“Caleg
Penunggu Pohon”
Sumbo Tinarbuko ; Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta,
Relawan Komunitas Reresik Sampah Visual
|
KOMPAS,
24 Desember 2013
SEJAK Pemilu 1999 hingga
sekarang, alat peraga kampanye, secara komunikasi visual, tidak bersalin
wajah. Para caleg yang berburu ”kekuasaan” senantiasa menampilkan jati
dirinya seperti halnya desain kartu tanda penduduk.
Di sudut kiri, terpampang foto
wajahnya yang diatur sedemikian rupa agar secara visual tampil rupawan dan
cantik memesona. Di sebelahnya dihadirkan catatan kesuksesan sang caleg. Di
antara catatan kesuksesan itu, tertulis deretan gelar akademis, gelar
kebangsawanan, gelar keagamaan, hubungan kekerabatan dengan tokoh parpol dan
status sosial lain. Di bawahnya dituliskan pula janji politik sang caleg.
Selama hampir 15 tahun, terhitung
sejak 1999, rakyat Indonesia alias calon pemilih selalu disuguhi alat peraga
kampanye bersifat paritas dan bergaya visual narsisisme. Caleg yang
menerapkan strategi narsisisme—dengan memasang deretan gerbong gelar akademis,
gelar kebangsawanan, gelar keagamaan, dan hubungan kekerabatan dengan tokoh
parpol—ditengarai belum mempunyai pengalaman dan kompetensi memadai di jagat
politik.
Tebar sampah visual
Harus diakui, sejatinya mereka
belum memiliki prestasi politik yang teruji ruang dan waktu. Selain itu,
mereka yang bertarung sebagai caleg mesti rela berdarah-darah dalam
pengertian yang sebenarnya. Syarat berikutnya, mereka harus cerdas dan cepat
mengelaborasi beragam permasalahan yang muncul di tataran akar rumput. Terpenting,
mereka harus cermat, tangkas, dan trengginas menyusun pemecahan masalah
berikut solusinya atas permasalahan yang berkembang di daerah yang
diwakilinya.
Gaya visual narsisisme senantiasa
menjadi trending topic dalam perhelatan pemilu 15 tahun terakhir ini.
Efek visual yang muncul, jagat percalegan akan menuai masa paceklik saat gaya
visual narsisisme dijadikan pakem visual pembuatan alat peraga kampanye.
Sejarah mencatat, ladang pemilu
tidak mampu membuahkan panen raya anggota legislatif yang mumpuni. Dengan
demikian, pelan tetapi pasti, kekhawatiran lembaga legislatif tidak serius
memperjuangkan nasib rakyat akan menuju orbit kenyataan. Akankah Pemilu 2014
mengulang hasil kelam pemilu lalu?
Sementara itu, secara sepihak,
lokasi yang dianggap strategis pun dikapling dan dikuasai para caleg
peserta Pemilu 2014. Mereka dengan penuh percaya diri hadir di seantero ruang
publik, ruang terbuka hijau, taman kota, dan di antara rindangnya pepohonan.
Di tempat itu, para caleg seakan mengajak berkomunikasi calon pemilihnya
lewat alat peraga kampanye.
Mereka tanpa malu dan ewuh
pakewuh membentangkan dirinya dalam bentangan spanduk, rontek, billboard,
dan baliho yan g ditancapkan dan dipakukan di batang pohon.
Karena perilaku negatif semacam itu, Komunitas Reresik Sampah Visual
menjulukinya sebagai ”caleg penunggu pohon”. Ujungnya, ”caleg penunggu
pohon” justru menebar rasa antipati di calon pemilih. Pola komunikasi politik
yang dijalankannya cenderung memaksakan kehendak pribadinya.
Obral janji politik
Hal itu terlihat saat ”caleg
penunggu pohon” belum menjadi anggota legislatif, tetapi realitas sosialnya
sudah bertindak adigang, adigung, adiguna lewat pemasangan alat peraga
kampanye yang amburadul, tidak ramah lingkungan, dan mengabaikan ekologi
visual. Selain itu, kenyataannya mereka belum resmi menjadi anggota dewan.
Namun, secara terstruktur mereka sengaja melanggar Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 15 Tahun 2013. Mereka dengan kesadaran penuh menebar sampah visual
iklan politik di ruang publik.
Apologinya, demi mengejar aspek popularitas di
tengah calon pemilih yang belum mengenal dirinya.
Di antara kesibukannya menebar
sampah visual iklan politik, para ”caleg penunggu pohon” lewat bentangan
spanduk, rontek, dan baliho yang jadi andalannya juga menjalankan ritual
obral janji politik. Seperti apakah janji politik yang diobral para ”caleg
penunggu pohon?” Biasanya berupa janji surga.
Sebuah janji politik yang
realitas sosialnya sulit diejawantahkan.
Seperti ini bunyi janji politik
tersebut: piye kabare isih penak zamanku to?; mengutamakan aspirasi
rakyat; awali dari kita untuk kesejahteraan bersama; bersih peduli tegas;
berkarya untuk satu; bangun Indonesia dengan cinta, kerja, dan harmoni;
tertawa dan menangis bersama rakyat; berjuang untuk rakyat; berbakti dengan
hati; mengangkat yang terbuang, menjemput yang tertinggal; serta merakyat
menunaikan amanat rakyat.
Dalam berkampanye, kenapa ”caleg
penunggu pohon” menjalankan strategi komunikasi obral janji politik? Kenapa
mereka meniru pengelola mal atau pusat perbelanjaan yang suka menggelar obral
diskon? Ditengarai, ”caleg penunggu pohon” merupakan caleg panik yang dikejar deadline untuk
memperkenalkan dirinya kepada calon pemilih di daerah pemilihannya. Caleg
seperti itu adalah caleg instan yang tidak memiliki dukungan riil di tengah
masyarakat calon pemilih.
Karena dosa sosial semacam itulah
mereka akhirnya membenamkan diri bersama obral janji yang dikemas dalam iklan
politik dengan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep
semacam ini sebab diyakini mujarab mendongkrak popularitas ”caleg
penunggu pohon”.
Apa yang terjadi kemudian?
Realitas lapangan menunjukkan arah jarum yang berputar terbalik.
Barangkali, secara kasatmata mereka populer di depan mata calon pemilih.
Namun, realitas sosial mengabarkan sebaliknya. Kenyataannya: aspek
elektabilitasnya mengarah kepada satu titik nadir. Artinya, popularitas
”caleg penunggu pohon” yang didongkrak lewat tebaran sampah visual iklan
politik yang ditancapkan di ruang publik dalam bentuk alat peraga kampanye,
fakta visualnya tidak dengan serta-merta dipilih rakyat.
Cukupkah ”caleg penunggu pohon”
bermodalkan popularitas dan gelontoran fulus untuk belanja alat peraga
kampanye? Tidak cukup. Pengalaman lapangan yang sudah teruji ruang dan
waktu harus menjadi modal sosial ”caleg penunggu pohon”. Kualitas merek
sang caleg jauh lebih penting daripada sekadar obral janji politik
dan gembar-gembor mempromosikan dirinya bagaikan tong kosong berbunyi
nyaring. Itu karena kualitas merek sang caleg yang kuat positioning-nya
dapat dibuktikan lewat segepok karya nyata yang bermanfaat demi kemaslahatan
rakyat Indonesia. Bukan justru dibuktikan lewat tebaran sampah visual iklan
politik yang dibentangkan dan ditancapkan ”caleg penunggu pohon” di seantero
ruang publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar