Rabu, 01 Mei 2013

Memahami Korea Utara


Memahami Korea Utara
Thee Kian Wie ;  Staf Ahli, Pusat Penelitian Ekonomi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Jakarta
SINAR HARAPAN, 30 April 2013

  
Korea baru dibebaskan dari pendudukan Jepang sewaktu Jepang menyerahkan diri secara tidak bersyarat kepada para negara Sekutu pada 15 Agustus 1945.

Akan tetapi, berdasarkan persetujuan antara negara-negara Sekutu Barat (Amerika dan Inggris) dan Uni Soviet, Uni Soviet berjanji akan ikut berperang dengan Jepang jika Jerman telah dikalahkan oleh negara Sekutu.

Menurut Profesor Peter Drysdale dari Universitas Nasional Australia (ANU), bergabungnya Uni Soviet dalam perang terhadap Jepang adalah faktor utama mengapa Jepang kemudian menyerah tanpa syarat kepada negara-negara Sekutu.

Korea kemudian terbagi dalam dua bagian sepanjang garis lintang 38 derajat, yaitu bagian Utara yang diduduki tentara Soviet, dan bagian Selatan yang diduduki tentara Amerika. Republik Demokrasi Rakyat Korea (Korea Utara) diproklamasikan Kim Il-sung, presiden pertama Korea Utara pada 9 September 1948, yaitu tiga minggu setelah Republik Korea (Korea Selatan) diproklamasikan. Pada akhir 1948 tentara Amerika dan Uni Soviet meninggalkan semenanjung Korea.

Akan tetapi, sewaktu tentara Korea Utara menyerbu Korea Selatan pada akhir Juni 1950, harapan untuk mempersatukan Korea Selatan dan Korea Utara pudar.

Presiden Korea Utara yang pertama dan Pemimpin Partai Buruh Korea, Kim Il-sung (1912-1994), yang selama pendudukan Jepang memimpin perang gerilya terhadap tentara pendudukan Jepang, memanfaatkan Perang Korea untuk menghancurkan oposisi internal dari kelompok pejuang gerilya yang selama pendudukan Jepang merupakan kawannya.

Setelah suatu kup terhadap kekuasaannya pada 1956 gagal, Kim Il-sung nyaris mempunyai kekuasaan absolut di Korea Utara.

Menanggapi perpecahan ideologi yang makin lebar antara Uni Soviet dan Republik Rakyat China, Kim Il-sung pada akhir 1955 menciptakan ideologi juche (berdikari) untuk mendukung kemandirian Korea Utara.
Meskipun pada awalnya Kim Il-sung berusaha menghindari diri dari pertikaian antara Uni Soviet dan China, akhirnya ia kehilangan kepercayaan dari kedua belah pihak. Kim kemudian menyimpulkan bahwa hanya suatu kebijakan yang otoriter dalam bidang ekonomi, pertahanan, ideologi, dan kebijakan luar negeri dapat menjamin kemerdekaan bangsa Korea (Utara) dan ketahanan rezimnya.

Kejutan Nixon

“Kejutan Nixon” (Nixon Shock) pada 1971 mempunyai dampak besar atas Korea Selatan maupun Korea Utara. Akibat “kejutan” ini, para pemimpin dari kedua negara ini dihinggapi ketidakpastian tentang sekutu besar mereka. Hal ini mendorong kedua negara ini untuk menjajaki kemungkinan hubungan yang lebih dekat antara mereka.

Pada 1972 kepala dinas intelijen Korea Selatan mengadakan kunjungan rahasia ke Korea Utara. Berkat pertemuannya dengan Kim Il-sung, dimulai suatu dialog yang berlangsung cukup lama, meskipun dengan hasil dan intensitas yang bervariasi.

Kekuatan politik di Korea Utara adalah Partai Buruh Korea. Akan tetapi, Kongres Partai Buruh Korea terakhir (Kongres yang Ke-6) telah berlangsung pada 1980, dan sejak 1990-an peran tentara telah meningkat secara berarti sejak putra Kim Il-sung, Kim Jong-il, menjadi pemimpin Korea Utara yang baru setelah Kim Il-sung meninggal pada 1994, tidak lama setelah mantan Presiden Amerika, Jimmy Carter, melakukan kunjungan muhibah pribadi ke Korea Utara.

Setelah menjadi pemimpin Korea Utara yang baru, Kim Jong-il selama tiga tahun tidak banyak tampil di umum, yang memang bertepatan dengan masa berkabung tradisional Korea. Akan tetapi, pada 1997 Kim Jong-il secara resmi diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Buruh Korea.

Pada 1998 suatu amendemen dalam Konstitusi Korea Utara mengangkat Ketua dari Komisi Pertahanan Nasional, yaitu Kim Jong-il, sebagai penguasa paling tinggi di Korea Utara. Dalam mukadimah Konstitusi Korea Utara dari 1998, mendiang Kim Il-sung diangkat sebagai Presiden abadi Korea Utara.

Pada 1994 krisis internasional pertama yang diakibatkan program nuklir Korea Utara dapat dipecahkan dalam rangka Kerangka Persetujuan yang telah disetujui bersama Korea Utara, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Berdasarkan persetujuan ini didirikan Organisasi Pembangunan Energi Semenanjung Korea (Korean Peninsula Energy Development Organization, KEDO) untuk mengawasi pembangunan pabrik tenaga nuklir untuk menggantikan reaktor nuklir tua yang dapat menghasilkan uranium yang diperlukan untuk membuat bom nuklir.

Akan tetapi, pembangunan reaktor ini tidak berjalan sesuai rencana, karena pada 2002 terungkap bahwa Korea Utara telah memulai lagi program nuklirnya. Hal ini mengakibatkan krisis nuklir yang kedua.
Untuk memecahkan krisis ini, diusahakan pemecahan multilateral, yaitu Pertemuan Multilateral Enam Pihak antara kedua Korea, China, Jepang, Rusia, dan Amerika. Namun, hingga kini pertemuan ini belum membuahkan hasil yang diinginkan, karena pada Februari 2005 Korea Utara secara resmi menyatakan diri sebagai negara yang memiliki bom nuklir.

Industri Berat

Tetapi, fokus utama Korea Utara untuk membangun tentara yang besar (tentara yang empat terbesar di dunia setelah China, Amerika, dan Rusia) mengakibatkan pada 1995, 1996, dan 1997 telah terjadi wabah kelaparan yang gawat yang mengakibatkan banyak warga Korea Utara meninggal.

Namun, hal ini sudah dapat diperkirakan karena kebijakan ekonomi Korea Utara yang mengutamakan pembangunan industri berat di atas industri ringan (seperti industri padat karya), dan kecenderungan Korea Utara untuk menyalurkan sumber daya yang langka untuk tujuan yang tidak atau kurang produktif, terutama jumlah tentara yang terlampau besar untuk negara dengan jumlah penduduk yang kurang dari 20 juta.

Meskipun kebijakan Korea Utara yang amat agresif yang nyaris bersifat paranoid, negara ini sangat piawai dalam menarik bantuan luar negeri dalam jumlah besar, termasuk bantuan pangan dari Korea Selatan, karena produksi pangan dari sektor pertanian Korea Utara yang tidak memadai.

Menurut Profesor Lee Jisoon, guru besar dalam ilmu ekonomi di Universitas Nasional Seoul (Seoul National University), jurang ekonomi antara Korea Selatan dan Korea Utara akan makin besar karena pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang lebih tinggi sehingga kini sudah menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita yang melebihi US$ 20.000.

Di sisi lain Korea Utara secara ekonomi masih negara yang kurang berkembang, kecuali dalam persenjataan. Kini jurang pendapatan per kapita antara Korea Selatan dan Korea Utara adalah 16 berbanding 1 dan sangat mungkin akan meningkat sampai 20 berbanding 1, atau mungkin lebih jika Korea Utara terus mengutamakan tentaranya dan persenjataannya ketimbang reformasi ekonomi, seperti dianjurkan pemimpin China.

Namun, rupanya hingga kini pemimpin Korea Utara masih tetap mengutamakan memperkuat tentaranya dan persenjataannya ketimbang reformasi ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar