Sabtu, 21 Desember 2013

Autisme dan Penanganannya

Autisme dan Penanganannya
Liza Anwar  ;    Pengamat Autisme
HALUAN,  18, 19, 20 Desember 2013

  

Saat ini jumlah penyan­dang autisme di Indonesia semakin meningkat secara drastis. Banyak sekali saat ini kita temui anak-anak autistik di banyak tempat di Indonesia. Sebagian besar diantara mereka masih banyak yang tidak mem­peroleh tatalaksana yang sesuai dengan yang telah dipersyaratkan. Hal ini tentunya menjadi kepri­hatinan kita bersama.

Autisme adalah gang­guan perkembangan nero­biologis yang berat yang terjadi pada anak sehingga menimbulkan masalah pada anak untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan lingkungannya. Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti. Kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena masalah ketidak­mampuannya untuk berko­munikasi dan untuk me­nger­ti apa yang dimaksud oleh orang lain dan mengerti perasaan orang lain

Hasil penelitian me­nunjuk­kan bahwa sejum­lah kondisi (multi/banyak faktor) mempengaruhi per­kem­­bangan otak anak autis­tik yang mulai terjadi sejak usia 6 bulan dalam kan­dungan dan terus berlan­jut dalam kehidupannya, dimana faktor genetik (keturunan) meru­pakan faktor yang sangat berpe­ngaruh. Gangguan perkem­bangan otak ini menye­babkan terjadinya gangguan/masalah pada kemampuan bahasa, kemam­puan kognitif (pemahaman), kemampuan interaksi sosial, dan fungsi adaptifnya, maka hal ini menyebabkan sema­kin ber­tam­bah usia seorang anak menyebabkan semakin be­sar­nya kesenjangan/per­bedaan kemampuan-ke­mampuan tersebut diban­dingkan dengan anak lain sepantarannya/seumurnya, sehingga semakin terlihat perbe­daannya dengan anak sepantarannya/ seumurnya. Semua hal ini dapat jelas terlihat sebelum anak berusia 3 (tiga) tahun, dan semakin bertam­bah umurnya akan semakin jelas terlihat.

Jumlah penyandang autisme di seluruh dunia semakin tahun semakin meningkat. Dari kepus­takaan pada awal tahun 90-an, jumlah penyandang autisme diperkirakan sekitar 4-6 per 10.000 kelahiran. Tetapi mendekati tahun 2000 angka ini mencapai 15-20 per 10.000 kelahiran. Data pada tahun 2000, angka ini meningkat drastis yaitu sekitar 60 per 10.000 kela­hiran atau 1 : 250 anak. Bahkan di beberapa kota di Amerika bisa mencapai 1 : 100 anak. Angka ini sudah dapat dikatakan sebagai wabah. Oleh karena itulah di Amerika autisme sudah dimasukkan ke dalam national alarming. Pada tahun 2012 di Amerika angka ini melonjak menjadi 1 : 88 dan di Indonesia angka penyandang autisme juga melonjak tajam, di­perkirakan 1:125

Insidens dan prevalens ASD (Autistic Spectrum Disorder) adalah 2 kasus baru per 1.000 penduduk per tahun, dan 10 kasus per 1.000 penduduk (BMJ, 1997). Jum­lah penduduk di Indonesia lebih dari 237,5 juta (BPS, 2010) dengan laju pertum­buhan penduduk sebesar 1,14%. Sehingga diperkirakan jumlah penyan­dang autisme di Indonesia sekitar 2,4 juta orang, dan bertambah sekitar 500 orang penyan­dang baru tiap ta­hunnya.

Berbagai bukti me­nun­jukkan bahwa jumlah pe­nyandang ASD (Autistic Spectrum Disorder) semakin bertambah secara dramatis pada tahun 1990 an dan awal 2000 an. Peningkatan ini selain memang karena jumlah penyandang autisme sebenarnya semakin bertam­bah, juga mungkin dipe­ngaruhi oleh kewas­padaan masyarakat serta semakin membaiknya kemampuan diagnosis para dokter/profesional.

Kebanyakan penyandang autisme adalah laki-laki dengan perbandingan 4 : 1.Tidak ada perbedaan dalam hal status/latar belakang sosial, ekonomi, ras, etnik. Tidak ada perbedaan distri­busi penyan­dang autisme dilihat dari status sosial ekonomi orang­tua. Autisme dapat terjadi pada anak dari orangtua yang kaya mau­pun miskin, yang pendi­dikan tinggi maupun rendah. Juga tidak ada perbedaan dalam hal ras/etnik orang­tua.

Beberapa anak autistik mempunyai kelebihan, misal­nya ada anak yang mampu menjawab hitungan yang rumit. Ada yang mempunyai kelebihan dalam bidang kalender yaitu mampu me­­nye­but­kan dengan tepat hari pada suatu tanggal tertentu, dan lain seba­gainya. Namun IQ anak-anak autis­tik seperti halnya IQ anak-anak lain dalam populasi normal, yaitu ada yang IQ nya rendah, ada juga yang tinggi. Namun umumnya mereka punya IQ dengan ukuran rata-rata. 

Namun tentunya IQ anak autistik yang belum men­dapat inter­vensi/terapi yang tepat dan benar, tentulah belum me­nunjukkan potensi yang sebenarnya. Barulah setelah anak mendapat intervensi/terapi yang tepat dan benar, terlihat “pe­ningkatan” IQ mereka sam­pai akhirnya tercapai potensi yang sebe­narnya. 

Sehingga dulu sekali dika­takan bahwa 70% pe­nyan­­dang autisme mempu­nyai IQ yang ter­golong dalam retardasi mental. Kemudian ternyata hal tersebut tidak benar oleh karena alasan yang sudah disebutkan di atas.

Pertanyaan yang sering diajukan oleh orangtua yang telah mempunyai anak autistik, yaitu bagaimana kemungkinannya jika mere­ka ingin mempunyai anak lagi? Dari berbagai kepus­takaan, ternyata jika orang­tua telah mempunyai anak autistik, maka kemungkinan adiknya juga autistik adalah berkisar dari 2-3 s/d 8-9 %. Yaitu maksudnya, jika 100 keluarga telah mempunyai anak autistik, maka ke­mung­kinan ada 9 keluarga yang anak berikutnya ada­lah juga autistik. Kadang ditemui orangtua yang semua anaknya adalah autisme (bahkan sampai keempat-empatnya). Dan angka ini meningkat sampai 50% jika ada sindrom rapuh-X (fragile-X syndrome). Kalaupun anak berikutnya tidak autistik, maka akan terdapat 15% yang me­ngalami bentuk gangguan lain, yaitu antara lain retardasi mental, ketulian, dan gangguan belajar (lear­ning disability). Jika salah satu orangtua autistik, maka anak mereka juga autistik sebesar 46%. Jika anak kembar 1 telur, maka 100% keduanya autistik, tetapi jika kembar 2 telur maka 96% keduanya adalah autistik.

Tanggal 19 De­sem­ber sampai 21 Desember 2013, Liza Anwar, ahli ABA (Applied Behavior Analysis), salah satu dari dua jenis terapi utama untuk penderita autisme, beserta ahli autisme Indo­nesia (BIT), dr Kresno Mulyadi, SPkJ,  akan memberikan pengetahuan tentang autisme, mulai dari diagnosis sampai kepada tatalaksananya kepada orangtua penyandang autis­me di Kota Padang. Berikut rangkuman tulisannya seputar autisme dan pena­nganannya yang dirangkum dari makalah asli dr Rudy Sutadi, SpA, MARS, SpdI dengan judul “INTERVENSI DINI AUTISME dengan ABA dan BIT” yang disam­paikan di Bekasi, 10 De­sember 2013 lalu.

Jika seorang anak didiag­nosis autisme/autistik, maka hal berikutnya yang sangat penting adalah intervensi/terapi pada anak. Berbagai ragam tatalaksana pada anak terdapat/ditawarkan di seluruh dunia ini. Namun hanya ada dua  terapi utama (intervention of choice) untuk autism. Yaitu ABA (Applied Behavior Analysis) dan BIT (Biomedical Inter­vention Therapy).

Sebagaimana yang dinya­takan pada tahun 1990-an oleh US Department Of Health dan NYSDOH (New York State Department Of Health, “ABA is the only intervention reccomended in autism”) dan juga oleh AAP (American Academy Of Pediatrics, 2007, the benefit of ABA-based interventions in autism spectrum disorders (ASDs) “has been well documented” and that “child­ren who receive early inten­sive behavioral treatment have been shown to make substantial, sustained gains in IQ, language, academic performance, and adaptive behavior as well as some measures of social behavior.”).

Sedangkan selain ABA dan BIT, terapi-terapi lainnya merupakan terapi tambahan jika diperlukan saja. Hanya dilakukan jika memang ada masalah ter­tentu pada seorang anak.

Penyandang autisme memiliki gangguan pada interaksi sosial (kesulitan dengan hubungan sosial; sebagai contoh, terlihat aneh dan berbeda dari orang lain), komunikasi (kesulitan de­ngan komunikasi verbal maupun non verbal; sebagai contoh tidak mengerti arti dari gerak tubuh, ekspresi muka atau nada/warna suara), imajinasi (kesulitan dalam bermain dan ber­imajinasi; sebagai contoh terbatasnya aktivitas ber­main, mungkin hanya mencontoh dan mengikuti secara kaku dan berulang-ulang), pola perilaku repetitif dan resistensi (tidak mudah mengikuti/ menyesuaikan) terhadap perubahan pada rutinitas.

Sampai belum lama ini, masih banyak orang yang menganggap autisme suatu kondisi yang absolut, tanpa harapan, dan tidak dapat membaik (incurable). Pada­xhal dari hasil penelitian diketahui bahwa intervensi dini intensif berdasarkan prinsip Applied Behavior Analysis (ABA) pada anak-anak autistik dapat mem­berikan “kesembuhan”.

ABA menyebabkan anak-anak autistik mencapai suatu tingkat yang sebe­lumnya dikira merupakan hal yang mustahil. Penyan­dang autisme dikatakan “sembuh”, yaitu bila mereka berhasil masuk ke dalam mainstreaming (sekolah reguler).  

Artinya, mereka dapat masuk dan mengikuti sekolah reguler kemudian berkembang dan hidup mandiri di masyarakat dengan tidak tampak gejala sisa, sehingga sering tidak ada yang menduga bahwa seseorang adalah (mantan) penyandang autisme. Dari hasil penelitian juga dike­tahui, bahwa semakin dini autisme didiagnosis dan ditatalaksana, hasilnya akan semakin baik.

Sebenarnya, manfaat tehnik-tehnik ABA adalah untuk memperbaiki banyak berbagai masalah perilaku telah banyak diperlihatkan dalam ribuan laporan pene­litian. Aplikasi-aplikasi yang sukses telah didokumentasi pada populasi yang berkisar dan pada mereka dengan ketidak­mampuan/gangguan belajar yang sangat berat sampai pada mereka yang dengan intelijensi tinggi. Pada anak yang sangat muda usianya sampai para manula, baik pada program-program terkontrol di ins­titusi-institusi maupun pada lingkungan masyarakat. 

Perilaku-perilaku tersebut berkisar dari keterampilan motorik sederhana sampai pemecahan persoalan inte­lektual kompleks. Peng­gunaan ABA semakin luas aplikasinya, yaitu pada berbagai bidang edukasi, sosial, keperawatan, psikologi klinis, psikiatri, psikologi komunitas, kedokteran, rehabilitasi, bisnis, industri, dan olahraga.

ABA (Applied Behavior Analysis atau yang, dikenal juga sebagai Metode Lovaas) di Indonesia, ABA pertama kali dan mulai luas diprak­tekkan untuk penyandang autisme setelah penulis (dr Rudy Sutadi, SpA, MARS, SpdI) mempopulerkan dan menyebarluaskan penggu­naannya sejak tahun 1997. Sejak beliau menyebar­luaskan penggunaan Tata­laksana Perilaku (ABA/Metode Lovaas) untuk pe­nyan­dang autisme di Indo­nesia, melalui berbagai simposium dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Autisma Indonesia maupun kerjasama dengan berbagai pihak (universitas/fakultas/rumah sakit/dll.), telah banyak orangtua maupun profesional (berdiri sendiri maupun tergabung dalam suatu klinik) yang, mempraktekkannya. Banyak dari mereka yang telah menjalankannya, menda­patkan hasil yang me­muas­kan yaitu dilihat dari kemajuan yang diper­lihat­kan oleh penyandang autisme.

Perilaku

Sebelum membicarakan tatalaksana perilaku, kita harus mengetahui terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan perilaku? Secara sederhana, perilaku adalah “segala sesuatu yang sese­orang katakan atau kerja­kan”.Apakah warna mata seseorang adalah perilaku? Apakah mengejap­-ngejapkan mata adalah perilaku? Apakah baju yang diguna­kan seseorang adalah peri­laku? Apakah berpakaian adalah suatu perilaku?Jika anda mengatakan tidak pada hal yang pertama dan ketiga, dan mengatakan ya pada yang kedua dan keem­pat, maka berarti kita telah mempunyai pengertian yang sepaham.

Apakah mendapat nilai bagus pada suatu ujian, atau turunnya berat badan sampai 5 kilogram meru­pakan perilaku? Bukan. Mereka adalah produk atau hasil dan perilaku.Perilaku yang menghasilkan nilai bagus adalah belajar secara efektif, sedangkan perilaku yang menyebabkan penu­runan berat badan adalah mengatur makan (diet) atau lebih banyak berolahraga. Berjalan-­jalan, berbicara keras-keras, melempar-lempar bola, berteriak-teriak adalah perilaku nyata (overt behavior) yang dapat diob­servasi dan dicatat oleh orang lain.

Jadi, perilaku adalah apa saja yang dapat kita lihat, rasakan atau dengar sese­orang melakukan atau mengatakan (dan juga apa yang kita sendiri katakan dan kerjakan. Ataupun apa yang seseorang/kita tidak lakukan), sebagai respons terhadap stimuli (rangsa­ngan) dari dalam diri sendiri (internal) ataupun dan luar diri (ekstemal). Sehingga, tatalaksana perilaku mem­punyai aspek yang sangat luas.

Bagaimana profesional mendiagnosis seorang anak adalah autistik? Mereka membuat keputusan ini dengan dasar perilaku-perilaku tertentu yang mereka observasi. Sebagai contoh, mereka mungkin mendapatkan bahwa seorang anak : sering hanya meni­rukan perta­nyaan­per­tanya­an tertentu bukannya menja­wab dengan pernya­taan yang tepat. Asyik dengan berbagai perilaku stimulasi diri, seperti duduk sambil mengayun-ayunkan badan­nya maju-mundur, memu­tar-mutar berbagai benda dengan jari-jarinya, atau memainkan dan meman­dangi tangannya. Saat dipanggil, tidak merespons, atau menjauhi orang yang memanggil (lebih umum lagi, menunjukkan perilaku antisosial). Menunjukkan kemampuan yang jauh di bawah usianya pada berba­gai kegiatan bantu-diri, seperti berpakaian, mera­pikan, dan makan.

Banyak perilaku autistik berbeda dari perilaku normal. Perbedaannya yaitu adanya perilaku yang berkelebihan (excessive), dan / atau adanya perilaku yang berke­kurangan (deficient) yang mungkin sampai pada ting­kat yang hampir tidak ada.

Behavioral excesses (pe­rila­ku yang berkelebihan) misalnya mengamuk (tan­trum) dan perilaku stimulasi diri.  Karena intensitas dan frekuensi yang berkelebihan, perilaku-perilaku tersebut merupakan masalah di rumah, dan mengganggu ketika orang tua membawa anak ke tempat-tempat umum. Menga­muk (tant­rum), sebagai contoh, mung­kin pada beberapa anak terjadi. Bahkan jika hanya kemauan kecil saja tidak dituruti. Menyuruh mereka berjalan dengan tenang di supermarket, duduk di restoran, atau berdiri di barisan pada loket penjualan karcis mungkin meng­hasilkan jeritan, tendangan, gigitan dan cakaran. Bebe­rapa menjerit atau tertawa hanya dengan sedikit atau tanpa provokasi. Perilaku-perilaku tersebut juga mengganggu proses belajar.

Ekstrim lain dari perilaku yang berkelebihan seperti contoh di atas, yaitu anak-anak autistik mungkin menunjukkan berbagai kekurangan perilaku (beha­vioral deficit). Misalnya yaitu: Ciri umum mereka adalah gangguan bicara. Mereka mungkin non verbal, atau mungkin mengeluarkan sedikit suara dan kata-kata. 

Anak mungkin mungkin menunjukkan defisit sensasi (indera) yang nyata sehingga kadang disangka tuli. Anak kadang merespons sedemi­kian norrnalnya, tetapi tidak sama sekali pada lainnya, pada pemeriksaan pende­ngaran tidak ditemukan gangguan. Anak sering tidak bermain dengan be­nar. Sebagai contoh, bukann­ya mengendarai truk mai­nan tetapi mem­balikkannya dan memutar-mutar rodanya. Beberapa anak hampir tidak menunjukkan perilaku emosional, misalnya seorang anak mungkin hanya duduk dan memandang ke ruang kosong jika seseorang men­coba menggelitikinya.

Dengan mengetahui ek­ses dan defisitnya, maka penga­jaran/pelatihan anak autistik melalui tatalaksana perilaku adalah dengan tujuan mem­per­baiki hal-hal tersebut. Contoh-contoh tersebut di atas hanya sebagian kecil dari perilaku autistik.

ABA (Applied Behavior Analysis)

Merupakan intervensi dalam pengajaran dan pelatihan anak autistic. Sedangkan BIT (Biomedical Intervention Therapy) meru­pakan manjemen mediknya. Kedua hal ini sering diiba­ratkan dengan komputer, yaitu adanya perangkat keras (hardware) dan pe­rangkat lunak (software, operating system).

ABA merupakan soft­ware yang canggih. Ibarat Windows 7 (seven), hanya bisa dijalankan dengan baik pada komputer minimal i3, tidak mungkin dijalankan pada komputer XT/AT. Untuk meng-upgrade ke­mam­puan “komputer anak”, dilakukan BIT (Biomedical Intervention Therapy)

ABA dimulai walaupun fungsi motorik anak hanya mampu melakukan hal yang paling sederhana. ABA adalah metode yang siste­matis, terstruktur dan terukur sehingga bisa dipelajari dan dikuasai oleh siapapun juga. Kuncinya adalah , MAU, MAU dan MAU.

Sistimatika ABA, yaitu sebagai berikut :
Duduk, kontak mata, kepatuhan. Meniru gerakan motorik kasar. Meniru gerakan motorik halus. Meniru gerakan motorik mulut. Meniru suara. Me­niru suku-kata. Me­ngucap­kan/meniru kata(-kata). Membuat kalimat sederhana (1-2 kata). Membuat kalimat multi-kata. Percakapan 1 arah. Dan terakhir, perca­kapan 2 arah (timbal-balik)

BIT (Biomedical Intervention Therapy)

Terdiri atas restrictive-diet, medikamentosa (obat-obat), dan suplemen. Diet dilakukan terhadap berbagai makanan/bahan makanan apapun yang diketahui mempunyai efek yang tidak baik pada anak. Diet uta­manya terhadap susu dan terigu yang disebut CFGFSF (Casein Free, Gluten Free, Sugar Free) diet. 

Selain CFGFSF tersebut, anak juga harus berpantang terhadap semua makanan/bahan makanan apapun yang diketahui tidak boleh dikon­sumsi dan atau meng­ganggu/merusak sistem nerobiologisnya ataupun memperlihatkan efek masa­lah perilaku, baik yang diketahui dengan pemerik­saan laboratorium yang dilakukan maupun diketahui dari hasil diet rotasi dan eliminasi (RnE diet).

Namun kunci keber­hasilan kesembuhan anak-anak autistik yaitu interven­si dini dengan ABA (Applied Behavior Analysis) dan BIT (Biomedical Intervention Therapy), yaitu intervensi dimulai sebelum usia 3 (tiga) tahun. Semakin muda dari usia 3 tahun tersebut maka hasil yang diperoleh akan semakin baik, dan kemudian pada usia 5 (lima) tahun sudah menguasai bahasa (perhatikan tentang mengua­sai bahasa, bukan hanya bisa berbicara, mohon bedakan dengan jelas antara kemampuan bicara dengan kemampuan bahasa). Me­mang pada beberapa man­tan penyandang autisme kadang ada gejala sisa, namun tidak tampak atau tidak terper­hatikan atau tidak diketahui oleh masya­rakat sebagai gejala sisa. Namun dengan mengutip pendapat dari Prof. Rimland, yaitu seorang ahli dalam bidang autisme di Amerika, sesuai pepatah “If it looks like a duck, walks like a duck, quacks like a duck, it must be a duck”, maka analoginya pada “mantan” penyandang autis­me ini yaitu “If they look recovered, are thought to be recoverd, (that means) they are recovered”.

Namun, bertolak bela­kang dengan kenyataan tersebut di atas, masalahnya di Indonesia saat ini adalah masih banyak tempat-tempat terapi, terapis individual (bukan di tempat-tempat terapi), dan orangtua penyan­dang autisme yang tidak/belum mengenal atau tidak/belum faham tentang ABA (Applied Behavior Analysis) maupun BIT (Biomedical Intervention Therapy). Sehingga tidak melakukan terapi dengan metode ABA dan tidak menjalankan BIT.

Saat ini banyak tempat-tempat terapi bagi anak autistik yang mengklaim menggunakan ABA. Namun sangat disayangkan sebagian besar dari tempat-tempat terapi itu tidak menjalankan ABA sebagaimana mestinya/sesuai dengan ABA yang baik dan benar. Sehingga hal itu tentunya berdampak pada tidak adanya per­kembangan bagi anak-anak autistik meskipun sudah menjalankan terapi pada usia yang sangat dini (<3 4-5="" dan="" kurang="" lankan="" lebih="" menja="" o:p="" sudah="" tahun.="" tahun="" terapi="">

Penelitian Lovaas menun­juk­kan bahwa anak-anak autistik yang ditangani sejak dini (<3 -4="" 2="" 40-60="" 60="" 89="" aba="" adalah="" adanya="" anak-anak="" anak="" asal-asal="" autistik.="" autistik="" bang="" berhasil="" berkem="" dampakanya="" dan="" dijalankan="" diterapi="" gangguan="" ini="" iq="" jam="" jika="" ke="" lainnya="" maka="" masalah="" masuk="" memulai="" mestinya="" metode="" minggu="" pada="" perkembangan.="" progres="" reguler="" saat="" saja="" sebagiaman="" sehingga="" sekolah="" selama="" sembuh.="" seperti="" span="" tahun="" tanpa="" terapi="" tidak="" yang=""> ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar