Rabu, 01 Mei 2013

Pengalihan Subsidi BBM


Pengalihan Subsidi BBM
Razali Ritonga ;  Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
REPUBLIKA, 30 April 2013

  
Meningkatnya subsidi BBM dalam beberapa tahun terakhir ini kian membebani APBN sehingga dikhawatirkan akan menggerus anggaran kegiatan pembangunan di sektor lainnya, terutama kesehatan. Pada 2013 subsidi BBM mencapai Rp 193,8 triliun, sedangkan subsidi kesehatan pada 2013 hanya sebesar Rp 16,6 triliun. 

Secara faktual, subsidi kesehatan da lam beberapa tahun terakhir hanya sekitar dua persen dari APBN. Boleh jadi, kecilnya subsidi kesehatan itu sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya masalah kesehatan. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam Rapat Kerja Nasional Kesehatan 2013 menyebutkan bahwa sembilan dari 51 indikator kesehatan menunjukkan masalah serius. Lebih jauh, Menkes mengungkapkan, empat indikator di antaranya berstatus kuning, yakni umur harapan hidup, persalinan yang ditolong tenaga terlatih, pengetahuan HIV/AIDS, dan kepemilikan jaminan kesehatan. Sementara lima indikator lainnya berstatus merah, yaitu angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka total kelahiran, akses air minum, dan kasus malaria.

Tidak Proporsional
Secara umum, anggaran kesehatan di Indonesia tidak proporsional dengan besarnya pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Dari sisi pendapatan per kapita, hal itu dapat dicermati dengan sejumlah negara yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dari Indonesia, seperti Kamboja dan Vietnam. Kamboja dengan pendapatan per kapita sebesar 2.095 dolar AS, pengeluaran per kapita kesehatannya sebesar 110 dolar AS. 
Sementara, Vietnam dengan pendapatan per kapita sebesar 2.970 dolar AS pengeluaran kesehatan per kapitanya sebesar 204 dolar AS. Adapun nilai pendapatan per kapita di Indonesia sebesar 4.154 dolar AS, tetapi pengeluaran per kapita kesehatannya hanya sebesar 100 dolar AS (WHO, 2012). 

Selanjutnya, dari sisi jumlah penduduk, rendahnya anggaran kesehatan di Indonesia dapat dibandingkan dengan negara berpenduduk terbesar pertama dan kedua di dunia, yaitu Cina dan India. Cina dengan penduduk lebih dari 1,3 miliar jiwa mampu mengalokasikan pengeluaran kesehatan per kapitanya jauh lebih tinggi dari Indonesia yakni sebesar 347 dolar AS. Sedangkan India dengan penduduk sekitar 1,2 miliar jiwa, pengeluaran kesehatan per kapitanya sebesar 124 dolar AS (WHO, 2012). 

Rendahnya pengeluaran kesehatan di Tanah Air juga dapat dideteksi berdasarkan porsi pengeluaran kesehatan dari produk domestik bruto (PDB).
Tercatat, pengeluaran kesehatan di Indonesia hanya sebesar 2,6 persen dari PDB. Sedangkan Kamboja dan Vietnam masing-masing sebesar 5,6 persen dan 6,8 persen, serta India dan Cina masing-masing sebesar 4,1 persen dan 5,1 persen dari PDB (OECD, 2012). 

Pengeluaran kesehatan memang perlu diperbesar, terutama untuk membiayai berbagai aspek kesehatan dari hulu hingga hilir. Aspek hulu kesehatan mencakup unsur preventif, seperti air bersih, sanitasi lingkungan, dan pangan.
Sedangkan aspek hilir kesehatan meliputi unsur kuratif dan rehabilitatif, seperti ketersediaan tenaga medis, obat-obatan dan infrastruktur layanan kesehatan. 

Subsidi Kesehatan
Di tengah keterbatasan APBN, memang tidak mudah untuk memperbesar subsidi kesehatan. Meski demikian, hal itu masih dapat diupayakan, yaitu dengan merestrukturisasi APBN dengan mengurangi subsidi BBM. Jika pemerintah, misalnya, dapat menurunkan subsidi BBM sebesar sepertiga dari anggaran yang ditetapkan pada 2013 sebesar Rp 193,8 triliun maka anggaran yang dihemat dapat mencapai sebesar Rp 64,6 triliun.

Pengurangan subsidi BBM m mang akan berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat yang berarti akan menurunkan konsumsi pangan dan mengurangi kemampuan dalam pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Menurunnya kemampuan pemeliharaan kesehatan, misalnya, akan kian memperparah kondisi kesehatan masyarakat mengingat pencapaian derajat kesehatan masyarakat saat ini cukup rendah.

Namun, kekhawatiran menurunnya derajat kesehatan masyarakat itu bisa diantisipasi, antara lain, dengan meningkatkan subsidi kesehatan dari pengalihan sebagian subsidi BBM hingga pada besaran yang memadai. Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa besaran anggaran kesehatan berjalan seiring dengan pencapaian derajat kesehatan masyarakatnya. Di Mexico, misalnya, dengan kombinasi Oportunidades Programme dan bantuan tunai serta layanan kesehatan gratis dapat menurunkan angka kematian bayi hingga 17 persen dan angka kematian ibu hingga 11 persen dalam tiga tahun (Barham, 2010).

Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat sebagai dampak dari bertambahnya anggaran kesehatan pada negara dengan kondisi sosial ekonomi rendah berjalan seiring dengan pencapaian angka umur harapan hidup. Vietnam, misalnya, dengan alokasi anggaran kesehatan yang lebih besar dari Indonesia dapat meraih angka harapan hidup lebih tinggi. Tercatat, angka harapan hidup di Vietnam sebesar 74,6 tahun, sedangkan angka harapan hidup di Indonesia hanya sebesar 68,5 tahun (WHO, 2012a).
Lebih jauh, dengan memperbesar anggaran kesehatan, hal itu sekaligus akan sangat membantu pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs), terutama dalam penurunan angka kematian bayi, anak, dan ibu. Bahkan, pencapaiannya bisa melebihi dari yang diharapkan berdasarkan kebijakan pembangunan dengan trickle down effect atau efek menetes ke bawah (UNICEF, 2010). 

Fakta itu sekaligus mengisyaratkan bahwa pengalihan sebagian subsidi BBM untuk subsidi kesehatan berpotensi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, terutama masyarakat tak mampu. Eloknya, upaya meningkatkan derajat kesehatan itu juga sejalan dengan tuntutan globalisasi untuk mengakselerasi kapabilitas penduduk di Tanah Air agar mampu bersaing pada tataran global. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar