Kamis, 23 Mei 2013

Syahwat Politik NU dalam Pilgub


Syahwat Politik NU dalam Pilgub
Gunoto Saparie ;  Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
Orwil Jawa Tengah 
KORAN SINDO, 22 Mei 2013 


Nahdlatul Ulama (NU), yang secara harafiah bermakna “Kebangkitan Para Ulama”, merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang lahir di Kertopaten Surabaya pada 31 Januari 1926. 

Munculnya NU semakin mewarnai bursa ormas, khususnya di Jawa, yang sudah ada saat itu, seperti Sarekat Islam (SI, berdiri 1911), Muhammadiyah (1912), Al Irsyad (1914), dan Persis (1923). Namun dalam sejarah perjuangannya, NU kemudian bermetamorfosis menjadi partai politik. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya, antara lain karena keinginan NU sendiri untuk mandiri dalam berpolitik. Pada dua kali Pemilu di tahun 1955 dan 1971, prestasi politik NU secara nasional stabil. 

Partai NU mendapat elektabilitas politik 18% lebih suara sah. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari figur kiai yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, terutama masyarakat pedesaaan dan banyaknya pondok pesantren (ponpes) di perkotaan maupun di pedesaan. Secara legal formal, NU telah kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU ke-27 di Pondok Salafiyah Syafi’iah Asembagus Situbondo Jawa Timur tahun 1982. 

NU menegaskan keluar dari politik praktis (PPP) dan menjaga jarak yang sama dengan ketiga kekuatan sosial politik yang ada (PPP, PDIP, dan Golkar). Gus Dur dan KH Achamad Siddiq (almarhum) dari Jember, adalah dua tokoh kunci di balik kebijakan dan langkah strategis NU tersebut, selain KH As’ad Syamsul Arifin sebagai sumber legitimasi moralnya. 

Namun karena besarnya kuantitas jamaah Nahdliyin di Jawa Timur dan nasional, maka sejumlah petinggi NU, seperti Gus Dur, KH Iljas Ruhiyat, KH Muchit Muzadi, KH Moenasir Ali, dan KH Mustofa Bisri mendeklarasikan pendirian Partai Kebangkitan Bangsa pada 1998 di bawah pimpinan Matori Abdul Djalil dengan Ketua Dewan Syura KH Ma’aruf Amin. 

Tak Terkendali 

Tetapi memang harus diakui, meskipun berulang kali menegaskan kembali ke khittahdan menjauhi politik praktis, NU ternyata masih memiliki syahwat politik yang besar, bahkan boleh dikatakan tak terkendali. Hal itu tampak sangat nyata dalam proses politik pemilihan kepala daerah (pilkada), terutama di daerah yang menjadi basis warga NU, termasuk di Jateng. 

Bahkan menurut Masdar Farid Mas’udi, saking bernafsunya terhadap pilkada, NU yang merupakan organisasi kemasyarakatan- keumatan bahkan terlihat lebih agresif dibanding partai politik, institusi yang memang bergerak di wilayah politik praktis. Tak mengherankan ketika banyak orang ‘mengingatkan’ bahwa NU belakangan sudah terlalu banyak diombang-ambing kepentingan politik. 

Para pemimpin NU di tingkat pusat, wilayah, cabang, bahkan sampai ranting, harus mampu “mengukuhkan semangat khittah” dan tak lagi terjebak dalam “permainan politik praktis. NU haruslah kembali didominasi oleh ulama dan bukan politisi. NU perlu kembali pada semangat pesantren. Persoalannya sekarang, apakah syahwat dan gairah politik yang bergema di NU itu adalah masalah? 

Sesungguhnya tak ada persoalan sama sekali dengan gairah politik yang bergayut di tubuh NU itu, asalkan dikelola dengan baik. Ini berarti, syahwat politik NU itu harus dikelola secara jauh lebih cerdik, terlembaga, terencana, dan elegan. Berpolitik adalah kodrat. Berpolitik adalah salah satu dari syahwat yang dimiliki manusia, yang diberikan Tuhan sebagai bagian dari piranti survivalnya secara kelompok. Sebutan bahwa manusia adalah zoon politicon didasari oleh cara pandang itu. 

Kegandrungan Akan Kuasa 

Kita ingat bagaimana Nietzsche pernah mengingatkan bahwa perilaku manusia pada dasarnya didorong oleh syahwat kuasa. Kegandrungan akan kuasa inilah yang memungkinkan manusia untuk saling mengejar kemandirian, kreativitas, dan orisinalitas. Syahwat kuasalah yang kiranya bisa mendorong kompetisi sehat antara manusia (meskipun bisa juga mendorong kompetisi yang sama sekali tak sehat). 

Jam’iyah diniyah seperti NU sejak lahir telah membawa semangat kuasa seperti digambarkan Nietzsche itu. Sejarah NU selama ini adalah sejarah politik (kendati pada beberapa titik, eksesnya dikritik). Tahaptahap sejarah NU menunjukkan perubahan nuansa dan tekanan politik, namun gairah politik itu sendiri tak pernah pudar. 

Momen-momen sejarah yang paling menentukan wajah NU (termasuk mufarraqah dari Masyumi di tahun 1952, dan kembali ke khittah di tahun 1984) tak lain dan tak bukan adalah momen politik di mana ormas keagamaan ini merenegosiasi posisi dan peluang politiknya. 

Ujian Bagi NU 

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 26 Mei mendatang sesungguhnya merupakan ujian yang sebenarnya bagi NU, khusus elite-nya, sejauh mana ormas keagamaan ini bisa ”mengerem” syahwatnya untuk berkecimpung dalam politik praktis. Sesuatu yang telah ”diharamkan” oleh NU sejak Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo itu. 

Selama ini daerah Jateng, terutama di kantong-kantong Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memang dikenal sebagai basis utama dari kaum nahdliyin. Ini dibuktikan dengan banyak ponpes yang berafiliasi ke NU di wilayah tersebut serta raihan suara PKB maupun PPP, yang dianggap sebagai ”anak” NU, yang cukup signifikan di wilayah itu. 

Tak mengherankan kalau NU merasa perlu diwakili oleh kader yang berasal dari kalangan sendiri dalam Pilgub Jateng 2013. Tetapi siapa? Kalau dalam Pilgub Jateng 2008 lalu ada sejumlah nama yang bisa dianggap sebagai kader NU, seperti Muhammad Adnan, Kholiq Arief, bahkan M Tamsil. Karena itu, menjelang Pilgub Jateng 2013 ini sejumlah elite NU mulai kasak-kusuk untuk mencari calon yang dianggap bisa mewakili NU dan duduk di tampuk Jateng I atau Jateng II. 

Tiga pasang cagub-cawagub, yaitu Bibit Waluyo-Soedijono Sastroatmodjo, Ganjar Pranowo- Heru Sudjatmiko, dan Hadi Prabowo-Don Murdono, belumlah jelas mana yang benarbenar “berbau NU”. Memang, NU sejatinya belum bisa lepas dari permainan politik praktis. Secara implisit Ketua PWNU Jateng Muhammad Adnan pun mendukung salah seorang cagub ketika mengatakan hanya “si A” yang “orang NU” dalam pilgub kali ini. 

Apa boleh buat. Meskipun NU berkilah bahwa bukan NU yang berpolitik tetapi para kadernya, namun publik awam tak bisa membedakan antara NU dan kadernya. Harus diakui, seperti disebutkan di atas, kalau ditilik dari sejarahnya, NU memang tak bisa lepas dari lingkaran politik nasional. Pada tahun 1955, NU mulai mengawali kiprahnya di kancah politik nasional dengan turut sebagai peserta pemilu yang diselenggarakan untuk pertama kalinya. 

Pascarezim Orde Baru memangkas habis seluruh partai dan mewajibkannya untuk ”berintegrasi” kepada salah satu di antara tiga partai, NU memilih opsi bergabung dengan PPP. Tetapi karena merasa kecewa dan kurang terakomodasi di PPP, tahun 1984 NU memutuskan untuk kembali ke khittah pendiriannya, yaitu sebagai ormas dan memilih bersikap netral. Namun ”bersikap netral” bak semacam teori usang bagi NU. Antara wacana dan realita terbentang jarak sangat panjang. 

Betapa tidak? Pada tataran realita, kita melihat bagaimana NU ternyata memang tak bisa lepas dari politik. Entah karena ”seksinya” NU atau karena ”syahwat” politik ormas ini yang tak bisa terkendali. Kini, di kancah Pilgub Jateng, NU pun kembali harus menghadapi dilema. 

Antara ikut arus atau tidak. Berpolitik atau mengambil sikap apolitis. Apakah NU ”kembali ke khittah” dengan setengah hati? Kita pun tertegun di depan tanda tanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar