Rabu, 01 Mei 2013

Tangan Asing di Impor Daging


Tangan Asing di Impor Daging
Nabiel Al-Musawa ;  Ketua Kelompok Komisi IV Fraksi PKS,
Anggota Panitia Kerja RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan
REPUBLIKA, 30 April 2013


Mengawali kuartal pertama 2013, ekonomi pertanian Indonesia mengalami turbulensi yang cukup menekan. Kelangkaan bahan pangan, seperti daging sapi, bawang, dan disusul dengan cabai, menyebabkan harganya melonjak. Tingginya harga membuat konsumen di tingkat rumah tangga enggan membeli daging sapi dan mengurangi konsumsi bawang serta cabai. Padahal, tingkat rata-rata per kapita konsumsi daging sapi Indonesia paling rendah di Asia Tenggara: cuma dua kilogram per tahun. Akibatnya, pasar lesu dan pedagang pun buntung.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, jumlah impor daging sapi yang dilakukan Indonesia menurun menjadi 40.338 ton, dari 102.850 ton pada 2011. Selama 2012 Indonesia masih mengimpor sapi hidup dari Australia senilai 285,9 juta dolar AS (101,4 ribu ton). Jumlah ini menurun dari 2011 nilainya 328 juta dolar AS (122,4 ribu ton). Impor daging sapi dari Amerika Serikat (AS) juga menurun, dikarenakan merebaknya kasus sapi gila di California, Amerika Serikat.

Pemerintah AS dengan dukungan Australia tanpa diduga mengajukan langkah notifikasi dan keberatan kepada Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, atas pembatasan impor produk hortikultura yang dilakukan Indonesia. Langkah notifikasi AS juga memuat keberatan atas pembatasan dan pengaturan impor hewan dan produk hewan, khususnya sapi. Persoalan impor daging sapi dan sapi bakalan sangat erat terkait dengan kepentingan Australia sebagai sekutu dekat AS. Sebab, nyaris 100 persen impor sapi berasal dari sana. 

Lantas mengapa Indonesia terus bergantung pada Australia? Padahal, data Sensus Sapi 2011 menunjukkan bahwa populasi sapi di Indonesia mencapai 14,8 juta ekor. Artinya, bukankah Indonesia bisa mencukupi kebutuhan daging sapi sendiri alias sudah swasembada?

Fakta di lapangan, tidak semua populasi sapi itu berupa stok aktif sapi potong. Itu karena sekitar 4,6 juta peternak lokal menyimpan sekitar dua-tiga ekor sebagai investasi. Sapi-sapi yang ada saat ini masih dimiliki oleh masyarakat, bukan dimiliki secara industri, artinya masyarakat baru menjual ternaknya jika ada kebutuhan mendesak. Hal ini lah yang diduga menjadi salah satu sebab sedikitnya pasokan daging sapi lokal ke pasar nasional di tengah bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat.

Indikasi Pelanggaran

Penulis memperoleh informasi bahwa terjadi aksi mogok rumah potong hewan (RPH) oleh pelaku usaha yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Sapi Daging Segar (PPSDS) Jawa Timur yang berlangsung pada pertengahan November 2012. Kondisi ini membuat para jagal mengaku tidak dapat beroperasi dan pedagang daging tidak berjualan karena minimnya pasokan sapi. 

Aksi ini tertuang dalam kesepakatan tertulis yang ditandatangani sejumlah pelaku usaha. Dengan demikian, penulis mendapatkan petunjuk dalam memperkuat dugaan kartel yang berakibat kelangkaan dan kenaikan harga sapi di masyarakat. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 11 dan Pasal 24 Undang-undang No 5 Tahun 2009 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tim Kementerian Pertanian juga menemukan indikasi praktik kecurangan di Rumah Potong Hewan (RPH) sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang menyebabkan kelangkaan pasokan di kawasan ini. Kementan menemukan separuh RPH menolak memotong sapi lokal dan hanya mau memotong sapi asal Australia. Hal ini menunjukkan adanya kesengajaan diskriminasi RPH terhadap sapi lokal Indonesia. Setidaknya 50 persen dari 92 RPH di Jakarta dan sekitarnya sudah tidak mau memotong sapi lokal. 

Kondisi tersebut terjadi sejak ada audit tim independen Australia di RPH secara berkala. Keengganan RPH terjadi karena pihak Australia mengancam tidak akan lagi memasok rumah potong langganannya di Jakarta dan sekitarnya jika menerima pemotongan sapi lokal. Dari berbagai informasi yang dihimpun oleh penulis sangat kuat adanya dugaan ke pemilikan silang perusahaan importir sapi bakalan dengan eksportirnya di Australia. 

Petunjuk tersebut saling melengkapi dengan hasil investigasi Kementerian Pertanian. Diduga, kepemilikan silang tersebut mempermudah proses menahan dan mengirimkan sapi bakalan ke Indonesia. Pelaku usaha yang menyediakan stok sapi bakalan siap potong dapat memboikot pasokan ke RPH tertentu. Boikot ini berupa ancaman larangan RPH di beberapa daerah untuk memotong sapi lokal. Hal ini menjadikan daerah-daerah tersebut kekurangan pasokan karena sapi lokal tidak ada yang dipotong sehingga harga daging sapi akan tetap tinggi dan importir sapi bakalan yang menikmati harga tinggi ini.

Berdasarkan data dan fakta yang saya sampaikan di atas, dapat diambil secara garis besarnya bahwa terdapat indikasi adanya pelanggaran Pasal (5), Pasal (11), Pasal (24), dan Pasal (27) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lembaga-lembaga terkait seperti KPK, kepolisian, dan KPPU perlu untuk segera membongkar semua yang terlibat dalam praktik kartel impor daging sapi. Praktik ini menunjukkan adanya persaingan tidak sehat dalam impor dan distribusi daging sapi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar