|
JAWA
POS, 13 Mei 2013
PENGELOLAAN keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi
daerah (otoda) merupakan denyut nadi untuk mencapai tujuan otoda. Namun,
alih-alih menjadi instrumen untuk menyejahterakan masyarakat daerah, APBD
tersandera oleh beban belanja birokrasi daerah yang kian besar dari tahun ke
tahun.
Berdasar
kajian Fitra (2012), pada 2011 terdapat 298 daerah yang mengalokasikan separo
lebih APBD untuk belanja pegawai, lalu meningkat menjadi 302 daerah pada 2012.
Bahkan, 11 daerah mengalokasikan lebih dari 70 persen anggaran untuk belanja
pegawai. Akibatnya, belanja modal untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
sangat sempit.
Lebih repot lagi, Februari lalu presiden mewacanakan untuk menaikkan gaji
1.040 kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang dengan sadar atau tidak juga
akan menaikkan gaji 15.000 anggota DPRD di seluruh Indonesia.
Persoalan itu tidak semata-mata kesalahan daerah. Sistem desentralisasi
fiskal yang berlaku menjadi akar besarnya beban belanja pegawai, khususnya pada
kabupaten/kota. Rata-rata daerah mengandalkan 80 persen sumber pendapatannya
dari dana perimbangan yang berasal dari pusat. Padahal, 70 persen di antaranya
hanya sudah bersifat earmarked untuk membiayai pegawai, misalnya dana
alokasi umum (DAU) serta tunjangan penghasilan guru.
DAU justru memberikan insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai
sekaligus disinsentif bagi daerah yang belanja pegawainya efisien karena tidak
ingin jatah DAU berkurang. Formula perhitungan DAU dengan mempertimbangkan
kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar memicu daerah tidak ambil
pusing untuk membiayai atau merekrut pegawai baru dan memekarkan diri.
Ruang fiskal yang bisa digunakan daerah untuk menyejahterakan
masyarakatnya juga sangat terbatas. Sebagian besar anggaran daerah sudah
bersifat terikat, misalnya DAU yang lebih banyak digunakan oleh pegawai, DAK
yang sudah ditetapkan peruntukannya, begitu pula dana penyesuaian seperti BOS
dan tunjangan guru.
Sementara hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memperoleh DBH (dana
bagi hasil). Daerah juga diwajibkan memberikan dana pendamping DAK 10 persen
dan dana pendamping PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) 20
persen-40 persen. Praktis kondisi itu menggambarkan daerah tak lebih hanya
sebagai "tukang catat" anggaran pada APBD-nya.
Sedangkan menggali sumber pendapatan asli daerah sulit dilakukan. Mengingat taxing power atau kewenangan daerah memungut pajak
dibatasi karena bersifat closed
list sesuai dengan UU No
28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Penyanderaan itu terjadi bukan karena kelebihan jumlah pegawai. Jika
dibandingkan dengan negara lain, rasio pegawai negeri terhadap penduduk di
Indonesia belum ideal, bahkan lebih rendah daripada negara-negara tetangga.
Namun, lebih kepada pemerataan dan model pembiayaan pegawai yang tidak efektif.
Wacana pemerintah untuk membatasi belanja pegawai daerah maksimal 50
persen dari APBD tidak serta-merta bisa menyelesaikan beratnya beban daerah,
sepanjang dana transfer dari pusat memang dalam bentuk belanja pegawai dan
memberikan insentif terhadap penggemukan birokrasi.
Bervariasinya tingkat kepadatan dan jumlah penduduk, kondisi geografis,
serta kemampuan keuangan daerah tidak bisa diselesaikan secara simetris melalui
pembatasan belanja pegawai. Justru bisa saja daerah yang belanja pegawainya
sudah efisien akan meningkatkan hingga batas 50 persen.
Perlu diuji solusi mengalihkan beban belanja pegawai kabupaten/kota ke
provinsi. Pertama, karena kapasitas fiskal provinsi jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan kabupaten/kota. Rata-rata pendapatan provinsi 50 persen
bersumber dari PAD. Juga taxing
power yang dimiliki provinsi
lebih besar, misalnya pajak kendaraan bermotor, hotel, dan restoran.
Kedua, skala
kewenangan yang dimiliki provinsi lebih sedikit jika dibandingkan dengan
kabupaten/kota yang harus melakukan pelayanan publik secara langsung. Kewenangan
provinsi lebih banyak pada urusan lintas kabupaten/kota. Sebagai wakil pusat,
kebanyakan kewenangan provinsi bersifat supervisi, koordinasi, monitoring, dan evaluasi. Tidak
heran, selama ini potret belanja provinsi lebih banyak dialokasikan dalam bentuk
belanja bantuan keuangan pada kabupaten/kota. Beban belanja pegawai provinsi
juga jauh lebih sedikit, rata-rata hanya 18 persen pada 2012.
Ketiga, pengalihan belanja pegawai ke provinsi menjadikan peran dan
kewenangan provinsi lebih jelas sebagai wakil pemerintah pusat. Provinsi bisa
mengatur pengendalian dan pemerataan pegawai dari sisi kuantitas dan kualitas.
Pemerintah pusat juga akan lebih mudah dalam melakukan reformasi birokrasi.
Dengan rentang kendali pada tingkat provinsi, pusat dapat meminimalkan
terjadinya politisasi birokrasi. Juga perlu diikuti dengan adanya perubahan
skema dana perimbangan ke provinsi dan kabupaten/kota yang berorientasi pada
besarnya skala kewenangan dan cakupan layanan publik.
Revisi RUU Pemda yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR sudah
seharusnya dapat menyelesaikan penyanderaan birokrasi anggaran daerah demi
kesejahteraan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar