|
SINAR HARAPAN, 30 April 2013
Korea baru
dibebaskan dari pendudukan Jepang sewaktu Jepang menyerahkan diri secara tidak
bersyarat kepada para negara Sekutu pada 15 Agustus 1945.
Akan
tetapi, berdasarkan persetujuan antara negara-negara Sekutu Barat (Amerika dan
Inggris) dan Uni Soviet, Uni Soviet berjanji akan ikut berperang dengan Jepang
jika Jerman telah dikalahkan oleh negara Sekutu.
Menurut
Profesor Peter Drysdale dari Universitas Nasional Australia (ANU), bergabungnya
Uni Soviet dalam perang terhadap Jepang adalah faktor utama mengapa Jepang
kemudian menyerah tanpa syarat kepada negara-negara Sekutu.
Korea
kemudian terbagi dalam dua bagian sepanjang garis lintang 38 derajat, yaitu
bagian Utara yang diduduki tentara Soviet, dan bagian Selatan yang diduduki
tentara Amerika. Republik Demokrasi Rakyat Korea (Korea Utara) diproklamasikan
Kim Il-sung, presiden pertama Korea Utara pada 9 September 1948, yaitu tiga
minggu setelah Republik Korea (Korea Selatan) diproklamasikan. Pada akhir 1948
tentara Amerika dan Uni Soviet meninggalkan semenanjung Korea.
Akan
tetapi, sewaktu tentara Korea Utara menyerbu Korea Selatan pada akhir Juni
1950, harapan untuk mempersatukan Korea Selatan dan Korea Utara pudar.
Presiden
Korea Utara yang pertama dan Pemimpin Partai Buruh Korea, Kim Il-sung
(1912-1994), yang selama pendudukan Jepang memimpin perang gerilya terhadap
tentara pendudukan Jepang, memanfaatkan Perang Korea untuk menghancurkan
oposisi internal dari kelompok pejuang gerilya yang selama pendudukan Jepang
merupakan kawannya.
Setelah
suatu kup terhadap kekuasaannya pada 1956 gagal, Kim Il-sung nyaris mempunyai
kekuasaan absolut di Korea Utara.
Menanggapi
perpecahan ideologi yang makin lebar antara Uni Soviet dan Republik Rakyat
China, Kim Il-sung pada akhir 1955 menciptakan ideologi juche (berdikari) untuk
mendukung kemandirian Korea Utara.
Meskipun
pada awalnya Kim Il-sung berusaha menghindari diri dari pertikaian antara Uni
Soviet dan China, akhirnya ia kehilangan kepercayaan dari kedua belah pihak.
Kim kemudian menyimpulkan bahwa hanya suatu kebijakan yang otoriter dalam
bidang ekonomi, pertahanan, ideologi, dan kebijakan luar negeri dapat menjamin
kemerdekaan bangsa Korea (Utara) dan ketahanan rezimnya.
Kejutan
Nixon
“Kejutan
Nixon” (Nixon Shock) pada 1971 mempunyai dampak besar atas Korea Selatan maupun
Korea Utara. Akibat “kejutan” ini, para pemimpin dari kedua negara ini
dihinggapi ketidakpastian tentang sekutu besar mereka. Hal ini mendorong kedua
negara ini untuk menjajaki kemungkinan hubungan yang lebih dekat antara mereka.
Pada
1972 kepala dinas intelijen Korea Selatan mengadakan kunjungan rahasia ke Korea
Utara. Berkat pertemuannya dengan Kim Il-sung, dimulai suatu dialog yang
berlangsung cukup lama, meskipun dengan hasil dan intensitas yang bervariasi.
Kekuatan
politik di Korea Utara adalah Partai Buruh Korea. Akan tetapi, Kongres Partai
Buruh Korea terakhir (Kongres yang Ke-6) telah berlangsung pada 1980, dan sejak
1990-an peran tentara telah meningkat secara berarti sejak putra Kim Il-sung,
Kim Jong-il, menjadi pemimpin Korea Utara yang baru setelah Kim Il-sung meninggal
pada 1994, tidak lama setelah mantan Presiden Amerika, Jimmy Carter, melakukan
kunjungan muhibah pribadi ke Korea Utara.
Setelah
menjadi pemimpin Korea Utara yang baru, Kim Jong-il selama tiga tahun tidak
banyak tampil di umum, yang memang bertepatan dengan masa berkabung tradisional
Korea. Akan tetapi, pada 1997 Kim Jong-il secara resmi diangkat sebagai
Sekretaris Jenderal Partai Buruh Korea.
Pada
1998 suatu amendemen dalam Konstitusi Korea Utara mengangkat Ketua dari Komisi
Pertahanan Nasional, yaitu Kim Jong-il, sebagai penguasa paling tinggi di Korea
Utara. Dalam mukadimah Konstitusi Korea Utara dari 1998, mendiang Kim Il-sung
diangkat sebagai Presiden abadi Korea Utara.
Pada
1994 krisis internasional pertama yang diakibatkan program nuklir Korea Utara dapat
dipecahkan dalam rangka Kerangka Persetujuan yang telah disetujui bersama Korea
Utara, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Berdasarkan persetujuan ini
didirikan Organisasi Pembangunan Energi Semenanjung Korea (Korean Peninsula Energy Development Organization, KEDO) untuk
mengawasi pembangunan pabrik tenaga nuklir untuk menggantikan reaktor nuklir
tua yang dapat menghasilkan uranium yang diperlukan untuk membuat bom nuklir.
Akan
tetapi, pembangunan reaktor ini tidak berjalan sesuai rencana, karena pada 2002
terungkap bahwa Korea Utara telah memulai lagi program nuklirnya. Hal ini
mengakibatkan krisis nuklir yang kedua.
Untuk
memecahkan krisis ini, diusahakan pemecahan multilateral, yaitu Pertemuan Multilateral Enam Pihak antara kedua
Korea, China, Jepang, Rusia, dan Amerika. Namun, hingga kini pertemuan ini
belum membuahkan hasil yang diinginkan, karena pada Februari 2005 Korea Utara
secara resmi menyatakan diri sebagai negara yang memiliki bom nuklir.
Industri
Berat
Tetapi,
fokus utama Korea Utara untuk membangun tentara yang besar (tentara yang empat
terbesar di dunia setelah China, Amerika, dan Rusia) mengakibatkan pada 1995,
1996, dan 1997 telah terjadi wabah kelaparan yang gawat yang mengakibatkan
banyak warga Korea Utara meninggal.
Namun,
hal ini sudah dapat diperkirakan karena kebijakan ekonomi Korea Utara yang
mengutamakan pembangunan industri berat di atas industri ringan (seperti
industri padat karya), dan kecenderungan Korea Utara untuk menyalurkan sumber
daya yang langka untuk tujuan yang tidak atau kurang produktif, terutama jumlah
tentara yang terlampau besar untuk negara dengan jumlah penduduk yang kurang
dari 20 juta.
Meskipun
kebijakan Korea Utara yang amat agresif yang nyaris bersifat paranoid, negara ini
sangat piawai dalam menarik bantuan luar negeri dalam jumlah besar, termasuk
bantuan pangan dari Korea Selatan, karena produksi pangan dari sektor pertanian
Korea Utara yang tidak memadai.
Menurut
Profesor Lee Jisoon, guru besar dalam ilmu ekonomi di Universitas Nasional
Seoul (Seoul National University), jurang ekonomi antara Korea Selatan dan
Korea Utara akan makin besar karena pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang
lebih tinggi sehingga kini sudah menjadi negara maju dengan pendapatan per
kapita yang melebihi US$ 20.000.
Di
sisi lain Korea Utara secara ekonomi masih negara yang kurang berkembang,
kecuali dalam persenjataan. Kini jurang pendapatan per kapita antara Korea
Selatan dan Korea Utara adalah 16 berbanding 1 dan sangat mungkin akan
meningkat sampai 20 berbanding 1, atau mungkin lebih jika Korea Utara terus
mengutamakan tentaranya dan persenjataannya ketimbang reformasi ekonomi,
seperti dianjurkan pemimpin China.
Namun,
rupanya hingga kini pemimpin Korea Utara masih tetap mengutamakan memperkuat tentaranya
dan persenjataannya ketimbang reformasi ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar