Saat ini jumlah penyandang
autisme di Indonesia semakin meningkat secara drastis. Banyak sekali saat
ini kita temui anak-anak autistik di banyak tempat di Indonesia. Sebagian
besar diantara mereka masih banyak yang tidak memperoleh tatalaksana
yang sesuai dengan yang telah dipersyaratkan. Hal ini tentunya menjadi
keprihatinan kita bersama.
Autisme adalah
gangguan perkembangan nerobiologis yang berat yang terjadi pada anak
sehingga menimbulkan masalah pada anak untuk berkomunikasi dan berelasi
(berhubungan) dengan lingkungannya. Penyandang autisme tidak dapat
berhubungan dengan orang lain secara berarti. Kemampuannya untuk
membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena masalah ketidakmampuannya
untuk berkomunikasi dan untuk mengerti apa yang dimaksud oleh orang
lain dan mengerti perasaan orang lain
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sejumlah kondisi (multi/banyak faktor)
mempengaruhi perkembangan otak anak autistik yang mulai terjadi sejak
usia 6 bulan dalam kandungan dan terus berlanjut dalam kehidupannya,
dimana faktor genetik (keturunan) merupakan faktor yang sangat berpengaruh.
Gangguan perkembangan otak ini menyebabkan terjadinya gangguan/masalah
pada kemampuan bahasa, kemampuan kognitif (pemahaman), kemampuan interaksi
sosial, dan fungsi adaptifnya, maka hal ini menyebabkan semakin bertambah
usia seorang anak menyebabkan semakin besarnya kesenjangan/perbedaan
kemampuan-kemampuan tersebut dibandingkan dengan anak lain
sepantarannya/seumurnya, sehingga semakin terlihat perbedaannya dengan
anak sepantarannya/ seumurnya. Semua hal ini dapat jelas terlihat sebelum
anak berusia 3 (tiga) tahun, dan semakin bertambah umurnya akan semakin
jelas terlihat.
Jumlah
penyandang autisme di seluruh dunia semakin tahun semakin meningkat. Dari
kepustakaan pada awal tahun 90-an, jumlah penyandang autisme
diperkirakan sekitar 4-6 per 10.000 kelahiran. Tetapi mendekati tahun
2000 angka ini mencapai 15-20 per 10.000 kelahiran. Data pada tahun 2000,
angka ini meningkat drastis yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran atau 1
: 250 anak. Bahkan di beberapa kota di Amerika bisa mencapai 1 : 100
anak. Angka ini sudah dapat dikatakan sebagai wabah. Oleh karena itulah
di Amerika autisme sudah dimasukkan ke dalam national alarming. Pada tahun 2012 di
Amerika angka ini melonjak menjadi 1 : 88 dan di Indonesia angka
penyandang autisme juga melonjak tajam, diperkirakan 1:125
Insidens dan
prevalens ASD (Autistic Spectrum Disorder) adalah 2 kasus baru per
1.000 penduduk per tahun, dan 10 kasus per 1.000 penduduk (BMJ, 1997).
Jumlah penduduk di Indonesia lebih dari 237,5 juta (BPS, 2010) dengan
laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,14%. Sehingga diperkirakan jumlah
penyandang autisme di Indonesia sekitar 2,4 juta orang, dan bertambah
sekitar 500 orang penyandang baru tiap tahunnya.
Berbagai bukti
menunjukkan bahwa jumlah penyandang ASD (Autistic Spectrum Disorder) semakin bertambah secara
dramatis pada tahun 1990 an dan awal 2000 an. Peningkatan ini selain
memang karena jumlah penyandang autisme sebenarnya semakin bertambah,
juga mungkin dipengaruhi oleh kewaspadaan masyarakat serta semakin
membaiknya kemampuan diagnosis para dokter/profesional.
Kebanyakan
penyandang autisme adalah laki-laki dengan perbandingan 4 : 1.Tidak ada
perbedaan dalam hal status/latar belakang sosial, ekonomi, ras, etnik.
Tidak ada perbedaan distribusi penyandang autisme dilihat dari status
sosial ekonomi orangtua. Autisme dapat terjadi pada anak dari orangtua
yang kaya maupun miskin, yang pendidikan tinggi maupun rendah. Juga
tidak ada perbedaan dalam hal ras/etnik orangtua.
Beberapa anak
autistik mempunyai kelebihan, misalnya ada anak yang mampu menjawab
hitungan yang rumit. Ada yang mempunyai kelebihan dalam bidang kalender
yaitu mampu menyebutkan dengan tepat hari pada suatu tanggal
tertentu, dan lain sebagainya. Namun IQ anak-anak autistik seperti
halnya IQ anak-anak lain dalam populasi normal, yaitu ada yang IQ nya
rendah, ada juga yang tinggi. Namun umumnya mereka punya IQ dengan ukuran
rata-rata.
Namun tentunya IQ anak autistik yang belum mendapat intervensi/terapi
yang tepat dan benar, tentulah belum menunjukkan potensi yang
sebenarnya. Barulah setelah anak mendapat intervensi/terapi yang tepat
dan benar, terlihat “peningkatan” IQ mereka sampai akhirnya tercapai
potensi yang sebenarnya.
Sehingga dulu sekali dikatakan bahwa 70% penyandang
autisme mempunyai IQ yang tergolong dalam retardasi mental. Kemudian
ternyata hal tersebut tidak benar oleh karena alasan yang sudah
disebutkan di atas.
Pertanyaan yang
sering diajukan oleh orangtua yang telah mempunyai anak autistik, yaitu
bagaimana kemungkinannya jika mereka ingin mempunyai anak lagi? Dari
berbagai kepustakaan, ternyata jika orangtua telah mempunyai anak
autistik, maka kemungkinan adiknya juga autistik adalah berkisar dari 2-3
s/d 8-9 %. Yaitu maksudnya, jika 100 keluarga telah mempunyai anak
autistik, maka kemungkinan ada 9 keluarga yang anak berikutnya adalah
juga autistik. Kadang ditemui orangtua yang semua anaknya adalah autisme
(bahkan sampai keempat-empatnya). Dan angka ini meningkat sampai 50% jika
ada sindrom rapuh-X (fragile-X
syndrome). Kalaupun anak berikutnya tidak autistik, maka akan
terdapat 15% yang mengalami bentuk gangguan lain, yaitu antara lain
retardasi mental, ketulian, dan gangguan belajar (learning disability). Jika salah satu orangtua
autistik, maka anak mereka juga autistik sebesar 46%. Jika anak kembar 1
telur, maka 100% keduanya autistik, tetapi jika kembar 2 telur maka 96%
keduanya adalah autistik.
Tanggal 19 Desember sampai 21 Desember 2013, Liza Anwar, ahli ABA
(Applied Behavior Analysis),
salah satu dari dua jenis terapi utama untuk penderita autisme, beserta
ahli autisme Indonesia (BIT), dr Kresno Mulyadi, SPkJ, akan
memberikan pengetahuan tentang autisme, mulai dari diagnosis sampai
kepada tatalaksananya kepada orangtua penyandang autisme di Kota Padang.
Berikut rangkuman tulisannya seputar autisme dan penanganannya yang
dirangkum dari makalah asli dr Rudy Sutadi, SpA, MARS, SpdI dengan judul
“INTERVENSI DINI AUTISME dengan ABA dan BIT” yang disampaikan di Bekasi,
10 Desember 2013 lalu.
Jika
seorang anak didiagnosis autisme/autistik, maka hal berikutnya yang
sangat penting adalah intervensi/terapi pada anak. Berbagai ragam
tatalaksana pada anak terdapat/ditawarkan di seluruh dunia ini. Namun
hanya ada dua terapi utama (intervention
of choice) untuk autism. Yaitu ABA (Applied Behavior Analysis) dan BIT (Biomedical Intervention Therapy).
Sebagaimana
yang dinyatakan pada tahun 1990-an oleh US Department Of Health dan
NYSDOH (New York State Department
Of Health, “ABA is the only
intervention reccomended in autism”) dan juga oleh AAP (American Academy Of Pediatrics, 2007,
the benefit of ABA-based interventions in autism spectrum disorders
(ASDs) “has been well documented”
and that “children who receive
early intensive behavioral treatment have been shown to make substantial,
sustained gains in IQ, language, academic performance, and adaptive
behavior as well as some measures of social behavior.”).
Sedangkan
selain ABA dan BIT, terapi-terapi lainnya merupakan terapi tambahan jika
diperlukan saja. Hanya dilakukan jika memang ada masalah tertentu pada
seorang anak.
Penyandang
autisme memiliki gangguan pada interaksi sosial (kesulitan dengan
hubungan sosial; sebagai contoh, terlihat aneh dan berbeda dari orang
lain), komunikasi (kesulitan dengan komunikasi verbal maupun non verbal;
sebagai contoh tidak mengerti arti dari gerak tubuh, ekspresi muka atau
nada/warna suara), imajinasi (kesulitan dalam bermain dan berimajinasi;
sebagai contoh terbatasnya aktivitas bermain, mungkin hanya mencontoh
dan mengikuti secara kaku dan berulang-ulang), pola perilaku repetitif
dan resistensi (tidak mudah mengikuti/ menyesuaikan) terhadap perubahan
pada rutinitas.
Sampai
belum lama ini, masih banyak orang yang menganggap autisme suatu kondisi
yang absolut, tanpa harapan, dan tidak dapat membaik (incurable). Padaxhal
dari hasil penelitian diketahui bahwa intervensi dini intensif
berdasarkan prinsip Applied Behavior Analysis (ABA) pada anak-anak
autistik dapat memberikan “kesembuhan”.
ABA
menyebabkan anak-anak autistik mencapai suatu tingkat yang sebelumnya
dikira merupakan hal yang mustahil. Penyandang autisme dikatakan
“sembuh”, yaitu bila mereka berhasil masuk ke dalam mainstreaming
(sekolah reguler).
Artinya, mereka dapat masuk dan mengikuti
sekolah reguler kemudian berkembang dan hidup mandiri di masyarakat
dengan tidak tampak gejala sisa, sehingga sering tidak ada yang menduga
bahwa seseorang adalah (mantan) penyandang autisme. Dari hasil penelitian
juga diketahui, bahwa semakin dini autisme didiagnosis dan
ditatalaksana, hasilnya akan semakin baik.
Sebenarnya,
manfaat tehnik-tehnik ABA adalah untuk memperbaiki banyak berbagai
masalah perilaku telah banyak diperlihatkan dalam ribuan laporan penelitian.
Aplikasi-aplikasi yang sukses telah didokumentasi pada populasi yang
berkisar dan pada mereka dengan ketidakmampuan/gangguan belajar yang
sangat berat sampai pada mereka yang dengan intelijensi tinggi. Pada anak
yang sangat muda usianya sampai para manula, baik pada program-program
terkontrol di institusi-institusi maupun pada lingkungan masyarakat.
Perilaku-perilaku tersebut berkisar dari keterampilan motorik sederhana
sampai pemecahan persoalan intelektual kompleks. Penggunaan ABA semakin
luas aplikasinya, yaitu pada berbagai bidang edukasi, sosial,
keperawatan, psikologi klinis, psikiatri, psikologi komunitas,
kedokteran, rehabilitasi, bisnis, industri, dan olahraga.
ABA
(Applied Behavior Analysis atau
yang, dikenal juga sebagai Metode Lovaas) di Indonesia, ABA pertama kali
dan mulai luas dipraktekkan untuk penyandang autisme setelah penulis (dr
Rudy Sutadi, SpA, MARS, SpdI) mempopulerkan dan menyebarluaskan penggunaannya
sejak tahun 1997. Sejak beliau menyebarluaskan penggunaan Tatalaksana
Perilaku (ABA/Metode Lovaas) untuk penyandang autisme di Indonesia,
melalui berbagai simposium dan pelatihan yang diselenggarakan oleh
Yayasan Autisma Indonesia maupun kerjasama dengan berbagai pihak
(universitas/fakultas/rumah sakit/dll.), telah banyak orangtua maupun
profesional (berdiri sendiri maupun tergabung dalam suatu klinik) yang,
mempraktekkannya. Banyak dari mereka yang telah menjalankannya, mendapatkan
hasil yang memuaskan yaitu dilihat dari kemajuan yang diperlihatkan
oleh penyandang autisme.
Perilaku
Sebelum
membicarakan tatalaksana perilaku, kita harus mengetahui terlebih dahulu,
apa yang dimaksud dengan perilaku? Secara sederhana, perilaku adalah
“segala sesuatu yang seseorang katakan atau kerjakan”.Apakah warna mata
seseorang adalah perilaku? Apakah mengejap-ngejapkan mata adalah
perilaku? Apakah baju yang digunakan seseorang adalah perilaku? Apakah
berpakaian adalah suatu perilaku?Jika anda mengatakan tidak pada hal yang
pertama dan ketiga, dan mengatakan ya pada yang kedua dan keempat, maka
berarti kita telah mempunyai pengertian yang sepaham.
Apakah
mendapat nilai bagus pada suatu ujian, atau turunnya berat badan sampai 5
kilogram merupakan perilaku? Bukan. Mereka adalah produk atau hasil dan
perilaku.Perilaku yang menghasilkan nilai bagus adalah belajar secara
efektif, sedangkan perilaku yang menyebabkan penurunan berat badan
adalah mengatur makan (diet) atau lebih banyak berolahraga. Berjalan-jalan,
berbicara keras-keras, melempar-lempar bola, berteriak-teriak adalah
perilaku nyata (overt behavior) yang dapat diobservasi dan dicatat oleh
orang lain.
Jadi,
perilaku adalah apa saja yang dapat kita lihat, rasakan atau dengar seseorang
melakukan atau mengatakan (dan juga apa yang kita sendiri katakan dan
kerjakan. Ataupun apa yang seseorang/kita tidak lakukan), sebagai respons
terhadap stimuli (rangsangan) dari dalam diri sendiri (internal) ataupun
dan luar diri (ekstemal). Sehingga, tatalaksana perilaku mempunyai aspek
yang sangat luas.
Bagaimana profesional
mendiagnosis seorang anak adalah autistik? Mereka membuat keputusan ini
dengan dasar perilaku-perilaku tertentu yang mereka observasi. Sebagai
contoh, mereka mungkin mendapatkan bahwa seorang anak : sering hanya menirukan
pertanyaanpertanyaan tertentu bukannya menjawab dengan pernyataan
yang tepat. Asyik dengan berbagai perilaku stimulasi diri, seperti duduk
sambil mengayun-ayunkan badannya maju-mundur, memutar-mutar berbagai
benda dengan jari-jarinya, atau memainkan dan memandangi tangannya. Saat
dipanggil, tidak merespons, atau menjauhi orang yang memanggil (lebih
umum lagi, menunjukkan perilaku antisosial). Menunjukkan kemampuan yang
jauh di bawah usianya pada berbagai kegiatan bantu-diri, seperti
berpakaian, merapikan, dan makan.
Banyak
perilaku autistik berbeda dari perilaku normal. Perbedaannya yaitu adanya
perilaku yang berkelebihan (excessive), dan / atau adanya perilaku yang
berkekurangan (deficient) yang mungkin sampai pada tingkat yang hampir
tidak ada.
Behavioral excesses (perilaku
yang berkelebihan) misalnya mengamuk (tantrum) dan perilaku stimulasi
diri. Karena intensitas dan frekuensi yang berkelebihan,
perilaku-perilaku tersebut merupakan masalah di rumah, dan mengganggu
ketika orang tua membawa anak ke tempat-tempat umum. Mengamuk (tantrum), sebagai contoh, mungkin
pada beberapa anak terjadi. Bahkan jika hanya kemauan kecil saja tidak
dituruti. Menyuruh mereka berjalan dengan tenang di supermarket, duduk di
restoran, atau berdiri di barisan pada loket penjualan karcis mungkin
menghasilkan jeritan, tendangan, gigitan dan cakaran. Beberapa menjerit
atau tertawa hanya dengan sedikit atau tanpa provokasi. Perilaku-perilaku
tersebut juga mengganggu proses belajar.
Ekstrim
lain dari perilaku yang berkelebihan seperti contoh di atas, yaitu
anak-anak autistik mungkin menunjukkan berbagai kekurangan perilaku (behavioral deficit). Misalnya
yaitu: Ciri umum mereka adalah gangguan bicara. Mereka mungkin non
verbal, atau mungkin mengeluarkan sedikit suara dan kata-kata.
Anak
mungkin mungkin menunjukkan defisit sensasi (indera) yang nyata sehingga
kadang disangka tuli. Anak kadang merespons sedemikian norrnalnya,
tetapi tidak sama sekali pada lainnya, pada pemeriksaan pendengaran
tidak ditemukan gangguan. Anak sering tidak bermain dengan benar.
Sebagai contoh, bukannya mengendarai truk mainan tetapi membalikkannya
dan memutar-mutar rodanya. Beberapa anak hampir tidak menunjukkan
perilaku emosional, misalnya seorang anak mungkin hanya duduk dan
memandang ke ruang kosong jika seseorang mencoba menggelitikinya.
Dengan
mengetahui ekses dan defisitnya, maka pengajaran/pelatihan anak
autistik melalui tatalaksana perilaku adalah dengan tujuan memperbaiki
hal-hal tersebut. Contoh-contoh tersebut di atas hanya sebagian kecil
dari perilaku autistik.
ABA (Applied Behavior Analysis)
Merupakan
intervensi dalam pengajaran dan pelatihan anak autistic. Sedangkan BIT (Biomedical Intervention Therapy)
merupakan manjemen mediknya. Kedua hal ini sering diibaratkan dengan
komputer, yaitu adanya perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software, operating system).
ABA
merupakan software yang
canggih. Ibarat Windows 7 (seven), hanya bisa dijalankan dengan baik pada
komputer minimal i3, tidak mungkin dijalankan pada komputer XT/AT. Untuk
meng-upgrade kemampuan “komputer anak”, dilakukan BIT (Biomedical Intervention Therapy)
ABA
dimulai walaupun fungsi motorik anak hanya mampu melakukan hal yang
paling sederhana. ABA adalah metode yang sistematis, terstruktur dan
terukur sehingga bisa dipelajari dan dikuasai oleh siapapun juga.
Kuncinya adalah , MAU, MAU dan MAU.
Sistimatika
ABA, yaitu sebagai berikut :
Duduk,
kontak mata, kepatuhan. Meniru gerakan motorik kasar. Meniru gerakan
motorik halus. Meniru gerakan motorik mulut. Meniru suara. Meniru
suku-kata. Mengucapkan/meniru kata(-kata). Membuat kalimat sederhana
(1-2 kata). Membuat kalimat multi-kata. Percakapan 1 arah. Dan terakhir,
percakapan 2 arah (timbal-balik)
BIT (Biomedical Intervention Therapy)
Terdiri
atas restrictive-diet, medikamentosa (obat-obat), dan suplemen. Diet
dilakukan terhadap berbagai makanan/bahan makanan apapun yang diketahui
mempunyai efek yang tidak baik pada anak. Diet utamanya terhadap susu
dan terigu yang disebut CFGFSF (Casein
Free, Gluten Free, Sugar Free) diet.
Selain CFGFSF tersebut, anak
juga harus berpantang terhadap semua makanan/bahan makanan apapun yang
diketahui tidak boleh dikonsumsi dan atau mengganggu/merusak sistem
nerobiologisnya ataupun memperlihatkan efek masalah perilaku, baik yang
diketahui dengan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan maupun
diketahui dari hasil diet rotasi dan eliminasi (RnE diet).
Namun
kunci keberhasilan kesembuhan anak-anak autistik yaitu intervensi dini
dengan ABA (Applied Behavior Analysis) dan BIT (Biomedical Intervention
Therapy), yaitu intervensi dimulai sebelum usia 3 (tiga) tahun. Semakin
muda dari usia 3 tahun tersebut maka hasil yang diperoleh akan semakin
baik, dan kemudian pada usia 5 (lima) tahun sudah menguasai bahasa
(perhatikan tentang menguasai bahasa, bukan hanya bisa berbicara, mohon
bedakan dengan jelas antara kemampuan bicara dengan kemampuan bahasa). Memang
pada beberapa mantan penyandang autisme kadang ada gejala sisa, namun
tidak tampak atau tidak terperhatikan atau tidak diketahui oleh masyarakat
sebagai gejala sisa. Namun dengan mengutip pendapat dari Prof. Rimland,
yaitu seorang ahli dalam bidang autisme di Amerika, sesuai pepatah “If it looks like a duck, walks like a duck, quacks
like a duck, it must be a duck”, maka analoginya pada
“mantan” penyandang autisme ini yaitu “If they look recovered, are
thought to be recoverd, (that means) they are recovered”.
Namun,
bertolak belakang dengan kenyataan tersebut di atas, masalahnya di
Indonesia saat ini adalah masih banyak tempat-tempat terapi, terapis
individual (bukan di tempat-tempat terapi), dan orangtua penyandang
autisme yang tidak/belum mengenal atau tidak/belum faham tentang ABA (Applied Behavior Analysis) maupun
BIT (Biomedical Intervention
Therapy). Sehingga tidak melakukan terapi dengan metode ABA dan tidak
menjalankan BIT.
Saat
ini banyak tempat-tempat terapi bagi anak autistik yang mengklaim
menggunakan ABA. Namun sangat disayangkan sebagian besar dari
tempat-tempat terapi itu tidak menjalankan ABA sebagaimana
mestinya/sesuai dengan ABA yang baik dan benar. Sehingga hal itu tentunya
berdampak pada tidak adanya perkembangan bagi anak-anak autistik
meskipun sudah menjalankan terapi pada usia yang sangat dini (<3 4-5="" dan="" kurang="" lankan="" lebih="" menja="" o:p="" sudah="" tahun.="" tahun="" terapi="">3>
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar