Selasa, 24 Desember 2013

Pemenuhan Hak Ekosob

Pemenuhan Hak Ekosob
Hendardi  ;   Ketua Badan Pengurus Setara Institute
KOMPAS,  24 Desember 2013

  

DEKLARASI Universal HAM yang diadopsi Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948, tak hanya mencakup hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pada 16 Desember 1966 diadopsi dua perjanjian pokok: Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Setiap negara wajib merealisasikan hak tersebut. Jika menunaikan kewajiban memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), negara, khususnya pemerintah, berperan aktif mengatur, merencanakan, dan melaksanakan program ekonomi, sosial, dan budaya berdasarkan indikator hasil, kewajiban menghormati, dan melindungi hak sipil dan politik, negara berperan secara terbatas, bahkan harus absen, ketika menghormati hak setiap orang.

Tulisan ini memetakan beberapa masalah hak ekosob yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah memajukan realisasinya. Kewajiban ini diperkuat dengan komitmen hukum setelah ratifikasi KIHESB melalui legislasi UU No 11/2005.

Dengan pengesahan kovenan itu, pemerintah wajib secara hukum memenuhi hak ekosob, yaitu hak atas pekerjaan, hak atas upah yang layak dan jaminan atas kondisi kerja yang aman dan sehat, hak atas kebebasan berserikat buruh, hak atas jaminan sosial, hak berkeluarga serta ibu dan anak, hak atas pangan dan perumahan, hak atas kesehatan dan pelayanan medis, hak atas pendidikan, serta hak mendapatkan manfaat dan partisipasi dalam kebudayaan.

Salah satu rumpun hak ekosob yang terus menjadi tantangan dalam pemenuhan kewajiban pemerintah adalah hak atas pekerjaan. Hak ini memiliki efek berantai terhadap pemenuhan hak ekosob lain meski setiap hak tidaklah berdiri sendiri, tetapi bergantung dan berkait. Bagaimana kaitan antara hak atas pekerjaan dengan hak ekosob lainnya?

Jika hak atas pekerjaan tak terpenuhi, orang tak punya upah atau penghasilan (nafkah) sehingga tak dapat dikelompokkan sebagai buruh atau pekerja. Ia kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya: makan dan minum, pakaian, perumahan, pendidikan, pelayanan medis, atau mengakses aktivitas kebudayaan.

Masalah pemerintah adalah penganggur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2013, 7,39 juta orang berstatus sebagai penganggur terbuka, sementara 10,89 juta orang sebagai setengah penganggur dan 25,92 juta sebagai pekerja paruh waktu. BPS Jawa Barat menyebutkan, selama Agustus 2012 dan Agustus 2013 penganggur bertambah 41.663 orang menjadi 1.870.649 orang; naik 0,14 persen dari 9,08 persen menjadi 9,22 persen.

Masalah pengangguran itu masih ditambah lagi dengan pemecatan (PHK). Asosiasi Pengusaha Indonesia memperkirakan PHK berjumlah 200.000 buruh menyusul aksi pemogokan jutaan buruh selama 31 Oktober hingga 1 November lalu ataupun PHK terkait kenaikan upah. BPS menyebut 44.000 buruh di-PHK selama semester I 2013.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengakui pertumbuhan ekonomi memang naik, tetapi jumlah penganggur juga berpotensi meningkat. Tambahan angka penganggur ini diiringi pula dari mereka yang kehilangan pekerjaan di sektor informal, baik karena digusur pemerintah kota maupun usahanya gulung tikar.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengungkapkan, 1,1 juta penganggur lulusan perguruan tinggi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana menemukan kesulitan yang dihadapi kaum muda yang ditegaskan lima kali lebih sulit mencari pekerjaan ketimbang orang dewasa.

Selain masalah pemenuhan hak atas pekerjaan, tingkat upah pun rendah atau penghasilan minim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang mengklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi dan terbaik di ASEAN, tetapi masalahnya justru upah buruh di Indonesia yang terendah dibandingkan dengan negeri tetangga itu. Kebijakan pemerintah menetapkan upah rendah ini sesuai dengan kepentingan para pengusaha.

Peta tantangan

Karena sebagian bersumber dari kesulitan memenuhi hak atas pekerjaan dan upah yang layak, pemenuhan hak ekosob menandai efek berantai. Pertama, meski BPS memberi catatan ”bagus” bagi pemerintah dengan mengungkapkan bahwa pada Maret 2013 penduduk miskin 28,07 juta orang atau 11,37 persen dari jumlah penduduk. Turun 0,5 persen. Namun, jumlah orang miskin ini bakal bertambah dengan PHK dan kehilangan pekerjaan bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Tingkat upah yang sangat rendah juga berkontribusi bagi angka kemiskinan.

Kedua, efek tanpa pekerjaan mengakibatkan sebagian penduduk sulit memenuhi kebutuhan mereka, antara lain pemenuhan kebutuhan pangan. Banyak ditemukan kasus rawan pangan seperti kasus gizi buruk 300 anak di dua Kecamatan Teluk Naga dan Kosambi, Kabupaten Tangerang. Kasus ini juga tersebar terutama di NTT dan NTB.

Ketiga, tanpa pekerjaan dan tanpa penghasilan menyeret sejumlah orang terdampar sebagai gelandangan dan pengemis. Masalah ini diperparah dengan persepsi dan kebijakan pemerintah kota dan kabupaten yang merazia mereka, dilabel sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial dan dapat dipenjara.

Keempat, sesuai dengan UUD 1945, sektor pendidikan sedikitnya mendapat 20 persen APBN, tetapi kenyataannya banyak anak putus sekolah. Tahun 2010, anak usia sekolah (7-15 tahun) yang terancam putus sekolah berjumlah 1,3 juta orang. Tingginya angka putus sekolah ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-69 dari 127 negeri yang dilaporkan UNESCO pada 2011.

Satu contoh adalah angka putus sekolah di Surabaya yang 53.464 pada 2009 seperti dilaporkan Wali Kota Bambang Dwi Hartono kepada DPRD Surabaya. Ada dana Rp 15,5 miliar bantuan untuk sekolah, tetapi tak terserap atau tak tersalurkan karena tidak satu pun keluarga miskin yang memohon bantuan untuk biaya sekolah anaknya.

Masalah lain adalah pemenuhan hak ekosob dalam kesehatan untuk kebutuhan pengobatan dan pelayanan medis ataupun partisipasi dalam budaya.

Kiranya pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota perlu menyusun perencanaan terpadu dalam kaitannya dengan pemenuhan hak atas pekerjaan dan upah. Pemerintah dituntut transparan dan akuntabel dalam rencana dan realisasi anggaran. Peneguhan prinsip dalam sikap ini berguna mengurangi korupsi atau penyelewengan lain sebab korupsi berdampak pada berkurangnya pemenuhan hak tersebut.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar