada pemilih tradisional yang sulit berpindah partai. Tetapi dampak
secara keseluruhan belum terasa. Paling tidak ditunjukkan dengan
beragam hasil survei yang semakin detil memotret perilaku pemilih.
Riak-riak
Sedikitnya
jumlah peserta pemilu juga mempersulit untuk meraih suara, dalam artian
jumlah suara yang hendak direbut justru lebih banyak untuk mendapat satu
kursi berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih. Di lapangan, sudah dan
akan disaksikan berbagai strategi peserta pemilu, sampai 9
April 2014. Pengerahan massa pemilu juga akan dihindari, mengingat
besarnya biaya dan semakin sulitnya mengendalikan massa di
lapangan. Para peserta pemilu lebih banyak memilih cara efisien dan
efektif untuk mendapat suara, ketimbang mengeluarkan biaya banyak
karena belum tentu ada gunanya.
Fokus
pada pemilu memperkecil perhatian kinerja pemerintahan.
Politik bagaikan opium yang dipakai selama sekali dalam lima tahun.
Pemerintah hanya dilihat secara netral sebagai pihak yang sama sekali
bukan penentu kelangsungan politik atau mungkin sebagai salah satu aktor.
Pemerintah pusat seperti mengalami kebebasan dalam menentukan kebijakan
karena sama sekali tidak memiliki beban politik serius. Kalaupun
beban pindah ke pundak pemerintahan daerah, tetap saja jauh dari
jangkauan masyarakat, apalagi yang disibukkan dalam kegiatan politik
praktis guna meraih dukungan.
Sekalipun
suksesi kepemimpinan nasional akan jauh lebih lancar dari era
otoritanianisme, tetap saja akan ada riak-riak kecil konflik. Apalagi
beban pemerintahan sekarang akan banyak mempengaruhi pilihan politik
masyarakat. Tingkat kepuasan atas kinerja SBY-Boediono, misalnya, kian
sedikit.
Gejolak di
bidang ekonomi bisa dengan serta-merta membawa pemerintahan pada situasi
yang sulit. Belum lagi indikasi-indikasi terhadap kasus korupsi yang
menyeret nama-nama di pemerintahan. Riak-riak konflik lebih kepada
persepsi yang hendak dibangun, ketimbang dalam skala luas untuk berebut
kekuasaan.
Kalender
pemilu dan pilpres biasanya menghindari konflik dalam skala besar. Jarang
terjadi konflik di kalangan masyarakat, hanya karena perbedaan pilihan
terhadap parpol, calon anggota legislatif, bahkan capresdan cawapres.
Begitu pula, ekonomi biasanya lebih sehat dari sebelum kalender pemilu
berjalan, akibat mengucurnya dana kampanye dalam jumlah besar yang
digunakan peserta pemilu.
Dana itu
masuk ke segala lapisan masyarakat, termasuk belanja iklan di media massa
atau logistik pemilu. Belum lagi kalau ada peserta pemilu royal, tentulah
masyarakat mendapat imbasnya. Dana politik tidak akan berputar di
kalangan elite yang terbatas, sebagaimana proses pemilihan yang dilakukan
DPR, MPR ataupun DPRD.
Gambaran
tersebut memberi optimisme, betapa tahun 2014 secara keseluruhan lebih
banyak harapan daripada tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi
kepersertaan, terdapat harapan yang besar akan kemunculan pemimpin
nasional baru. Joko Widodo mendapat posisi utama sebagai pemimpin baru
ini. Tingkat keterpilihannya menggilas bakal capres lain. Hanya, masih
merupakan tanda tanya, apakah dia menjadi salah seorang kontestan.
Kalaupun
jadi, apakah posisinya sebagai presiden atau wakil. Namun, secara
objektif bisa dikatakan, Gubenrur DKI ini masih berada pada puncak
keemasannya pada tahun mendatang. Itu antara lain bisa dilihat dari
hasil survei. Di
luar Joko Widodo, peluang bacapres seperti Prabowo Subianto,
Aburizal Bakrie dan Megawati Sukarnoputri, tapi lebih kecil.
Masalahnya, ketiga nama ini memiliki pengaruh besar di partai
masing-masing. Ketentuan di dalam UUD menyebutkan bahwa pasangan capres
dan cawapres diajukan parpol atau gabungan partai. Siapa pun yang
terpilih dari tiga nama itu, tampaknya 2014 merupakan pilpres
terakhir mereka.
Namun,
kehadiran Joko Widodo juga mengandung masalah bawaan, yakni kian sedikitnya
orang yang mau merintis karier politik di dalam tubuh parpol. Akan
semakin banyak tokoh meniru caranya dengan menghabiskan waktu di
tengah-tengan masyaraka luas.
Begitulah,
tahun 2014 masih menghadapi pertarungan politik yang makin menarik dari
sisi dinamika. Suksesi sudah pasti terjadi, sekalipun terdapat keadaan
yang lebih buruk. Walau keadaan masih terlihat dingin, bukan berarti para
peserta pemilu dan pilpres sama sekali miskin strategi.
Indonesia
banyak menyediakan keajaiban politik, termasuk dan terutama sejak
almarhum Abdurrahman Wahid menjadi Presiden pada tahun 1999 lalu. Apakah
keajaiban serupa akan kembali hadir di tahun 2014 nanti? Tentu diperlukan
analisis serius dan mendalam, terutama setelah hasil pemilu
legislatif diumumkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar