Selasa, 24 Desember 2013

Menyiapkan Akreditasi Institusi

Menyiapkan Akreditasi Institusi
Ki Supriyoko  ;   Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta; Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education yang Bermarkas di Tokyo, Jepang
KOMPAS,  24 Desember 2013

  

ISU aktual di perguruan tinggi sekarang ini adalah masalah akreditasi, baik akreditasi program studi maupun akreditasi institusi, atau lengkapnya akreditasi institusi perguruan tinggi.

Kedua jenis akreditasi itu dilakukan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), satu-satunya badan akreditasi yang diakui pemerintah sebagaimana disebutkan dalam UU.

Akreditasi program studi (prodi) bukan barang baru; semua prodi perguruan tinggi di Indonesia sudah mengikuti akreditasi jenis ini, setidaknya sudah mengajukan kepada BAN-PT dan menunggu giliran divisitasi. Permasalahan akreditasi prodi adalah relatif lamanya prodi mendapat giliran divisitasi asesor BAN-PT. Banyak prodi menunggu sampai satu tahun belum mendapat giliran divisitasi. Relatif lamanya proses akreditasi ini membawa dampak yang membuat repot perguruan tinggi; misalnya menyangkut penerbitan ijazah bagi alumninya.

Dua ekstremitas

Berbeda dengan akreditasi prodi, akreditasi institusi perguruan tinggi (AIPT) belum banyak dikenal masyarakat, termasuk warga perguruan tinggi. Isu mengenai AIPT bergerak dalam dua ekstremitas, yaitu kewajiban perguruan tinggi untuk menjalankan AIPT dan kuota akreditasi. Apakah AIPT hukumnya wajib diikuti oleh perguruan tinggi? Marilah kita telaah bersama.

Pasal 28 Ayat (3) UU Pendidikan Tinggi menyatakan, gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh menteri apabila dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan/atau prodi yang tak terakreditasi; sementara Ayat (4) menyatakan, gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh menteri apabila dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan/atau prodi yang tidak terakreditasi.

Kalau kita memilih kata penghubung dan dalam ketentuan tersebut, maka gelar akademik, gelar vokasi, dan gelar profesi dinyatakan tidak sah apabila dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan prodi yang tidak terakreditasi. Artinya, agar dinyatakan sah, maka gelar akademik, gelar vokasi, dan gelar profesi harus dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan prodi yang dua-duanya terakreditasi. 
Dengan demikian, AIPT hukumnya menjadi wajib.

Kalau kita memilih kata penghubung atau, maka gelar akademik, gelar vokasi, dan gelar profesi dinyatakan tidak sah apabila dikeluarkan oleh perguruan tinggi atau prodi yang tak terakreditasi. Artinya, agar dinyatakan sah, gelar akademik, gelar vokasi, dan gelar profesi harus dikeluarkan oleh perguruan tinggi atau prodi terakreditasi. Dengan demikian, AIPT hukumnya tidak wajib jika prodi sudah terakreditasi; atau AIPT hukumnya wajib jika prodi tak terakreditasi.

Merujuk Surat Edaran Dirjen Dikti Kemdikbud No 160/E/AK/ 2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi tertanggal 1 Maret 2013 yang berdampak semua prodi pada perguruan tinggi di Indonesia menjadi terakreditasi, maka AIPT hukumnya tak wajib.

Pendapat lain menyatakan, AIPT hukumnya wajib. Pendapat ini, di samping didasarkan pesan Pasal 28 UU Pendidikan Tinggi, juga Pasal 61 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pasal 61 Ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/ atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi. Dalam hal ini, yang dimaksud satuan pendidikan adalah institusi, bukan prodi; jadi AIPT hukumnya wajib.

Dana masyarakat

Dengan mengacu berbagai ketentuan itu, dapat diinterpretasi bahwa AIPT hukumnya wajib. Faktanya, BAN-PT sendiri telah melakukan sosialisasi kepada perguruan tinggi. Problematikanya mengenai kuota akreditasi.

Belajar dari pengalaman yang lalu; pada 2012 hanya 30 perguruan tinggi yang dilakukan AIPT dan pada 2013 jumlahnya sama 30. Terbatasnya kuota akreditasi ini akibat terbatasnya dana pemerintah yang dilokasikan untuk AIPT. Kalau jumlah perguruan tinggi di Indonesia, baik PTN maupun PTS, sekarang ini 3.300-an institusi, sementara kuota akreditasi hanya 30 institusi per tahun, perlu waktu 110 tahun untuk melaksanakan AIPT terhadap seluruh perguruan tinggi. Ini sungguh angka yang tidak masuk akal. Kalau ini terjadi, pasti akan menimbulkan kekacauan luar biasa di lingkungan perguruan tinggi.

Bagaimana kalau AIPT itu di samping menggunakan dana pemerintah, juga menggunakan dana masyarakat, khususnya dana perguruan tinggi yang akan di-AIPT? Alternatif ini pantas didiskusikan meskipun mengandung kelemahan tentang dana perguruan tinggi yang berpotensi memengaruhi hasil akreditasi.

Lepas dari itu semua, AIPT memang perlu disiapkan secara cermat, bukan saja oleh perguruan tinggi, melainkan juga oleh pemerintah serta BAN-PT!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar